Menikmati Gelisah
Sesekali aku ingin memandang ke luar jendela,
kuamati bunga crista bermekaran
di jalan setapak menuju rumahmu
lalu surat-suratku akan lahir
di setiap kelopaknya.
Saat pagi menjelang,
embun tak kunjung menangkap sisa-sisa kerinduan
meski telah kuhujankan semalam
dengan sabit yang memerah
aku menerka-nerka, jika pada petamu,
sumurku tak kunjung kering meski kemarau terhambar di halaman.
banyak graffiti yang sengaja tak kubaca
karena aku ingin menikmati gelisahmu satu persatu
dari gugur daun, kubaca seluruh doa dalam rintik petang,
dan berjalan lagi untuk menemukan rindumu
kuyakini masih utuh, meski aromanya tak sewangi bulan lalu
mimpi kita telah menjelma senja dengan sedikit warna oranye.
Dan kau masih menggenggam erat senyumku,
ketika aku ingin melesat, padahal telah kuhabiskan luka,
senyum bahkan cerita di suatu taman yang kita bangun dengan ribuan ciuman
tidakkah cukup, seluruh kelokan, tanjakan, persimpangan sudah pernah kita lewati,
maka biarkan seangkasa raya merawat dengan baik nama-nama kita
sebaik tungku menjaga api dengan kemalangannya.
15/06/2015
Salju yang Tak Pernah Pulang
banyak yang datang
seperti anak yang ingin menyusu
bermanja-manja dalam pelukku
dan pada jari-jarinya kuku runcing, siap mencabik kulitku.
banyak yang datang,
seperti raja yang menuangkan aroma kopi segar
kepada para pejalan, nan pahitnya adalah racun
yang meninabobokkan sepanjang pagi, siang, dan petang.
lalu mereka berteriak ingin didengarkan,
lagu-lagu halus itu berujung pada kematian.
mereka memegang tanganku, menyuruhku menumbuhkan umur,
agar bara tak lahir, karena telah berpuluh tahun dibenamkan,
pada bukit-bukit jantung.
ada yang mengajak pergi
dan pisau sampai pada rahang.
aku berdiam, menghitung bintang.
di langit, saljuku tak pernah pulang dengan selamat.
14/06/2015
Tanya Nyonya
“bukankah bumi adalah kerajaan bolak-balik, Lun?”
yang menerjang segala pasir jadi bubur di mangkuk
entah itu musim salju atau ketika sapi-sapi haus darah
sementara di jalanan tikus-tikus sengaja dibakar
dengan janji yang menggorok lehernya sendiri
lalu beberapa kali istighfar diucapkan
saat orang-orang sudah meradang, sekarat,
nyawanya hampir tercabut dari otak yang tak berbeda
dengan gudang, tempat sampah-sampah, dan birahi berkecamuk
sedang rindu yang mereka tanam menjalar ke sekujur tubuh
melilit hingga remuk
dan, “masihkah ada cinta sejati?” tanya Nyonya
padahal hidup sudah berkali-kali terlindas
oleh kata-kata manisnya sendiri, mereka seperti
raksasa yang bertubuh tulang belulang
mengenggam erat jantung, kadang-kadang
memanggangnya dengan matahari sorga
yang katanya penuh hikmah
Surabaya, Desember 2014
Di Mana Jantungku
kata Ayah; ini jantungku
yang bahkan tak kukenali detaknya
hanya saja sering kumimpikan pangeran
seperti di kerajaan dongeng
yang membuat aliran darahku terbakar
atau pekerjaan setan yang sengaja menarik-narik
rambutku hingga rontok beberapa helai
bukankah ada api yang menyulut-nyulut
saat aku masih bercermin
kata Ayah; hampir menghanguskan jantungku
karena tak kunjung padam meski kuguyur dengan tangis
hingga hujan benar-benar menggenang, dan sunyi
menceritakan kepadaku tentang cobaan-cobaan di Al-Quran
tidak ada mata yang dapat kupandang
karena biru dari sekujur uratku menggeliat kesakitan
hanya doa-doa yang menjalar ke langit
meski tak dapat kuhitung berapa anak tangganya
ada mawar bermekaran di detik-detik penghabisan
kata Ayah lagi “jantungku harus berperang”
Surabaya, 16 Desember 2014
Cinta Terbaca di Epitaf Air Mata
//1
dari kulitku tanah tercium oleh pekat abad
kesangsian seribu dewa
melempar sumpah-sumpah
sedang mata air masih kering. nyaris tanpa batu.
dalam mimpiku senja yang berkibar
masih semekar tatapanmu, pada batas
dengan segaris cahaya, dan taburan gemintang
terhampar pada upacara ngaben
;ialah bekas janji dengan tanah api.
// 2
cukup tarian angin saja yang kau tulis
karena sisanya masih dihangatkan di perapian
sebab bara terlalu sibuk memburu mata angin
;menyampaikan rindu dari kayu bakar
sungguh sayang, jangan undang hujan datang
sumpahku belum lengkap, kutukanku belum utuh
dan mata air masih menagih jalan-jalan
sebelum bibirmu memerah kembang
// 3
“maka cinta berwajah apa
yang harus kupunguti dari derai pasirmu?”
jika di persimpangan
ombak-ombak gelap masih menyapa
menawarkan lembayung dari sayap bidadari
dan, abdi-abdi datang mengibarkan layang-layang
meminta matahari redup, lalu senyumnya menggenang
sedang potret-potret dari tangan dewa Siwa dimuntahkan,
lalu sejarak terumbu terus berdesir, menyanyikan lagu-lagu gaib.
di ujung sana tangan siwalan masih melambai
nafasnya menjadikan senja benar-benar jingga
dan angin berlari berdetak disekujur rambutku
;maka sore itu adalah bagian kematian legendaris.
//4
segala sajak tetap terekam pada jejak-jejakmu
siraman bunga para malaikat,
pelangi dari tenunan bidadari, pada sumpahku!
dan dilembaran terujung, di pantai paling biru,
di pasir paling hening,
pada malam saat cinta di angkat ke surga.
adalah hari saat purnama tak lagi dipandang,
gemintang tak lagi diperhitungkan
dan luka yang terhantam. terurai
segenggam pasir yang terguyur kutukan
di epitaf terindah, air matamu!
Surabaya, 2014
Mawar Sewarna Hujan
:kampung halaman
aku bertamu pada dahan
di setiap jengkalnya penuh dengan duri
gemerisik angin dan daun tempat kupu-kupu berziarah
dan embun mengkristal di setiap wajahnya
hingga senja mengganti jubah, ia meremang
memaksaku merenangi hawanya yang gigil
meski setiap sore kupandangi mentari
tenggelam dalam kelopaknya
terkadang, ia lahir menjadi kuncup yang ranum
yang tak pernah mampu kucium aromanya
lalu ia hanya berpendar sewarna pagi
mengundang semut-semut merangkak pada tubuhnya
saat rembulan menyemangka
ketika angin menggelar kelopak
rumput-rumput bernyanyi, gerimis menari
meski kau tahu? tubuhnya hangus kerna getah luka
mungkin aku sedikit memuja
tapi wajahnya selalu menggenang hingga muara
terlukis di tiap sudut mataku, mawar sewarna hujan
tempatku mencatat waktu
Surabaya, 2013
Tak Sewarna Musim
sajakku telah terbaring pada senja
ia menunggu daun mangga meranggas dari sinar purnama
lalu abjad-abjad ini akan luruh bersama tanah
menderu dalam dasar jejak-jejak musim
salju:
lihatlah, mentari telah sembunyi dalam pekat matamu
burung-burung pipit menggigil pada batu-batu retak
namun, rinduku selalu mendidih dalam beku
menunggu detaknya mencair
semi:
lumut dipelantara kali itu telah membangun istana
meski melati tengah semerbak pada nisanku
teman lorong-lorong tanpa jalan
panas:
bidadari telah membasuh sayapnya sedari fajar
menikmati mentari dengan senyuman menawan
memanjakan awan-awan membiru pada rindunya
yang berkibar
gugur:
anggrek akan menemui abu-abu hingga meremang
bunga-bunga sakura terbang ke hulu dan tenggelam di sudut muara hatiku
hempasan angin tiba-tiba meringsut pada bulir darah
tungku jiwaku
dan kini milikmu..
menghirup aroma musim meski tak sewarna senyummu
Surabaya, 2012
Kisah Pagar Besi
disini masih pagi
arus sungai masih malas membaca jejak
tentang petualanganku semalam
saat ada beribu besi menjadi pagar di sepanjang pantai
dan setiap waktu ombak mengguyur
asinnya berkarat hingga ke tulang
sesekali orang-orang melintas
namun hanya bernyanyi dengan lagu-lagu kecil
meninggalkan jejak yang tak mampu lagi bernafas
terkadang rembulan menjadi satu-satunya cahaya hidup
dan ketika awan merenggutnya
besi berteriak meminta lampu
mana ada lampu di tempat sedingin itu?
cahaya seperti meja makan
dan keong tetap bersembunyi, rindu untuk pulang.
sekarang pagi membentang
bahkan lumer kemana-kemana
dan segala besi-besi semalam
hilang bagai bayangan
padahal mereka yang menulis
sesajak pedih dari air garam
jadi kepada siapa aku ceritakan duka
karena segala yang bisa mendengar sudah tuli
dan mereka berbicara dengan mata
atau hanya dengan jari-jari
kini aku mengukir nama-nama di hamparan pasir
menunggu mereka lahir
Lamongan, 2014
Mangkuk
pada bayang-bayang lilin ada cerita
tentang jarak jemariku dengan api
saat malam mengirimkan pekat dingin
ia tetap terbakar
oleh api yang tak pernah menyala
di sekitar detak jantung
lalu segala lagu-lagu mengalun dari nadi
mengikis warna-warna temaram
yang tersisa oleh jari-jari
malam kini menjadi pasar
ada beribu suara tawar-menawar
“tentang rembulan”
terkadang mereka menginginkanmu
menjadi sabit
ah, senyummu terlukis di situ
pun saat mereka ingin
kau menjadi bulat penuh
matamu malah dalam
menatap waktu
tapi api malah membeku pada jemariku
dan sabit menjadi mangkuk
menanti jarak bertemu rindu
dalam ceruknya
Lamongan, 2014
Pertemuan Akhir
di pertemuan terjahit kenangan
tentang warna matamu
dan sedikit lesung pipi, namun
hujan begitu basah
hingga menggenang di mataku
kini
pada pertemuan aku menulis
huruf huruf yang tak mampu terbacakan
tentang sesingkat waktu
yang menari di atas meja, menggambar
jarak sungai dan lautan
pada pertemuan gerimis datang
di awal
dan, menghilang
Lamongan, 31 januari 2014
Mereka Menyebutnya Janji
hari ini bukit cemara penuh
oleh sepotong janji
asap asap menjadi kembang api
menertawai rusuk yang remuk
karena jantung
terdengar jam berdentang
dan burung burung camar berjalan
mematuki setiap jengkal tunas yang merambat
rindu itu seperti sepoi yang bergelombang
menerpa rumput hingga tak dapat mendekap
gerimis dari langit, garam dari pantai
kerna angin mengubah dingin
dan asin jadi tawar
sepotong janji menunggu diadili
sedang tangannya kosong
kerna waktu mengubur segala jarak
batas dengan bayang bayang tanah
Lamongan, 01 februari2014
Aku Pulang
aku pulang
menjelajahi setiap sudut bumi
yang ternyata aku kembali berenang
tepat di retina matamu
aku terbang dari dahan hingga bendera yang berkibar
akupun menggelar sayap
mencatat janji-janji yang gemersik dengan dingin
mengikisnya dari segala taman langit hingga sungai
ke kutub aku buang nama
ke bulan pun aku asapkan warna
tapi bayang-bayang rimbun di bawah sendalku
aku pulang
biar kukuburkan luka di bingkai jendela
rumah kita!
Lamongan, 02 November 2013
Sumber gambar: services.flikie.com
- Puisi-Puisi Uul Hasanah (Lamongan) - 14 July 2015