Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil

Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak lebih dan tidak kurang. Minimal, saya tidak mendapatkan keterangan tentang nama beliau di dalam kitab-kitab thabaqat yang ada di dalam kepustakaan saya pribadi. Setidaknya, itulah yang termaktub di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami.

Sekelumit tentang beliau adalah apa yang pernah disampaikan oleh Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif bahwa seseorang dari kalangan kaum sufi pernah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari si sufi itu berjalan di tengah luasnya padang pasir. Dia melihat Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil mencuci bajunya.

Kemudian beliau menjemurnya di bawah terik matahari. Si sufi itu lantas bilang kepada beliau: “Mari kita pergi ke tempat itu. Aku mau makan bersama engkau.” Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil kemudian memakai bajunya dalam keadaan basah. Keduanya kemudian berjalan.

Beliau kemudian melihat sejenis sayuran yang tercampakkan yang dikenal dengan sebutan ‘inab ats-tsa’lab. Beliau lalu mengambil sayuran itu. Beliau mencucinya. Beliau memakannya dengan lahap. Beliau kemudian duduk, dan berkata kepada si sufi itu: “Pergilah engkau. Ini sudah cukup bagiku.” Si sufi itu memaksanya mengajak, tetap beliau tidak bergeming beliau.

Salah seorang sufi berkata kepada Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil: “Aku ingin kau berbuka puasa di bulan ini di sisiku.” Beliau menerima tawaran itu dengan baik. Pada suatu malam, si sufi bilang kepada Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil: “Bangunlah, kita sahur.” Beliau bangun. Si sufi bilang lagi kepada beliau: “Tolong, turunkan meja makan ini.”

Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil menjawab bahwa dirinya tidak mengerjakan hal itu. Karena hal tersebut merupakan gerakan di dalam rangkaian sebab. Sementara beliau berjanji untuk tidak bergerak di dalam rangkaian sebab. Pada suatu malam, si sufi menyaksikan meja makan berada di depannya. Beliau juga makan dari situ.

Si sufi kemudian bilang: “Kau bilang bahwa dirimu tidak bergerak di dalam rangkaian sebab. Terus, apa ini?” Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil kemudian bilang dengan tandas kepada si sufi itu: “Demi Allah, aku tidak bergerak di dalam rangkaian sebab. Tapi aku berdiri. Tapi mata kepalaku kemudian menyaksikan meja makan ini.

Meja makan ini bergerak sendiri di depanku. Dan karena di atasnya ada makanan, maka aku kemudian mengambil dan memakannya,” ungkap Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil dengan jujur dan sangat lugunya. Suatu ungkapan yang mengindikasikan bahwa sesungguhnya beliau adalah orang yang sangat sederhana dan apa adanya.

Pelajaran rohani macam apa yang bisa kita ambil dari kisah beliau? Syaikh Ibrahim bin al-Mutawakkil memakan apa saja yang bisa dimakan. Yang penting suci dan tidak basi. Walaupun hal itu hanya sekadar sayuran. Untuk apa sekadar makan sayuran mentah? Tak lain adalah untuk mengukuhkan kekuatan di dalam bersembah sujud kepada Allah Ta’ala.

Beliau tidak punya apa-apa selain hadiratNya. Beliau juga tidak pernah risau tentang apa yang akan dimakan besok dan selanjutnya. Beliau memiliki keyakinan yang kukuh bahwa setiap hari datang kepadanya, dan setiap hari pula ia datang kepadanya dengan membawa rejeki yang halal. Memang tidak mewah, tapi bukankah itu cukup untuk menghadap kepada Allah Ta’ala? Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!