
EPISODE
Cuplikan
Ketika jurnalis muda itu menanyai Ameera, akulah yang menjawab untuknya. Ameera kehilangan kata-kata. Bukan karena ia berjalan puluhan kilo dari Khan Younis tanpa sepatu. Jalan-jalan di Khan Younis serupa briket-briket merah di panggangan saat kakek membalik domba penuh rempah-rempah dan olesan saus delima. Dulu.
Kini. Bukan domba-domba yang dipanggang di sana, tapi saudara-saudara dan sahabat Ameera. Mereka baru saja bicara tentang membuat roti gandum tanpa minyak zaitun. Ameera kehilangan suaranya. Bukan karena rumahnya lebur oleh misil dan ia diam-diam berdoa Tuhannya mengutus kembali rombongan ababil pembawa kerikil. Ameera menarik-narik kemeja jurnalis muda.
“Anda mirip ayahnya,” kataku kepada si jurnalis muda. Ameera menggigit bibirnya. Ia menemukan suaranya. “Baba, Baba, tadi pagi Mama mengetuk pintu Jannah, mencarimu.”
Penggalan
Mereka mengabarkan padanya kalau Ahmed menyusul kakak-kakaknya, martir.
Nama lengkapnya tertulis di sisa lengan yang ditemukan. Lima shekel terakhirnya terjatuh, terserak. Seperti keping-keping daging tubuh Omar yang terbakar. Atau pecahan pundak Khaleed yang penuh memar. Sisa-sisa betis Yousef di bawah puing-puing. Di antara desing. Ia hapal tanda lahir putra-putranya. Seperti ia hapal peta buta Palestina dan Ali Imran seratus tujuh tiga.
Diusapnya wajah Ahmed,
Ahmed, ya Habibi. Baru kemarin kau katakan tidak akan meninggalkan kenari kesayanganmu, tapi hari ini kau putuskan menyusul abang-abangmu—menjadi burung-burung hijau. Seberapa jauh Jannah dari Rafah, maka sejauh itu doaku akan menjadi selimut-selimut merah. Seperti jubah. Ia akan menaungimu dari dingin, dari nyala lilin: roket-roket mereka di langit kita yang cedera dan licin.
Dibelainya rambut Ahmed. Darah telah menggumpal. Serupa kesedihan yang keras kepala dan gempal.
Ahmed, ya Habibi.
Di antara aroma sulfur dan samar wangi bakhur, kuluruskan tubuhmu yang terbujur, di balik aroma sulfur dan mawar gugur, kuciumi dukaku yang menganga dari barat hingga timur,
Seharusnya kukatakan lebih banyak—aku mencintaimu—lagi dan lagi, sebelum kau pergi pagi ini
menjaja roti.
Fragmen
Alangkah tampannya kau, Nak.
Terbaring di sini, dadamu belah dan madu meleleh darinya, hampir serupa sirup maple yang kuhangatkan di atas roti kegemaranmu (meski kerap kukatakan labneh atau hummus lebih lezat dari itu semua). Kubalikkan tubuhmu dan kutepuk-tepuk punggungmu seperti aku menepuk kuali maqluba. Aku tahu kau tidur. Yang aku tidak tahu adalah apa kau akan bangun. Aku tahu kau tidur. Diam-diam barangkali aku juga tahu kau tidak akan bangun. Mungkin aku hanya berharap matamu pejam, dan membayangkan tubuh-tubuh penembakmu dirajam.
Jari-jarimu masih menggenggam erat sebungkus roti, wajahmu perlahan kian pucat dan lesi. Padahal purnama pernah mampir di situ. Sendalmu di antara jeruji sepeda, darah dan tawa para tentara. Wahai, aku tidak tahu mana yang lebih remuk, tubuhmu atau seluruh hatiku yang ambruk. Tanganku menggapai-gapai mencari Tuhan. Ingin kulihat di lenganNya yang mana Ia menggendongmu menggantikan rangkulku.
Dan aku tidak tahu, mana yang lebih pecut—hatiku yang bangkrut kehilanganmu, atau tawa serdadu-serdadu hijau saat melihatku mengambil batu, kulemparkan ke tiap tatap mata yang buntu.
Segmen
Di atas reruntuhan ini, kami akan bangun kembali rumah-rumah kami. Batu demi batu, satu-persatu. Bata demi bata, setiap nadi dan aorta. Mimpi kanak-kanak kami. Yang tak ikut meledak, yang tak turut terserak.
Yang kau rubuhkan hanya sarang, semata cangkang. Sementara benteng kami—pemilik angkasa, pemilik semesta. Dan Dia sebaik-baik perencana.
- Puisi Julia F. Gerhani Arungan - 8 July 2025
- Puisi-Puisi Julia F. Gerhani Arungan - 20 September 2022


Hida
Bahasa puisinya sangat indah. Isinya membuat menangis. 😭
Syifa
Maa syaa allah.
DD
Prosais yang keren
Tri Haryono
Tubuh & jiwaku seolah berada dikancah itu…. luka & kematian itu benar2 menyakitiku …bunga2 yg lagi kuncup telah melayu lepas dari tangkai kehidupan…namun memekarkan jiwa kuncup2 yg tumbuh ditaman bunga bangsa
Rio
Halus namun tajam. Pelan namun kuat.
Puisi sejajar peluru, mengenai isi kepala pembaca
Rizal
Makna yang sangat dalam sekali meskipun kurang paham 🙂
tahniah
subhanallah indah sekali.. cengengku jadi muncul