Setelah Membaca Kafka
Setelah membaca Kafka, aku takut bila tiba-tiba di pagi hari aku bangun dan berubah menjadi seekor kecoa seperti Gregor Samsa. Buku mengubah orang-orang, termasuk mengubah pola tidur dan cara jatuh cinta. Sejak saat itu aku susah tidur dan kuhabiskan buku-buku Freud untuk membantuku menafsiri ulang bahwa kecoa hanyalah metafora untuk menggambarkan entah apa. Tapi Freud justru membantuku mimpi buruk. Aku tiba-tiba takut pada tikus yang menggerogoti tumpukan buku di kamarku, kalau-kalau ia juga doyan isi kepalaku yang baunya seperti plitur kayu rak bukuku. Sejak saat itu pula aku susah jatuh cinta, bahkan pada diriku sendiri (kau tahu, orang tak setiap hari mencintai diri sendiri). Aku tak bisa membayangkan jatuh cinta kecuali pada orang seperti dalam tokoh novel yang aku suka. Lagi pula, ternyata tak banyak novel yang kusukai. Aku pernah seolah-olah jatuh cinta pada seorang lelaki tua saat aku naik bus. Mukanya mirip Salvador Dali, tapi kalemnya seperti lelaki tua dalam novel Hemingway. Lelaki itu masih di kepalaku, dengan durasi sekitar tiga puluh menit, berdiri memaku di bus itu, memaku pula di sudut pikiranku, dengan durasi yang tak bisa kuhitung lagi. Jika susah tidur, aku bisa minum obat, tapi bagaimana jika susah jatuh cinta? Malam ini aku akan minum obat tidur dan berharap esok terbangun sebagai seekor kecoa.
2019
Di Sebuah Kapal
sungai nil
Jangkar kapal telah diangkat
ketika angin musim dingin menampar dek
di mana sebuah bar dihuni bir
dan senyap keluar dari relief anjungan
Duduk di sebuah kursi
aku menghadap ke arah yang aku tak tahu
Apa yang aku temukan di sini?
Dalam kesiur angin dari mana-mana
Dalam hablur dingin yang menekan dada
Kulihat pucat pepohonan di tepi sungai
dan tower-tower berkilau di nun sana
Aku tak tahu ke arah mana kapal ini melaju
Mestinya bukan ke laut pikiranku
Tempat hantu-hantu menyelamatkan diri
dari hukum alam
2019
Hari Ini Telah Kubunuh Ibu dalam Diriku
Suara anjing yang hilang di gua-gua Sumeria muncul di pojok kamarku sepanjang malam. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak ingin punya telinga. Tapi suara tuhan yang menemani Nietzsche satu dekade menjelang ajalnya, membisiku:
Jangan tutup telingamu!
Aku mendengar suara seseorang dalam diriku, jauh, menggaung, seperti memantul di stalaktit gua pikiranku, memanggil tapi tak pasti, seperti ragu tapi keras. Itu suara perempuan, atau bukan. Itu suara ibu dalam diriku:
Ibumu perempuan, bukan?
Ibuku bukan ibu yang patuh pada kamus Aristoteles:
-
- Substansi
Terbuat dari apakah inti ibuku?
-
- Kuantitas
Sebesar apa ibuku?
-
- Kualitas
Apakah ia seorang ibu yang baik?
-
- Relasi
Apakah karena aku anaknya, maka ia ibuku?
-
- Tempat
Di bagian mana ia dalam diriku?
-
- Waktu
Apakah ia ibuku setiap saat?
-
- Posisi
Apakah ia duduk di sebelah Aras dadaku?
-
- Status
Bagaimana jika ibu kubuang tiga huruf tengahnya?
-
- Aksi
Ibuku sedang apa di dalam diriku?
-
- Pasivitas
Apakah ia ibu yang sedang kutulis dalam puisi ini?
Telah kubakar kamusku. Kini aku makhluk tanpa bahasa. Kuwarnai tembok kamarku dengan irisan bibirku, dan suara anjing di gua-gua Sumeria menanggalkan paspoto Che Guevara ke lantai dan rokoknya pun padam. Aku tak bisa lagi membedakan mana suara ibuku dan mana suara anjing. Kututup telingaku dan kubuka pintu kamarku. Suara lain datang dari luar dan semua suara kini seperti suara anjing, juga anjing dalam buku mitos dan kitab suci susul-menyusul menjebol katup tanganku. Kuiris daun telingaku, kucoretkan darahnya ke tembok kamarku. Kugambar tiang pancang untuk menggantung ibu dalam diriku, atau anjing di gua-gua Sumeria, atau diriku sendiri.
2019
Nota Puisi
Kecemasan yang berlari ke mataku, menyimpan doa Yunani di dadanya. Odiseus menggelindingkan diriku ke jurang tempat aku mendorong nasib buruk ke puncak tiada. Api penyembahan kaum majusi memintaku memadamkannya sejenak untuk memberi kesempatan bagi Ra atau Apollo, sebelum subuh dibangunkan asap jerami dan Sangkuriang mengutuk ibunya jadi kartu domino. Aku dimakamkan di kepala orang-orang sebelum sempat jadi ingatan. Aku tak ada, meski sejuta orang menulis nama belakang mereka dengan marga kesedihanku. Aku tak ada, meski puisi ini tak lupa menulis seluruh nota utangku pada kata-kata.
2019
Telah Kubaca Ribuan Buku Puisi
Telah kubaca ribuan buku puisi dan tak kutemukan apa-apa selain bahasa yang selalu diulang-ulang. Pada puisi penyair timur aku senantiasa menemukan musim yang melankoli, cuaca yang diarsir warna-warni, dan wajah orang-orang yang tampak sehat. Pada puisi penyair barat aku senantiasa menemukan kota yang digulung kalkulus, gedung-gedung yang mencakar bumi dan langit, dan kepala orang-orang yang disimpan di berkas arsip.
Telah kubaca ribuan buku puisi dan aku tak tahu kenapa penyair selalu dewasa pada saatnya. Aku ingin mereka masih bermain kelereng ketika dihadiahi anugerah nobel, atau masih membumbungkan layang-layang ketika diundang ke seminar yang tak terlalu penting, atau masih bermain petak umpet ketika berbicara soal politik dan agama.
Telah kubaca ribuan buku puisi dan aku tak menemukanmu di situ. Kau barangkali adalah puisi yang tak pernah ditulis, amplop kata yang belum dibuka, atau ketiadaan yang selalu kubayangkan abadi.
2018
- Puisi-Puisi M.S. Arifin; Setelah Membaca Kafka - 26 November 2019
Arj
The best 😍 aku suka srmua tema dan cerita dari puisinya. “sudah kubaca ribuan puisi, dan tidak kutemukan puisi seperti ini” 😊
Agung rahmadi
Hari Ini Telah Kubunuh Ibu dalam Diriku ; terkandung pembelajaran juga menghibur, puisi yang berbeda dengan puisi pada umumnya, perpaduan sastra serta filsafat. 👍
M.S. Arifin
Terima kasih. Salam kenal.
M.S. Arifin
Terima kasih banyak.
zr
waaa saya jatuh hati pada semua kata yang anda tulis <3
M.S. Arifin
Salam kenal, ya.
Anonymous
Saya seperti tersihir saat membaca puisi-puisi di atas. Tidak bisa berpaling sama sekali, dan akhirnya rampung dibaca.
Nur
Keren 💚
Anonymous
Suka iihh kerenn (๑>ᴗ<๑)
KN Krise G
Uwuwuwuwu pokoknya.. Mbois Mas
Risma
Sangat terkesima
uwais qorni
puisi yang berbeda dari yang lain sampai saya terkesima membacanya…