Sang Idealis dan Kesunyian yang Tak Sanggup Ditanggungnya

Apa yang menghubungkan “Karya” dan “Kekayaan” selain keduanya berawalan dengan huruf “K”? Apakah sebuah masterpiece bisa bergandeng tangan dengan uang? Itu adalah pertanyaan ganda sutradara India yang mati muda, Guru Dutt (1925-1965), nyaris kepada dirinya sendiri dalam tulisannya, “Classics and Cash”, dalam monograf yang disusun Feroz Ragoonwalla (1973). Dan Dutt menulis jawaban panjang yang mengambang, yang sebenarnya bisa dipersingkat dengan satu kata: rumit.

Guru Dutt bilang, keberhasilan atau kegagalan sebuah karya tak pernah sepenuhnya bersandar kepada penciptanya (pengarang, penyair, musisi, sutradara, dst.). Menurutnya, itu seringkali tergantung justru kepada keinginan, standar estetika, dan tingkat intelektualitas publik yang terus berubah. Dan karena itu, ia selalu sulit ditebak.

Bahwa kebanyakan para pencipta yang karyanya menjadi klasik hidup dalam kekurangan dan kesulitan keuangan dan terasing dari masyarakatnya adalah kebenaran yang tak dielakkan oleh Dutt. Dan ia memberi contoh, mulai dari Homer pencipta Iliad hingga penyair klasik Tulsidas, yang mengarang beberapa carangan Ramayana, juga perupa Van Gogh, hingga penyair Kabir. Bahkan, menurutnya, Tagore juga mengalami masa-masa terabaikan, sampai kemudian dunia Barat mengakuinya dengan penghargaan Nobel Sastra.

Di sinema India sendiri, Dutt tak kekurangan contoh. Prithviraj Kapoor, aktor besar India yang menjadi moyang dari klan Kapoor yang kini mendominasi Bollywood, mesti menutup kelompok teaternya, Pritvi Theatres, karena tak sanggup menanggung biaya operasionalnya. Sementara orang India tak ada yang hirau dengan apa yang dilakukan Satyajit Ray sampai film-filmnya mendapat pujian di Eropa dan Amerika.

Tapi buru-buru ia menambahkan bahwa tidak semuanya demikian. Picasso toh kaya-raya dari lukisannya. Demikian juga dengan para raksasa susastra seperti Victor Hugo, Bernard Shaw, dan Somerset Maugham. Di dunia film, ketika film-film yang diangkat dari karya-karya klasik seperti Grapes of Wrath dan The Old Man and the Sea flop di pasaran, Ben-Hur dan Wuthering High justru menjadi karya klasik. Hal yang sama juga terjadi di sinema India, di mana Dutt menjadi bagiannya: karya-karya yang sama-sama dibuat dengan intensi untuk menjadi klasik diterima dengan cara yang berbeda dan akhirnya memiliki nasib berbeda.

Tapi, contoh yang paling gamblang adalah dua film Dutt sendiri—dan ia menyebutnya di tulisan itu. Sementara Pyaasa (1957) sukses besar, Kaagaz Ke Phool (1959) gagal total baik di mata penonton maupun di pena kritikus. Film yang gagal itu bukan hanya membuatnya mengalami kebangkrutan yang hampir fatal, tetapi juga membuatnya kapok untuk menyutradarai film lagi. Bahkan banyak pihak yang meyakini, kegagalan Kagaaz Ke Phool-lah yang menyeretnya kepada depresi dan, akhirnya, ke kematiannya.   

***

Dalam usia hidup dan usia berkaryanya yang pendek, 39 tahun, Guru Dutt hanya sempat membuat delapan film. Lima film pertamanya, konon, ia kerjakan agar bisa mengumpulkan modal untuk dipakainya mengerjakan film yang telah dicita-citakannya sejak kuliah, yaitu Pyaasa.

Terlahir dengan nama Vasant Kumar Shivashankar Padukone, dan kadang dipanggil sebagai Gurudatta Padukone, Dutt terdidik sebagai seorang penari. Tarilah yang membawanya ke dunia film di Bombay, ketika ia menjadi penata gerak untuk Prabhat Film Company, salah satu perusahan film terkemuka India di era kolonial. Tapi, di Prabhat ia kemudian menjadi asisten sutradara sekaligus mulai matang sebagai aktor.

Di Prabhat juga, ia bersahabat dengan aktor pemula yang nanti menjadi salah satu superstar terbesar Bollywood, Dev Anand. Dari nama yang disebut terakhir, Guru Dutt mengerjakan dua film pertamanya, Baazi (1951) dan Jaal (1952), yang dibintangi dan diproduseri Anand. Dua film ini sukses. Baazi, yang banyak dipengaruhi oleh film noir Amerika, kemudian dianggap sebagai pelopor genre ini di sinema India.

Dutt menjalani debutnya sebagai aktor dalam film eksyen sejarah, Baaz (1953), dengan tidak terlalu baik. Namun, ketika ia memutuskan untuk mulai memproduseri film-fillmnya sendiri, kesuksesan itu kembali. Di dua film komedi romantis yang dibintangi, disutradarai, dan diproduserinya sendiri, yaitu Aar Paar (1954) dan Mr. & Mrs. ’55 (1955), ia memantapkan namanya di industri. Dan tibalah ia pada proyek impiannya, Pyaasa.     

Pyaasa (Ind: Haus) bercerita tentang Vijay, penyair dengan hidup sial dan masa depan suram. Tak satu pun penerbit yang mau menerbitkan puisi-puisinya, sementara saudara-saudaranya di rumah merasa ia tidak berguna, sehingga menjual lembar-lembar puisi itu kepada tukang sayur, sebuah kesialan yang menghubungkannya dengan seorang pelacur, satu-satunya manusia di dunia yang mengerti dirinya. Ironisnya, ketika Vijay diumumkan meninggal, puisi-puisinya diterbitkan dan kemudian menjadi laris, dan namanya dirayakan secara besar-besaran.

Pyaasa nyaris otobiografis (dan kelak menjadi semacam nujuman bagi hidup dan kekaryaan Dutt sendiri), meskipun sedikit bercampur dengan kisah Devdas-nya Sarat Chandra Chattopadhyay, dan riwayat serta visi Sahir Ludianvi, penyair yang menulis lirik untuk lagu-lagu di film ini. Mengangkat cerita yang sangat tidak biasa untuk sinema India, tidak hanya di masanya, tapi juga saat ini, juga memiliki nuansa yang muram dan ending yang sangat fatalis, Pyaasa secara mengejutkan sukses di pasaran. “Kesuksesan Pyaasa adalah imbalan terbaik di sepanjang karirku,” demikian kata Dutt, seperti ditulis Rangonwalla.   

Penerimaan Pyaasa yang sangat baik tampaknya membuat Dutt sangat bersemangat. Ia menaikkan level dengan membuat Kaagaz ke Phool (Bunga Kertas), cerita tentang sutradara idealis yang kehidupan pribadinya hancur oleh film-filmnya sendiri, dan ia berakhir mati sendirian dan kesepian—di kursi sutradara yang biasa ia duduki. Lebih otobiografis dari Pyaasa, dan jelas lebih personal, dan kelak benar-benar meramalkan akhir hidup sutradaranya.

Dan publik India saat itu tak mengerti mengapa seseorang membuat film seperti itu.     

***

Meskipun disebut meninggal karena kecelakaan, akibat kadar alkohol yang terlalu banyak bercampur dengan dosis pil tidur yang terlalu tinggi, beberapa spekulasi menyebut bahwa Guru Dutt meninggal karena bunuh diri.

“Seorang pemikir sepanjang hidupnya, bahkan terus saja berpikir ketika ia tidur untuk selamanya,” adalah kalimat yang ditulis Abrar Alvi, kawan dekat sekaligus orang yang paling banyak menulis skenario untuk Guru Dutt. Dev Anand, kawan dekatnya yang lain, sekaligus orang dengan kepribadian yang sepenuhnya berbeda, menyebutnya sebagai “sang idealis”.

Menyebut Guru Dutt sebagai idealis dalam nada memuji sebagaimana dilakukan Anand tentu saja mudah diterima. Karena, itulah yang tergambar pada karya-karyanya, bahkan untuk film-film yang ia sendiri tak begitu menyukainya. Tapi sebagai tuduhan, atau sekadar sikap menyayangkan, seperti kebanyakan maksud kata  “idealis” ketika diucapkan seseorang kepada orang lain, Guru Dutt sendiri tampaknya tak akan terima.

Sebagaimana ia membela sutradara India pendahulunya, Pramathesh Chandra Barua, dari tuduhan sebagai “idealis-tak-praktis”, saya pikir Dutt juga akan tidak suka disebut demikian. Jika Barua, seorang pangeran dari Kerajaan Gauripur, di Assam, memilih keluar dari kehidupan istananya yang nyaman untuk berbaur dengan masyarakat dan menolak mengunci diri di menara gading kesenian, maka Guru Dutt menolak menjadi bagian dari sinema Bengali di Kolkata yang lebih nyeni, dan lebih memilih film Hindi di Bombay yang penontonnya lebih besar sekaligus lebih berorientasi industri. Jika Satyajit Ray memilih langkah ekstrem dengan mengamalkan Neo Realisme secara taat, sehingga ia tak memilih aktor profesional untuk film-filmnya, Guru Dutt dengan kesadaran penuh memakai para bintang besar, atau bintang yang akan menjadi besar, di film-filmnya, mulai Dev Anand, Geeta Bali, Madhubala, hingga Waheda Rehman; Dutt, juga seorang aktor yang diberkahi wajah tampan, bahkan memasukkan dirinya dalam kultur bintang di perfilman Hindi. Meski ia bersepakat dengan Ray bahwa sekuen lagu di film India mengganggu kelancaran cerita, tapi Dutt menghiasi film-filmnya dengan musik, lirik, dan adegan tari-nyanyi dalam cara terbaik yang pernah dihasilkan sinema India—dan tak mengherankan dari film-film Dutt dihasilkan lagu-lagu abadi semacam “Babuji Dheere Chalna” dan “Kabhi Aar, Kabhi Paar” (keduanya dari film Aar Paar), “Jaane Woh  Kaise Log” dan “Ye Duniya Agar Mil Bhi Jaye” (dari Pyaasa), “Waqt Ne Kiya Kya Haseen Sitam” dan “”Dekhi Zamane Ki Yari” (dari Kagaaz Ke Phool), dan masih banyak lagi.  

Jika dalam satu kesempatan sutradara Shyam Benegal, seorang pentolan gerakan Parrallel Cinema yang kebetulan adalah sepupu Dutt, pernah menyayangkan kurang sabarnya Ray terhadap film komersial India, maka masalah Dutt justru karena ia terlalu sabar. Ketika para auteur seangkatannya mengabaikan publik kebanyakan dan memilih membuat film untuk kalangan terbatas saja, atau bahkan untuk juri-juri di festival-festival film di Eropa, Dutt justru menginginkan film-filmnya yang mendahului zaman sukses secara komersial. Ketika Guru Dutt terkesan terlalu sabar dan mesti menunggu terlalu lama untuk mengerjakan Pyaasa, Feroze Rangoonwalla dalam monografnya menduga bahwa Dutt khawatir Pyaasa, yang mengangkat tema serius dan bernuansa suram, “tidak aman” di mata industri dan penonton.

Dan, barangkali karena itulah, tanggapan industri dan penonton yang sangat berbeda atas dua proyek seriusnya, Pyaasa dan Kaagaz Ke Phool, sangat menggusarkannya. “Bahkan tak ada penonton yang sekadar berbasa-basi untuk protes,” keluh Guru Dutt, atas dinginnya sambutan khalayak pada Kaagaz Ke Phool. Sambutan dingin yang kemudian menghancurkannya.

***

Kerugian finansial yang diderita Guru Dutt akibat kegagalan Kaagaz Ke Phool sebenarnya segera bisa dipulihkan dengan keberhasilan beberapa film penting lain yang kemudian ia produksi, seperti Chaudhvin Ka Chand (1960) dan Sahib Biwi Aur Ghulam (1962)—yang kemudian menjadi karya-karya klasik Dutt yang lain, meskipun bukan ia lagi yang menyutradarai. Itu menghindarkannya dari jatuh miskin. Sayangnya, itu tak menyembuhkannya dari luka dan kecewa. Apa yang telah dinujumkannya tentang sutradara yang mati di studionya dalam Kaagaz Ke Phool kemudian benar-benar diwujudkannya lima tahun setelah film itu rilis.

Guru Dutt hampir pasti bukan sutradara paling idealis yang pernah ada, bahkan di sinema India sendiri. (Menurut hemat saya, K. Asif, sutradara sezaman dengan Dutt, yang membuat mahakarya Mughal-E-Azam [1960] selama 15 tahun, dan bisa menghabiskan bujet satu film hanya untuk satu sekuen lagu, jauh lebih gila.) Tapi, tak diragukan, Dutt adalah salah satu korban paling buruk dari para idealis yang mencoba berdamai dengan publiknya—dan tak diterima.

“Saya percaya seseorang yang maju mengadang angin harus bersiap mendapatkan lemparan bunga atau timpukan batu entah untuk kejayaannya atau untuk kegagalannya…,” kata Dutt menutup tulisannya. Untuk Kaagaz Ke Phool, film yang telah menghancurkannya, tak ada bunga, tak juga batu, hanya sejenis kesunyian yang panjang—seperti suasana di film itu sendiri. Dan itu yang tampaknya paling mematikan buatnya. Dan ketika pengakuan itu tiba, berdekade-dekade kemudian, bahwa publik India, juga dunia, telah melewatkan sebuah mahakarya yang mendahului zamannya, ia tak pernah bisa mengembalikannya. Dutt secara ironis juga adalah Vijay dalam Pyaasa, yang karyanya dirayakan setelah kematiannya.

Mahfud Ikhwan
Latest posts by Mahfud Ikhwan (see all)

Comments

  1. Fajar Reply

    Bagus banget ulasannya, kang

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!