Solilokui dalam Tiga Fragmen Pembunuhan

Jika boleh dikata, sebenarnya aku menyesal membawanya ke rumahku. Semenjak ia berada di sini, hari-hariku jadi tidak tenang. Aku beberapa kali mendapatinya melamun dengan pisau di tangan sambil menonton anak-anakku bermain. Ada perasaan rindu yang begitu dalam dari tatapannya, seolah anak-anakku adalah cucunya. Namun, di satu sisi, aku merasakan ada amarah yang hendak tumpah. Itu membuatku bergidik ngeri. Pernah aku menceritakan perasaanku ini kepada istriku, dan ia malah tertawa. Ia menganggap aku terlalu banyak menonton film.

Sebenarnya aku ingin meninggalkannya di kantor polisi. Namun, hatiku tidak tega. Ia begitu mirip dengan almarhum ibu. Ketika aku menemukannya berjalan kepayahan di trotoar, aku langsung menghentikan mobilku dan mendatanginya. Aku bertanya ia dari mana dan hendak ke mana. Ia berkata sedang mencari anaknya yang hilang. Aku sempat berpikir perempuan ini sakit. Usianya terlalu tua untuk orang yang kehilangan anak. Apalagi setelah ia berkata usia anaknya yang sepantar denganku, tambah yakin aku perempuan ini punya masalah. Masak orang seusiaku bisa hilang begitu saja?

Ketika aku memintanya menjelaskan kronologi bagaimana anaknya bisa hilang, ia pun memulai ceritanya. Anaknya tidak pernah kembali selepas mereka makan malam di warung dekat stasiun. Katanya, ia mau ke toilet sebentar. Nyatanya, ia tidak pernah kembali. Sejak saat itu perempuan ini menggelandang di kota, makan dari belas kasihan orang. Ia tidak mengemis, tetapi orang-orang berpikir dirinya adalah pengemis, dan dari kebaikan orang itulah ia mengisi perut kosongnya.

Aku pun menawarkan untuk mengantarnya pulang, namun ia berkata rumahnya jauh. Aku tidak peduli sejauh apa pun itu. Lalu, begitu ia menyebut lokasi yang harus melintasi dua pulau dan itu pun masih ditambah tiga hari perjalanan darat, aku langsung keder. Apalagi ia berkata, tidak ada keluarga yang mencarinya. Anak yang hilang itu adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ia pun bercerita tentang anaknya. Namun, aku merasakan terlalu banyak kejanggalan dari ceritanya. Kadang ia begitu lancar menuturkan ceritanya, kadang ia seperti orang bingung dan tersesat di dalam ceritanya. Ia bahkan tidak ingat sejak kapan anaknya hilang. Ia tidak lagi menghitung waktu sejak menggelandang, seolah ingatannya terkelupas satu per satu sejak hari itu.

Karena prihatin dengan nasibnya, aku mengajaknya ke kantor polisi. Ia menolak. Ia bilang tidak mau ke kantor polisi. Aku katakan nanti akan ada orang dari dinas sosial yang akan menampungnya. Mereka orang baik. Namun, ia malah menangis dan menjerit ketakutan.

Kalau kamu anakku sendiri sudah tidak mau menerima, tinggalkan saja ibu!

Aku terkejut dengan apa yang dikatakannya. Rupanya perempuan ini benar-benar sakit. Ia mungkin menyangka aku adalah anaknya. Ingatannya mulai tidak setia. Jika aku boleh menyimpulkan, agaknya perempuan ini sudah separuh jalan menuju tidak waras. Aku jadi tidak tega meninggalkannya sendiri. Aku pun membawanya ke rumah sembari meminta polisi mencari anaknya yang hilang. Namun, itu agak susah karena ia kehilangan kartu identitasnya. Selain tidak ingin bertemu polisi, ia juga tidak punya apa pun yang memungkinkan polisi melacak keberadaan anaknya. Aku juga tidak yakin anaknya hilang. Mungkin anak itu sengaja meninggalkan perempuan tua ini. Setelah lebih dua bulan ia tinggal bersama kami, aku merasa yakin anaknya memang sengaja meninggalkannya.

II

Aku sudah tidak tahan lagi dengan ibu. Ia membuat rumah seperti neraka. Ia membuat aku dan istriku terus bertengkar. Rara memintaku memilih dirinya atau ibu. Sialan, mana mungkin aku bisa memilih. Aku memang membenci ibu lebih dari separuh usiaku. Bukan hanya membencinya, aku menyimpan dendam kepadanya. Sejak ia meninggalkan kami ketika kecil dulu, aku terus memupuk dendam itu. Namun, aku tidak bisa membantah orang-orang yang berkata bahwa apa yang ibu lakukan dulu adalah untukku dan adikku. Ibu terpaksa meninggalkan kami untuk bekerja di negeri seberang karena ayah, lelaki sialan itu, bukanlah sosok yang bertanggung jawab. Jahanam itu menikahi ibu hanya bermodal kontol, lalu ia begitu saja meninggalkan kami setelah menghabiskan semua uang yang ibu hasilkan di negeri Jiran.

Setiap hari bajingan itu kerjanya hanya mabuk-mabukan. Sesekali ia keluar menjadi tukang parkir di pasar. Lebih banyak dari itu, aku menemukannya berjudi bersama preman-preman di sana. Tidak ada satu hal pun yang baik dari dirinya. Herannya, bajingan tengik itu selalu berhasil membuat perempuan tergila-gila. Tidak hanya ibu yang dibuat tergila-gila olehnya, ada banyak perempuan lainnya. Aku tidak tahu apa yang dilihat oleh perempuan-perempuan itu darinya. Mungkin perempuan memang makhluk goblok yang suka melukai diri sendiri.

Ibu sekarang sakit-sakitan. Bukan tubuhnya, melainkan jiwanya. Ia mulai kehilangan kewarasannya sejak bajingan itu meninggalkannya. Mungkin juga sebelum itu. Ada yang bilang ia mulai sakit sekembalinya dari negeri seberang. Aku tidak tahu mana yang benar. Ibu menutup mulutnya rapat-rapat, mengunci, dan membuang kuncinya. Tidak pernah ia bercerita apa yang menimpanya di sana. Ia tidak bisa berkomunikasi dan lebih sering bicara sendiri. Ia hampir tidak pernah tidur dan sepanjang hari kerjanya memaki orang.

Ketika nenek meninggal, saudara-saudaranya tidak mau lagi menampungnya. Setelah pembagian harta warisan dari menjual rumah nenek, mereka membuang ibu, dan aku sebagai anak satu-satunya, sebab adikku telah lebih dulu meninggalkan kami, mau tidak mau harus menampungnya. Aku mengolah uang warisan ibu yang sedikit itu, menjadikannya modal usaha. Dengan memanfaatkan istriku yang pandai masak, kami membuka warung makan. Warung kami sukses. Aku bahkan berhenti dari pekerjaanku sebagai buruh konveksi dan membantu usaha istri. Kehidupan sempat tersenyum kepada kami dan ibu mulai terlihat membaik setelah tinggal bersama kami. Ia bahkan membantuku mengurus anak-anak. Namun, itu tidak berlangsung lama. Sesuatu terjadi kepada ibu.

Ibu kembali terlihat gelisah, takut kepada sesuatu yang tidak bisa kami lihat. Ia kembali memaki setiap orang. Tidak ada yang luput kena makiannya. Ia melihat setiap orang sebagai musuh. Kadang ia meludah sembarangan. Pernah ludahnya mengenai kepala anak bungsuku. Aku hampir saja mendatangi ibu dan mencekiknya. Beruntung Rara selalu mampu memadamkan amarahku. Dengan tenang ia memintaku membawa ibu ke rumah sakit jiwa. Aku menolak. Selain karena memikirkan biayanya, aku tidak ingin percaya ibu telah jadi gila. Sampai kemudian ibu mendorong anakku hingga jatuh dari tangga, aku tidak bisa mengelak lagi. Daripada aku yang malah tidak sengaja membunuhnya. Meski aku tidak tahu apakah benar ibu mendorong anakku atau itu hanya kecelakaan, aku tidak punya pilihan; Rara yakin betul dengan apa yang dilihatnya.

Anakku memang selamat, tapi Rara berkata, ia tidak berani mempertaruhkan kehidupannya. Aku pun terpaksa mengirim ibu ke rumah sakit jiwa. Ia mengamuk dan melawan. Ia tidak mau dikirim ke rumah sakit jiwa. Kami tidak punya pilihan. Namun, ibu selalu menemukan jalan untuk kabur dan kembali ke rumah kami. Istriku jadi tidak tahan. Akhirnya ia meninggalkan rumah dan membawa anak-anakku untuk tinggal di rumah saudaranya. Aku terpaksa hidup berdua dengan ibu. Begitu hidup berdua dengannya, aku tahu ibu sudah tidak bisa diperbaiki. Dari luar ia mungkin masih terlihat sehat, namun komponen yang menyusun otaknya sudah rusak. Aku tahu satu-satunya cara adalah membawanya pergi jauh dan meninggalkannya di tempat di mana ia tidak bisa lagi menemukan jalan pulang. Kuputuskan untuk membawa ibu pergi jauh, sejauh-jauhnya dari hidupku.

III

Ibu tahu apa yang kamu lakukan, Nak. Ibu bisa memahaminya. Perempuan itu terus mendesakmu. Ia mendapati Ibu bicara sendiri. Ibu sudah berusaha menahan diri. Setiap keinginan itu datang, Ibu bersembunyi di kamar mandi. Namun, kamu perlu tahu, Ibu tidak pernah melakukan apa yang dituduhkannya. Itu semua kecelakaan. Meski begitu, Ibu mengerti jika dia takut kepada Ibu. Hanya saja Ibu tidak mengerti kenapa kamu tidak bisa berkata jujur. Katakan di depan wajah Ibu, dan itu akan membuat Ibu lega. Kamu tahu, sebenarnya sudah tidak ada lagi yang ibu cari di dunia ini selain melihatmu bahagia sampai tua. Kamu harus percaya segala yang ibu lakukan hanya untukmu dan adikmu (semoga adikmu bahagia di sana). Kamu juga perlu tahu, Ibu meninggalkan kalian dulu supaya kita bisa terus bersama. Maafkan Ibu karena semua tidak berjalan seperti yang seharusnya. Tapi apakah harus seperti ini balasanmu?

Setelah istrimu meninggalkanmu, kamu melampiaskan semua kemarahanmu kepada Ibu. Kamu berkata, kamu juga akan meninggalkan rumah. Kamu sudah lelah dengan semua ini, dan kamu ingin mengajak Ibu pergi jauh meninggalkan kota ini. Ibu menurut saja. Setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan dan kita nyaris tiba di tempat tujuan, tiba-tiba Ibu merasa perjalanan kita berbelok arah. Langit berubah gelap, dan Ibu tidak bisa melihat atau mendengar apa pun setelah mendengarkan kamu berbicara di telepon. Segalanya menjadi kehampaan tiada akhir ketika ibu mendapati kamu berbicara dengan perempuan itu di telepon, berkata, kamu bakal pulang setelah semuanya beres. Kamu meminta perempuan itu kembali ke rumah dan menunggumu di sana.

Mendengar apa yang kamu percakapkan, Ibu merasa tubuh Ibu menjadi ringan. Ibu berusaha mengendalikan diri, tidak mau lepas kendali seperti waktu itu. Sudah cukup ibu melukai kamu dan adikmu. Ibu ingin semua ini berakhir. Kemudian ketika kamu mengajak makan di warung sebelum kereta berangkat, sayup-sayup Ibu merasa kepala Ibu penuh. Dan ketika kamu pamit ke belakang, kendali tubuh sudah tidak lagi di tangan Ibu. Diam-diam Ibu menyusulmu, dan kamu tidak pernah tahu apa yang menimpamu. Semuanya terjadi begitu cepat. Ibu sendiri hanya bisa menyaksikan. Peristiwa itu berubah menjadi film bisu tanpa warna dalam tabung televisi tua. Ibu dibuat menonton tanpa bisa melakukan apa-apa. Darah! Darah! Ibu menangis melihat darahmu yang muncrat bagai air mancur. Beberapa memercik ke wajah Ibu. Batu di tangan Ibu lempar sejauh-jauhnya. Ibu ketakutan dan berlari tanpa tujuan. Lalu Ibu memikirkan kota yang akan kita tuju. Kemudian Ibu naik kereta dan melanjutkan perjalanan sendiri. Namun, Ibu tidak turun di kota itu. Dari jendela kereta yang terus melaju, Ibu melihat bangunan-bangunan dan pohon-pohon berlari meninggalkan Ibu.

Ibu tidak pernah tahu kereta telah membawa Ibu sampai ke mana. Ibu tidak pernah turun di tempat seharusnya Ibu turun. Ibu biarkan saja kereta membawa Ibu pergi. Begitu sadar Ibu sudah berada di sebuah kota ini, menggelandang tanpa tujuan. Lalu di sanalah Ibu bertemu kamu. Ibu yakin betul itu kamu. Tuhan bermurah hati mengirimmu kembali agar Ibu bisa menebus dosa-dosa Ibu. Kamu pun membawa ibu ke rumahmu. Ibu mulai melupakan hari-hari lalu. Hari-hari mengerikan itu perlahan menghilang. Namun, begitu Ibu tahu kamu menghubungi polisi, hari-hari mengerikan itu kembali. Ibu diam-diam mencuri dengar apa yang kamu percakapkan dengan polisi itu. Ibu menguping dari telepon di ruang tengah setiap ada telepon yang datang. Begitu mendengar apa yang polisi itu katakan, Ibu merasa kepala Ibu kembali penuh.

“Iya, Pak. Perempuan itu sebenarnya tidak bernama Rara.”

Jangan dengarkan orang itu, Nak. Dia mau merampas kebahagiaan kita.

“Sudah ada orang yang melaporkan tentang dirinya dan anaknya yang menghilang sejak tahun lalu.”

Lakukan!

Jangan ditunda lagi!

Semuanya harus diakhiri ….

Suara itu mengepung kepala Ibu.

Lakukan!

Segera lakukan! Kalau tidak, mereka akan meninggalkanmu lagi.

“Kami menemukan mayat tanpa nama di dekat stasiun ….”

Cepat lakukan agar kalian bisa bersama di surga!

“Perempuan yang melaporkan suaminya menghilang itu bernama ….”

Ibu terpaksa memutuskan kabel telepon. Ini demi keselamatanmu, Nak. Kamu lebih baik tidak pernah tahu.

***

Rara menyalakan televisi. Seorang pembawa berita kriminal mengumumkan telah terjadi pembunuhan terhadap satu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan kedua anaknya. Keluarga ini dibunuh oleh seorang perempuan tua yang belum lama mereka tampung. Pelaku kemudian menggorok lehernya sendiri. Polisi masih mendalami motif di balik peristiwa ini, namun polisi menduga pelaku mengalami gangguan jiwa.  

Rara tidak bisa memalingkan wajahnya dan dadanya terasa dihantam godam begitu melihat wajah perempuan yang menjadi pelaku pembunuhan itu. (*)

Blencong, April 2024

Aliurridha

Comments

  1. DD Reply

    Keren banget ceritanya. Endingnya nyesek banget. Jadi inget cerita dr Philipina, sebuah keluarga adopsi anak, terus anak adopsi ini bunuhin si anak2 kandung.
    Meski bagus sih endingnya cuman agak bingung kok bisa bunuh satu keluarga gitu ya, kan si suami udh sadar perempuan ini agak sakit jiwa. Maksuku dia udah tua gitu lho memang tenaganya sekuat itu.

    • Blackpink Reply

      Benerr. Tapi bisa jadi dibunuhnya waktu tidur (?) Di waktu-waktu lengah mungkin

  2. Don Reply

    Apa itu solilokui? Dan di mana letak solilokuinya?

    • Galang gelar Reply

      Lah itu kan lagi pada ngomong apa sendiri bang.

      • Galang Gelar Reply

        Lah itu kan lagi ngomong ama diri sendiri bang

        • Don Reply

          Apa bedanya solilokui, monolog, dan narasi kak? Saya pingin belajar.

  3. fadlyritz Reply

    apakah sebenernya kita ini hidup?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!