Kapan Terakhir Kali Bahagia?

Gambar untuk tulisan KAPAN TERAKHIR KALI BAHAGIA
pinterest.com

Hati adalah Raja Kehidupan.

Imam Ghazali

 

Menjadi modernis tampak begitu keren. Tipikal manusia-manusia kekinian yang kritis, rasionalis, syahdan berkat pencapaian kecerdasan yang menakjubkan. Tak ketinggalan, hikayat keimanan didaku dengan tepukan meriah sebagai bagian tak terberaikan. Modernis dan syar’i, sudah pasti ini pencapaian hidup yang uwow!

Di kalangan Hawa, feminisme disambut sedemikian meriahnya. Melalui kibaran bendera egalitarianisme yang merobek sekat privat-publik, kejayaan kaum Hawa diderukan—seolah tanpa feminisme mereka tak bisa mulia. Tak ketinggalan, sebagian kaum Adam menempatkan diri sebagai penyokong garda depannya. Feminisme menyatukan lelaki dan perempuan atas nama hak mendapatkan hak yang setara.

Di ranah ideologis, kebebasan memekikkan segala macam ideologi menderaikan seliweran narasi, argumentasi, dan aksi yang terus berkelejar. Pembela demokrasi menyerukannya sebagai puncak sistem kehidupan publik yang mengakomodir semua perbedaan. Pejuang khilafah tak ketinggalan menista demokrasi sebagai biang keladi sekularisme yang tidak sejalan dengan napas syariat Islam—meski hanya melalui demokrasilah mereka bisa mengibarkan ideologi politik Islam ini. Di sebelahnya lagi, para pemuja Marxisme menisbatkan “keadilan sosial” hanya akan bisa tegak bersama sosialisme. Belum lagi riuh pendakwah humanisme universal macam aktivis LGBT yang menuntut hak yang sama untuk menikah dan konon beranak-pinak. Dan selainnya, dan sebagainya.

Apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini?

Asalinya, satu hal saja: kebahagiaan!

Ihwal kebahagiaan merupakan tujuan hidup semua kita: lelaki dan perempuan, bocah dan lansia, dalam strata sosial ekonomi apa pun. Kebahagiaan hidup adalah sangkan paraning dumadi kita. Dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju.

Tentu saja, ekspresi manusia untuk meraih kebahagiaan kemudian meruah dalam jutaan jalan. Sesuai lingkungan, pemikiran, pula kepentingan. Anda yang hidup di Iran, akan bergaul baik atau menjadi bagian dari komunitas Syiah. Anda yang hidup di Madura, besar sekali kemungkinan untuk menjadi nahdliyyin. Anda yang hidup di Jogja, Muhammadiyah menjadi kultur terdekatnya. Anda yang menyuntuki karya-karya Pramoedya Ananta Toer, boleh jadi memuja khazanah kekirian. Anda yang dekat sama komunitas HTI, PKS, dan Tarbiyah, besar sekali peluangnya untuk menjunjung “gerbong khilafah”.

Perihal ekspresi ini mestinya kita selalu mafhum: tidaklah perlu dipaksakan seragam. Memaksa sejamaah semua manusia sama buruknya dengan menghendaki hujan turun sepanjang tahun hanya lantaran Anda tidak bisa move on dari dera patah hati akibat ditinggal menikah oleh seseorang yang diimpikan menjadi pasangan di pelaminan. Bukankah untuk menjadi pebisnis hebat Anda tidak hanya membutuhkan profit tetapi juga pelajaran rugi yang dengannya Anda menjadi lebih mampu berpikir dan bertindak strategis? Bukankah sebuah kelompok musik mampu menghasilkan irama yang indah bukan karena semuanya seragam memetik gitar?

Maka, memasangkan parameter konsep dan jalan kebahagiaan yang Anda pilih ke kepala semua orang sepenuhnya merupakan upaya infiltrasi yang kekanak-kanakan. Demikianlah khittah proses kebahagiaan diperjuangkan semua anak manusia.

Pertanyaan berikutnya ialah apakah semua jalan kebahagiaan yang kita bela itu benar-benar berhasil menghantarkan kita berbahagia?

Tidak. Sering kali, perkaranya bukan karena kurang cerdas dan gigihnya kita dalam berstrategi menempuhi jalan kebahagiaan itu. Sering kali, jalan kebahagiaan itu sendirilah yang bermasalah secara prinsipil.

Mutlak benar untuk dimafhumi bahwa khittah berbahagia, apa pun jalannya, selalu menyelibatkan dua dimensi esensial manusia: ruhani dan ragawi, batin dan lahir. Satu bukti sederhana atas hukum ini ialah betapa Anda tak bisa merasa bahagia di antara gunungan harta bila batin terluka oleh sebuah kalimat tajam yang menyiksa malam-malam Anda.

Menegasi salah satunya (lahir atau batin) setamsil dengan merusak hukum semesta, sunnatullah, serupa kohesi-harmoni siang dan malam, hujan dan terang, laki dan perempuan, tidur dan jaga, pula terbit dan terbenam. Bukankah kita tak pernah mendapati manusia yang saking kayanya lantas tak membutuhkan keberadaan orang-orang papa? Bukankah kita pun takkan pernah memiliki pangkat alim bila tidak ada si durja, langsing bila tak ada si ginuk, jomblo bila tak ada si berpasangan?

Inilah pangkal perkaranya. Dan, tepat di titik inilah modernisme berlumur dosa pada sejarah atmosfer nalar dan batin kita, melalui ajaran materialisme dan hedonismenya yang menyingkirkan dunia batin, jagat ruhani, dan spiritualitas. Modernisme adalah penebar racun yang paling bertanggung jawab pada ketakbahagiaan hidup kita!

Bahwa hidup yang sukses adalah memiliki karier yang moncer, harta yang banyak, kesibukan yang menggunung, dan pemikiran yang selalu kritis.

Bahwa keluarga yang bahagia adalah memiliki dua anak, yang jago matematika dan bahasa Inggris, yang selalu up date teknologi dan gadget, dan memiliki koneksi sosialita.

Bahwa hidup yang sehat adalah aktif di gym seminggu tiga kali, berpenampilan flamboyan, dan travelling setiap akhir pekan.

Bahwa perempuan yang hebat adalah memiliki daya kritis pada keimaman suami, aktivitas menyusui anak-anak, dan menjadi ibu rumah tangga yang selalu ada untuk suami dan anak-anak.

Bahwa lelaki yang hebat ialah memiliki jabatan strategis, kehormatan sosial yang mentereng, dan sanggup menebus polis-polis asuransi untuk kecemerlangan masa depan anak-anak dan istrinya.

Pada tamsil-tamsil demikian, ke manakah jagat batiniah dan spiritualitas? Terpinggirkan, terasingkan, dan inilah bukti-bukti kekinian bertahtanya modernisme mengembuskan racun-racun sekularisme ke setiap rumah kita, pikiran kira, pula batin kita.

Kita menjadi santai saja melihat anak-anak yang tak bisa mengaji, tak tahu bacaan apa saja yang lazim didzikirkan usai shalat, toh yang sangat dipentingkan ialah kemampuannya berbahasa Inggris. Kita menjadi tenang saja bila suami tak bisa berkumpul bersama di rumah saat Maghrib karena sibuk bekerja dan berkarier. Kita menjadi tak merasa ada masalah saat di malam Minggu yang ceria semua anggota keluarga tak saling berbicara di sebuah meja makan besar karena sibuk dengan gadget masing-masing. Kita bahkan tak lagi merasa utama sisa usia ringkih orang tua di desa untuk kita kunjungi dan senangkan dengan perhatian dan keberadaan kita di sisinya—kapankah Anda terakhir kali memeluknya?

Kita memilih resah pada tubuh yang makin berisi karena dirasa tidak lagi seksi ketimbang mencemasi pergaulan keseharian yang makin kebablasan. Kita lebih khawatir pada sebutir jerawat di kening ketimbang kian karibnya kita pada kobar neraka!

Kita menjelma si bebal nilai, si permisif pada pelanggaran-pelanggaran syariat, yang asalinya kita mafhum amatlah prinsipil untuk selalu dirawat demi kualitas diri dan keluarga. Pada lanskap hidup demikian, bagaimana mungkin kita bisa memiliki kekayaan batin sebagai prasyarat berbahagia.

Kapan terakhir kali saya bahagia akan selalu tegak lurus dengan kapan terakhir kali saya menggunakan hati.

Jogja, 30 Maret 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!