PANGUMBAHAN
Kekasih tempat berteduh mata rapuh. Ombak pecah.
Nelayan repih-kalah. Pangumbahan rahim bagi
bayi-bayi penyu hijau yang akan lahir. Pemayang
agung bagi angan-angan sepoi-sepoi angin.
Ombak kalut. Ombak bersama orang hanyut.
Bahtera menyisir dermaga. Ikan mati di dada
nelayan papa. Ombak kalut. Bijih besi bersama
orang menanti. Lelaki melangkah.
Tampaknya Anda. Berburu cangkang kerang kering
di atas karang. Di kalender, Oktober telah terbakar.
Di laut saya menjumpai jernih benih mata kekasih.
Juga silika pasir kuarsa, kulit selembut kelopak ombak,
kulit Anda. Di laut saya mau bilang, betul saya terpencil.
Laut terus-menerus angin, asin air, asing lelaki karam.
Anda ialah dermaga. Saya nelayan papa.
2017
CIPETIR
*
Renyai hujan rontok. Jemari sekurus lidi mengibas rasa cemas.
Landai pantai masih jauh, kata Anda, riak ombak masih jauh.
Kata saya, beri ujung kemeja Anda bilamana air mata
melimpah-tumpah.
*
Sepasang sepatu putih basah. Tanah yang saya injak basah.
Berangkat hitam pohon-pohon. Berangkat menyala lampu-lampu.
*
Pintu. Cuma sebuah pintu. Tidak langit. Tidak matahari
menyala sengit. Juga kamar buat tubuh. Buat menutup
tirai subuh. Senyap sungguh. Di luar dinding pabrik karet,
petir menyalak. Rongsokan tubuh saya menyalak.
*
Cokelat corak kulit saya. Cokelat corak kemeja saya.
Saya danyang yang menyaru. Gelayaran menjaga batu-batu,
pohon-pohon bambu. Saya ingin menitis. Bagai hujan
menitis. Bagai air mata. Menjadi jari-jemari air.
Menjulur menjamah tanah, ziarah ke sawah-sawah.
*
Tetapi air suci tidak pernah surut. Senyum siput dibawa turut.
2017
CICURUG
1
Sebagai samar dahan damar. Di pucuk bibir Anda, tak lekas
saya eja masa silam. Baris-baris gerimis, kabut, sinar matahari
pukul tujuh pagi, lampu mati. Sawah malih rupa menjadi pabrik.
Petani malih rupa menjadi buruh. Tak memanen sawi,
tak memanen rindu duka kembang sepatu. Kupu-kupu hutan
hinggap di atas luka anak-anak papa. Selain embus angin
di sekujur jasad Cicurug, semua orang bikin saya kecewa.
Saya dahan damar, mengasihi jendela kayu sebuah kamar: dada Anda.
2
Secangkir teh bagi umbai kendaraan, berbaris bak umbai
cacing bengis. Anda: Kaisar Shen Nung, ada dalam wujud
ibun. Leluhur tak pernah meneguk air mentah. Anda jerang
belasungkawa orang-orang di jalan; semut rangrang menyesaki aspal.
O, langkah ke surga tambah jauh. Selain lima lembar daun teh hijau,
mengambang di cangkir bimbang. Kabar ajal tersiar. Mata air
dikemas dikuasai. Paru-paru Anda dipompa, dijaja.
2017
CIREUNGHAS
Saya menilik rupa Anda dari dalam gerbong kereta:
irigasi Ciburuluk menitik ke sawah-sawah sepi,
kulit-kulit bukit sepi, ladang-ladang singkong
terancam, ladang jagung, rumah-rumah
perajin batu bata merah berdiri gelisah.
Saban subuh, perempuan-perempuan Cireunghas
tamasya ke pabrik sepatu, sebagai buruh payah,
was-was menahan marah. Puasa tak serta merta
menyiah lelah. Di Cireunghas, musim panen
belum tiba. Seorang petani berparas pucat menatap
kereta api bergerak, melaju menuju jantung, jantung iman.
Di Cireunghas, warung ringkih-rapuh mirip warung
kelam-remang lingkung gunung. Di surga apa orang-orang
akan khusyuk puasa seraya tadarus membaca daftar belanja.
Seorang ibu tengah malam menjelang lebaran, bertanya,
kiranya di mana penjual ikan air tawar berada, sebab
sisa darah hanya cukup membeli ikan air tawar dua-tiga ekor saja.
2017
BATU TULIS
Dari lubuk kereta saya tiba. Memahat hujan.
Memahat badan kereta api berjalan. Pantulan
mata ibu pada mata saya adalah pijar dendam.
Musim masih basah, Embus napas Anda bagai
sungai, sungai lengang. Dada saya muara. Kampung
halaman bagi stasiun hantu. Ingatan ditatahkan di atas
batu. Pelukan hanya angkutan umum melintas.
Aroma segar menguar dari rambut Anda tak hendak
saya sandang sebagai tempat pulang seorang lelaki malang.
2017
- Puisi-Puisi Khoer Jurzani; BATU TULIS - 24 April 2018