Bosscha
Ribuan tahun setelah kaisar Shen Nung
Menemukan teh dan cendekian Lu Yu
Menulisnya dalam kitab, di kampung kecil
Bosscha menyentuh-nyentuhkan sepuluh
Jari di papan piano memainkan nada
Gemerincing itu sebagai daun teh yang
Jatuh melayang dan luruh di sebuah
Telaga bening
Pengalengan yang dingin bisa diusir
Sepat-pahit teh. Teh yang menghampar
Di seluas lereng gunung Windu
Jalan berkelok-liku dan embun
Yang turun setebal
Kapas menjadi lengkap di antara para
Petani teh bercaping lebar yang berjajar yang
Ditunggui mandor berpistol di sisi pinggang
Sebelah kiri
Di gedung besar seorang seniman diminta
Melukis tentang geulis pemetik teh yang
Bibirnya merekah seperti daun teh jatuh
Melayang, dan entah kelak ke mana kan luruh
2015
Daendels
Jawa digaris sepanjang selat Bali selat
Sunda setelah Inggris menggencetnya dan
Dua ribu serdadu cuma sepertiganya
Bersenjata
Petani dipaksa memintal benang menenun
Kain. Pengrajin tembaga Gresik disulap jadi
Pabrik bedil. Pengrajin gamelan Semarang
Dipaksa jadi pabrik mesiu
Di mana-mana
Petani mesti menyetor padi, uwi, gembili
Buah, dan sayuran buat menguruk
Pekerja rodi yang mati berceceran buat
Mengganti tulang-belulang pekerja
Yang dibakar di sepanjang jalur
Yang dibikinnya
Ada yang belum terangkut
Rempah-rempah dan kitab masakan pribumi
Ketika jalan terpanjang di bumi
Itu hampir jadi
Cimahi-Magelang, 2015
Gunung Kidul
26 dan 31 Maret 1831
Panji, demang, rangga, ranupati
Dikumpulkan Tumenggung sebelum
Alas Nangka Doyong dibabat
Di atas hutan langit gelap
Yang gawat keliwat-liwat
Angker kepati-pati. Jin Gadhung Mlati
Penguasa alas pun bertempur digempur
Mbok Nitisari, dukun Demang Wonopawiro
Tak ada yang tak bisa atas
Sebuah usaha. Maka sajen di atas
Tampah tak tumpah tak goyah
Nasi tumpeng, bawang merah
Lombok abang ditusuk lidi menusuk langit
Kretek, menyan, sega gilig, gula
Jawa, kembang setaman bergeming
Di tepi hutan
Tanah landai
Air melimpah dekat sungai
Tapi siapa sangka asmara bakal menumpahkan
Darah di lipatan kisah, serat, dan babad
2015
Ki Ageng Selo
Setelah ditangkap, petir ditangannya
Diikat di sebatang pohon gandri
Petir yang berkilat dan menggelegar
Gemetar menatap petani lugu
Kembali seperti semula, petani gagah
Itu menanam padi gaga dan merawat
Kolam, membuat bleng dan garam
Membuat nila, menanam
Kembang pulu dan maning
Menanam junjutan
Sebagai benang halus
Sutera untuk membikin
Cindhe gedhog membikin joglo
Limasan, membikin motif kain lurik
“Tanah adalah kewajiban memeliharanya
Tiap orang. Disebut satu bau dikerjakan
Dua orang. Disebut cacah sakikil jika
Dikerjakan empat orang.”
Tak berapa lama, petir yang dipenjara
Diperciki air dari batok kelapa seorang
Perempuan tua
Suaranya menggelegar
Keduanya lenyap
Lidah lebih panjang dari jalan
Buat memanjangkan kisah tentang
Petani lugu yang menangkap petir dengan
Kilat
Gunung Kidul, 2015
Kembang Lembayung
“Sungguh, Ayah, saya tak mengerti
Jika buah kelapa di siku tiang itu wahyu
Mohon ampun.”
Ki Ageng Giring termangu
Langit layung di ujung kemarau
Rara Lembayung tercenung teringat
Bujuk rayu dan cumbu sang Panembahan
Rara runtuh dan patuh, sebab dari tubuhnya
Akan mengalir darah raja
Raja tanpa rajah yang meminum
Saripati wahyu dari tangan ayahnya sendiri
Dari rahasia di tangannya
Yang disimpan dalam lipatan perasaan
Perempuan
O, jabang bayi
Anak yang dibiarkan mengembara
Yang dadanya membara mencari-cari
Siapa sebenarnya suami ibunya itu
Wotgaleh, 2013
- Sajak-Sajak Hasta Indriyana - 30 August 2022
- Puisi-Puisi Hasta Indriyana; Sesuatu Banget - 8 November 2016
- Puisi-Puisi Hasta Indriyana (Yogyakarta); Kembang Lembayung - 5 April 2016