Sebuah Rumah di Dipowinatan
Setiap kali datang, engkau sudah menunggu
juga kursi tua itu,[1] semuanya seperti masa lalu
yang hadir kembali, tercipta sebagai puisi
menegaskan bahwa engkau pernah bersaksi.
Pohon sawo di halaman mengepakkan sayap kelelawar
menyanyikan cericit burung yang terkurung dalam sangkar.
Sementara itu, engkau terus mengajariku mengeja tanda
yang dibawa jengkerik upa dari pokok pohon ke atas meja.
“Inilah puisi, tak pernah ada yang menantinya lahir
namun penyair setia menjadikannya terus-menerus hadir.”
Di teras, kita rasakan angin meniup debu musim kemarau
dahan-dahan bergetaran, mendengar dongeng legenda
yang engkau ceritakan berulang-ulang.
Waktu terkadang membuat kita terbelah
menjadi sebatang bambu yang sedia diluruskan
setelah terpisah dari rumpun di belakang rumah.
Di situlah aku tahu,
kenapa engkau lebih suka hidup dalam kesendirian
sementara bagiku hal itu lebih menakutkan dari kematian!
Yogyakarta, 2014
Bukit Semar, 15 Oktober 1990
—Ragil Suwarna Pragolapati
“adalah keinginanku,
hidup di dunia yang ambang”
suara sayup salam penyair[2] memanggil dari laut yang jauh
persis seperti kabut; samar dan tak tersentuh
tepat di suatu malam tanpa gemintang
di Bukit Semar, penyair itu, yogawan itu hilang
moksa ke kedalaman liang mata terpejam
diam semadi mencari jalan kenang menjelang pergi
sebelum raib, ia peluk satu-satu karibnya
seperti memeluk tubuh bumi yang basah
tapi tak ada seorang pun dapat merasa
barangkali ia berubah asap dupa, terbang mengudara
beriring gemeremang doa
barangkali ia digulung ombak laut
yang tak pernah luput menjemput maut
barangkali ia diam-diam pergi tepat dini hari
sampai pada usia yang bercabang dan enggan kembali
barangkali ia menjelma selembar catatan penuh arti
berisi mantra meski sulit dibaca dan dimengerti
“adalah keinginanku,
hidup di dunia yang ambang”
—sekali lagi
suara sayup salam penyair memanggil dari laut yang jauh
persis seperti kabut; samar dan tak tersentuh
Sedayu, 2014
Drupadi Gugat
Mung sethithik cacat sira
Wani mérong aning ngarsa mami
Aja sira adol gendhung
Dumèh sira digdaya
Sun entèni ning pinggir bengawan surup
Yèn wani énggal majuwa
Ayo perang ander pati[3]
Sudah menjadi takdir, dari sunyi rahim api aku terlahir
menggenggam dendam, amarah, dan doa
menyala sebagai pengorbanan sekaligus kutukan
pertaruhan hidup mati segala yang bernama kehormatan
Tubuhku adalah keterasingan dari masa kecil
dari semu semua yang tumbuh di tanah dan air
sebab, aku hidup di setiap kematian para leluhur
riwayat perpisahan, kayu abu luluh melebur
Haruskah
dadu dilempar, keris dicabut, anak panah dilentingkan!?
Dalam gemuruh kaldera waktu
aku; gelombang magma yang terpendam
siap menerjang pabarisan meskipun matahari padam
karena bulan akan mencipta kalangan baru
melingkar sebagaimana anak-anak menjebak
menangkap tangan teman sepermainan
Maka, jangan salahkan
jika dari mulutku sumpah serapah berkobar
menagih janji setiap lelaki yang mengaku jantan
Akan kubiarkan rambutku terurai dari gelungan
hingga anyir darah mengalir sebagai sungai
di akhir peperangan!
Sedayu, 2014
Gua Kiskenda
Kisah petaka dua wanara bersaudara itu
Seakan benar pernah terjadi di sini,
- Di sebuah pintu yang menunggu
Dari balik kegelapan tampak bayang-bayang tertahan
Sendiri di tengah hutan kekhawatiran
Seperti gurat sejarah di dinding sunyi aksara
Yang menjelaskan alasan, bahwa
Cinta yang sintas di antara perselingkuhan
Itulah kesetiaan, utuh di celah reruntuhan
Meski ada terlukis kemurungan dalam pandangan
Sebuah kutukan yang tak pernah terkatakan
Di sini, sisa suara erang rasa sakit
Menyeruak lewat langit-langit gua yang berlubang
Menunjukkan kebenaran, bahwa
Dalam kepala kekuasaan berkelindan sengketa
—Cerita lama bagi sepasang mata!
“Sugriwa, adakah darah wanara putih warnanya?”
Samigaluh, 2012
Samigaluh
Sudah larut malam, kujelajahi raut wajahmu
seperti buku sejarah, kau ceritakan segala perkara tentang masa lalu
Ada rasa sakit di gurat luka yang terbuka
tatkala salah dan kalah menampakkan kata-kata
rahasia yang disembunyikan dari bunyi-bunyian sumbang
sambung-menyambung mengikat ingatan
tatkala mendung melepas liarkan hujan
membasahi jalan-jalan, dusun, sawah, dan hutan
sebuah dentum ledakan pada angka tahun 1949
jatuh tepat di atas penewon, jantung Samigaluh
Jerit tangis gemuruh di genggam tangan
seluruh makhluk luruh kehilangan barisan
tunduk khusyuk memeluk pelukan
langit meruyup, bumi porak-poranda
matahari membunuh waktu
mata hati membenah rindu
Rasa takut mencipta nyanyian kemelut
arah bayang-bayang berkelit memanjang
Yogyakarta, 2012
[1] Penggalan puisi Iman Budhi Santosa “Bersama Kursi Tua di Beranda”
[2] Judul Antologi Puisi karya Ragil Suwarna Pragolapati
[3] Tembang Pangkur karya Sumiyo
- Puisi-Puisi Latief S. Nugraha; Menempuh Jalan Baru - 7 May 2019
- Yogya yang Puitis, Yogya yang Prosais - 19 February 2018
- Puisi-Puisi Latief S. Nugraha; Sebuah Rumah di Dipowinatan - 31 January 2017