Pulang

Sumber gambar
Sumber gambar artspan.com

“Masih jauh, Mas?” tanyaku sambil terengah-engah.

“Capek, ya?” Mas Ardi berhenti sebentar, memberi waktu agar aku dapat beristirahat.

“Sedikit,” jawabku.

“Ya sudah, kita pelan-pelan saja. Maaf, aku terlalu senang. Anak kita tidak apa-apa?” tanya Mas Ardi khawatir sambil memegang perutku penuh sayang. Aku hanya mengangguk. Setelah itu Mas Ardi berjalan perlahan, memberi kesempatan padaku untuk beristirahat.

Aku tak menyangka reaksi Mas Ardi akan sesenang ini. Ketika mendengar bahwa aku hamil, Mas Ardi menangis karena terharu. Lalu, dia segera mengajakku ke desa asalnya. Tadinya aku agak ragu melakukan ini. Namun, aku ingin melihat reaksi Mas Ardi. Bertanggung jawab dan menikahiku atau justru kabur. Ternyata dia malah langsung membawaku ke sini, ke rumah istri sahnya. Siapa sangka.

Rumah Mas Ardi dan si Anik, istri sahnya, ternyata terletak jauh di dalam desa. Rumahnya memang sudah mulai terlihat, tapi masih harus menempuh jalan setapak yang panjang dan menanjak ini. Aku sudah lelah. Belum lagi membayangkan reaksi yang akan kuterima dari istri Mas Ardi nanti.

Namun dalam hati, aku tersenyum. Tetap aku yang akan menang. Mungkin awalnya wanita itu akan marah-marah. Tapi setelah itu, yang bisa dia lakukan pasti hanya menangis dan pasrah jika dicerai. Mas Ardi akan menjadi suami sahku. Dan, anak? Ah, itu urusan gampang.

***

Sejak Anik, istriku, menudingku mandul, sudah berkali-kali aku meniduri wanita lain. Berharap salah satu dari mereka hamil. Namun sudah tiga tahun berlalu, tidak ada juga yang meminta pertanggungjawabanku. Hingga akhirnya, pagi ini Nana memberi kabar yang sudah lama  kunanti-nanti.

“Mas…,” kata Nana takut-takut pagi tadi sambil menyodorkan sebuah testpack dengan dua garis merah.

Dua garis!

Terima kasih, Tuhan, akhirnya….

Akan kutunjukkan pada Anik, keluarga, dan semua tetangga desa, bahwa tudingan mereka kepadaku salah besar. Anik pasti akan menyesal. Lalu, dia akan menangis dan memohon agar aku kembali. Tentu saja dia tidak akan kuceraikan. Begini-begini, aku masih memiliki rasa tanggung jawab sebagai suami. Aku hanya akan menggertaknya saja.

Anik tetap yang pertama. Nana akan kujadikan istri kedua. Pasti dia mau. Kalau tidak mau, kuancam saja bakal kutinggal. Pasti dia luluh.

Sebenarnya, aku sudah tidak sabar, ingin segera sampai ke rumah di atas bukit itu dan memberi tahu Anik. Ah, tapi aku tetap harus bersabar. Nana sepertinya sudah letih. Sekarang, aku berusaha berjalan pelan-pelan, mengiringi langkahnya. Aku tak mau mengambil risiko terhadap anak pertamaku ini. Kupandang wanita yang sedang berjalan kelelahan di sampingku itu dengan perasaan bangga. Kugenggam tangannya mesra.

Aku tersenyum membayangkan reaksi Anik nanti. Biar tahu rasa! kataku dalam hati.

***

“Ada yang datang,” kataku saat mendengar langkah kaki mendekat. Daerah yang sepi ini membuat suara lebih cepat tertangkap telinga.

Segera kulihat melalui jendela. Aku sedikit terkejut ketika melihat Mas Ardi sedang berjalan sambil menggandeng seorang wanita.  “Mas Ardi,” kataku kepada Pardi.

Setelah sadar dari rasa terkejutnya, Pardi bergegas mengenakan pakaiannya. “Duh, Nik, kenapa mendadak?”

“Mana kutahu,” jawabku datar. Kubiarkan Pardi pergi lewat belakang.

Aku membereskan seprai yang berantakan sambil sibuk berpikir. Mungkin…, wanita itu dapat menerima keadaan Mas Ardi. Baguslah! Dengan begitu, mungkin maksud kedatangan Mas Ardi kali ini adalah untuk menceraikan aku.

Aku ingat. Tiga tahun lalu, dokter memberi tahu hasil tes kami padaku. Mas Ardi tidak mau ikut. Menurutnya, tindakanku memeriksakan kesuburan kami saja sudah merupakan hal yang bodoh.

“Tentu saja kita berdua subur!” katanya waktu itu.

Mas Ardi yang bodoh. Walaupun sudah kuberi tahu hasil yang diberikan rumah sakit umum itu, dia masih saja menyangkal. Dia malah menuduh aku yang mengarang semua itu.

“Aku tidak mandul! Tunggulah, akan kubuktikan!”

Aku sudah menduga Mas Ardi akan berkata begitu. Dan aku sudah mengantisipasinya.

“Silakan! Buktikan dengan berapa wanita pun yang kau mau! Tapi, ceraikan aku dulu!”

“Tidak! Suatu hari nanti, aku akan membawa wanita yang berhasil kuhamili. Dan sampai saat itu, kamu masih akan tetap berstatus sebagai istriku!” kata Mas Ardi waktu itu penuh emosi. Lalu, dia pergi.

Dan aku merasa hampa. Bukan karena cemburu ketika membayangkan tindakan Mas Ardi nanti, melainkan kekhawatiran mengenai berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk membuktikan bahwa dia tidak mandul. Bisa jadi seumur hidup dia akan menghilang dan statusku menjadi tidak jelas.

Laki-laki di desa ini tidak sedikit yang menginginkanku. Tapi, selama aku belum berstatus janda, takkan ada yang berani mengusikku. Bahkan untuk sekadar menjadikanku istri kesekian. Mereka tak mau cari perkara dengan Mas Ardi. Bisa-bisa nyawa jadi taruhan.

Paling-paling, seperti Pardi tadi; Giyo, Mandor Kasub, Carik Samiri, Mas Rangin, dan yang lain; cuma berani mampir untuk mencicip, lalu pergi. Dari mereka selama ini aku bisa hidup enak. Kalau hanya mengandalkan hasil menjadi buruh di kebun cokelat Juragan Jatmika, untuk makan pun pasti susah.

“Anik, aku pulang!”

Terdengar suara pintu yang sedang diketuk-ketuk dengan keras. Akhirnya, mereka sampai juga.

Sambil berjalan ke arah pintu, dalam hati, aku berharap tebakanku tadi tidak meleset.

***

Suara kipas angin mendominasi ruang tamu berukuran 3×3 meter di rumah itu. Aroma cat yang masih baru tidak menarik perhatian satu pun dari ketiga orang yang sedang saling berhadapan. Ardi, Nana, dan Anik belum ada yang mulai membuka suara lagi setelah penjelasan Ardi mengenai kehamilan Nana dan keinginannya untuk poligami mengalir.

Tak ada suguhan di atas meja. Tak sempat. Nana meneguk ludah. Mulutnya kering. Bukan hanya karena perjalanan jauh, tetapi juga tatapan Anik yang mencekik.

Ardi melihat tatapan Anik penuh dengan kecemburuan. Diperebutkan wanita memang menyenangkan. Tak sampai pemikirannya bagaimana Anik dapat bertahan hidup selama ditinggalkan. Yang dia tahu, keperkasaan perlu pembuktian.

Anik tak tahu harus mulai dari mana. Dia sudah lelah dengan kelakuan Ardi. Sedikit kasihan juga. Dan tak mau tahu dengan perempuan muda yang mengaku-ngaku hamil hanya agar bisa menggaet suaminya yang memang rupawan itu.

Teringat bagaimana hidupnya setelah ditinggal Ardi, Anik mantap beranjak, menghilang sebentar, lalu kembali membawa amplop cokelat besar.

“Ini surat cerai kita, Mas.” Mengabaikan mata berbinar Nana, Anik melanjutkan, “Di dalamnya kuselipkan surat keterangan dari rumah sakit yang dulu kau sobek.” Wajah Ardi mulai pucat. “Aku yakin, kau masih ingat apa isinya.”

Kening Nana berkerut. Dia tidak mengerti arah pembicaraan yang berlangsung. Yang pasti, dia tak suka melihat ketenangan dan rona kemenangan di wajah istri kekasihnya itu.

“Jadi,” Anik sengaja memberi jeda, menatap Nana sekilas, tersenyum, lalu kembali menatap Ardi dan melanjutkan, “kalau ada yang mengaku hamil darimu….”

Dengung kipas angin memenuhi ruangan itu. (*)

Comments

  1. Nawawi Reply

    Nice,ditunggu cerpen berikutnya

  2. Tifany Reply

    Woow.. singkat, tapi dalem banget kaakk

Leave a Reply to Nawawi Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!