Rumah Panggung Tua yang Bergoyang

 

SETAHUN belakangan aku benar-benar tertarik pada cerpen, baik yang kutemukan dalam buku bunga rampai, koran-koran edisi akhir pekan, buletin, majalah yang terbit bulanan, maupun media daring. Sebagai seorang pemuda yang tinggal di kampung dan hanya menamatkan SMA, aku begitu penasaran pada kehidupan sejumlah cerpenis yang karyanya selalu kunantikan di setiap Minggu pagi dengan tak sabar.

Bagaimanakah seorang cerpenis itu sesungguhnya, begitulah kerap aku bertanya sendiri. Pertanyaan semacam itu pernah kuajukan pada teman-teman di kedai kopi sudut kampung, tempat biasanya aku minum sambil membaca koran, terutama hari Minggu yang mendebarkan. Namun, mereka semua terbingung-bingung, seolah tidak paham dengan apa yang kutanyakan. Ya, tentu saja begitu, bahkan singkatan cerpen pun mereka tidak tahu. Bukan mereka tidak menikmati cerita di koran itu—bukan—tetapi mereka memang tidak terlalu peduli.

Pemahaman mereka adalah sebagaimana pemahamanku sebelumnya, bahwa cerpen itu ditulis wartawan atau setidaknya orang yang bekerja di surat kabar tersebut. Namun, setelah membaca beberapa ulasan, aku dapat menerka-nerka bahwa seorang cerpenis bukanlah orang yang bekerja di surat kabar, kendatipun ada satu dua yang begitu, itu hanya sebuah kebetulan bahwa wartawan atau pekerja surat kabar itu punya bakat menulis puisi atau cerpen, bahkan novel.

Dalam pandangan awamku, cerpenis itu seorang cerdik pandai, setidaknya amat beda dengan petani, pengangguran, apalagi gelandangan. Namun, instingku mengatakan bahwa mereka itu pada dasarnya orang biasa yang kemudian jadi terkenal karena karya-karyanya dimuat di berbagai koran, buletin, majalah, buku, atau media daring. Aku selalu terkagum-kagum ketika ada artikel yang menulis kehidupan seorang cerpenis, bahkan aku begitu memperhatikan dengan saksama bila mendapatkan artikel yang ditulis seorang pengamat sastra yang mengulas karya-karya sejumlah cerpenis.

Seiring waktu, timbul keinginanku untuk bertemu dengan penulis-penulis cerpen itu, terutama mereka yang kuyakini tinggal di Banda, ibu kota provinsi kami, berdasarkan dari catatan kaki yang tertera di setiap karya mereka. Desakan keinginan itu amat luar biasa, selayak seseorang yang ingin bertemu dengan artis pujaannya. Sasaran utamaku adalah Saiful Bahri, yang dari ulasan beberapa pengamat dia menulis setamat SMA dan cerpen-cerpennya sering muncul dua bulan sekali. Namun, aku ragu, apakah Saiful bersedia menerimaku, melayaniku bercakap-cakap dengannya, dan aku telah menyimpan begitu banyak pertanyaan yang menyesakkan dada.

Lagi pula, karena setamat SMA tidak menyambung kuliah, aku amat asing pada Kota Banda dan sekalipun belum pernah aku jejaki. Selain itu, untuk ke sana aku perlu menyiapkan perbekalan dan uang yang terbilang cukup memberatkan bagi seorang anak petani pengangguran. Bila saja si cerpenis tersebut mengusirku atau aku tidak berhasil menemukannya, tentu aku telah menghabiskan uang dengan sia-sia. Aku cukup hati-hati dalam pengeluaran, sebagaimana sikap orang miskin yang suka memikirkan akibat buruknya lebih dulu sebelum bertindak, sehingga aku selalu batal melaksanakan keinginan itu.

Setelah membaca seribuan lebih cerpen, beratus-ratus ulasan tentang sastra, berikut sekitar lima puluh judul novel, aku dapat menarik suatu kesimpulan bahwa sebuah cerpen itu amat rumit. Seiring perkembangan pengetahuanku mengenai sastra, sekalipun lambat, muncul keinginanku untuk menulis sebuah cerpen bukan lantaran aku ingin menjadi terkenal seperti para cerpenis yang karyanya sering kubaca, bukan itu tujuanku. Yang mendorongku untuk menulis adalah banyak cerita seru yang terjadi sehari-hari di kampungku tidak ada yang menuliskannya.

Suatu hari, saat di kedai kopi, aku menyampaikan keinginan itu pada Karim, teman dekatku. Karim adalah seorang pemuda kampung tetangga yang kerap menceritakan kejadian-kejadian menarik yang terkadang tidak masuk akal. Sering pula, tanpa ingin berdusta, aku memang lebih menikmati kisah lisan yang dituturkannya, tanpa pernah aku bertanya apakah peristiwa itu nyata atau bualan semata. Aku tidak peduli kisahnya itu fiksi atau nyata, yang justru bila ditanyakan akan merusaknya. Kisah-kisah yang dituturkan Karim yang begitu alami dan murni itu, sangat menghiburku, bahkan cukup mencerahkan. Lantas untuk apa menanyakan sesuatu yang tidak perlu?

“Jadi, kau ingin menulis cerpen?”

“Benar,” jawabku tersipu. Mungkin dalam pandangannya, keinginan itu hanya angan-anganku saja yang hendak mengecat langit. “Aku sudah mempelajari penulisan cerpen dengan membaca ulang beberapa cerpen bagus.”

“Oh,” desahnya mengangguk-anggukkan kepala.

“Kenapa? Apa kau tidak yakin aku mampu menulis?”

Setelah tercenung sejenak, dia menjawab, “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Teman. Bukankah mereka yang menulis cerpen itu juga manusia?”

Aku senang mendengarkan jawabannya, meskipun sesungguhnya Karim kurang sadar terhadap maksud ucapannya sendiri. Memang dia terkesan agak tidak peduli, bahkan aku tidak begitu yakin dia percaya aku mampu menulis cerpen.

“Oya,” ucapnya kemudian menarik perhatianku. “Aku punya tetangga seorang penulis cerpen….”

Tentu saja aku terkejut. Aku langsung berprasangka kalau dia sengaja memanfaatkan keadaan ini untuk menggoda atau mengolokku, setelah mengetahui gairahku terhadap cerpen dan belum tercapainya uasahaku untuk menemui penulis idolaku di Banda. Namun, dari roman wajahnya yang begitu tenang, sepertinya dia tidak kelihatan sedang bercanda.

“Benarkah?” tanyaku penasaran.

“Apakah aku terlihat seperti penipu?”

“Betul-betul seorang cerpenis?” tanyaku seolah tidak percaya.

“Setahuku begitu.”

“Siapa namanya?”

“Alina?”

“Perempuan?”

“Tentu saja itu nama perempuan!”

Setelah termenung sesaat, lantas aku berucap, “Coba jelaskan tentang dia.”

“Alina itu masih tetanggaku, memang tidak terlalu dekat. Usianya sebaya kita juga, tapi aku tidak terlalu banyak tahu tentang bagaimana sesungguhnya dia menulis, aku tak pernah menanyakannya. Lagi pula apa perluku menanyainya tentang itu? Mungkin, jika kubayang-bayangkan, dia menulis di note book, sebab aku sering melihatnya membawa-bawa benda itu dulu….”

“Seingatku, aku tidak pernah menemukan cerpen dengan penulis bernama Alina di koran,” kataku menggerutkan kening.

“Mungkin karena cerpennya hanya dimuat beberapa kali, dan kau melewatkannya. Bahkan, aku dengar, Alina pernah mendapatkan juara dua lomba cerpen tingkat provinsi.”

“Kau tidak membual?” aku jadi tambah penasaran.

“Kalau mau, kau bisa menemuinya. Bisa kau tanyakan langsung.”

“Apakah sekarang dia ada di rumah?”

“Habis mau ke mana lagi? Anaknya sudah tiga.”

“Berarti sudah kawin?”

“Tentu saja sudah kawin. Kalau tidak, bagaimana dia bisa punya anak?”

Seharusnya aku tersenyum atas jawabannya yang lucu alami itu. Namun, karena terlalu bersemangat, aku tidak sempat tersenyum.

“Suaminya kerja apa?”

“Makelar.”

“Makelar?”

“Iya, makelar, bukan muncikari.”

“Oh!”

“Kenapa sih kau terkejut-kejut begitu?”

“Habis kau seperti membual!”

Setelah diam sejenak, dia mengatakan, “Tapi, sekarang dia tidak menulis lagi.”

“Kenapa?”

Karim menjelaskan bahwa Alina tinggal bersama dua adik perempuan dan seorang ibu yang sudah nenek-nenek di rumah panggung tua yang hampir rubuh. Suaminya sering pulang sore hari yang segera tertidur pulas sehabis magrib karena kelelahan. Jadi, tugas utama mengurus rumah dibebani pada Alina, sedangkan dua adiknya punya pekerjaan lain di luar rumah.

“Mengurus tiga anak saja sebetulnya cukup repot dan sangat melelahkan, apalagi dibebani dengan tanggung jawab mengurus rumah. Setiap kali dia menyentuh note book, ‘kuaak!’ suara anaknya menangis minta netek, ada yang berak, minta cebok, merengek, belum lagi kesibukan urusan dapur. Begitu dia selesai urusan dapur dan semua anaknya telah tertidur, malah suaminya terbangun tengah malam….”

“Maksudmu?”

“Coba kau pikir sendirilah, biasanya kalau suami terbangun minta apa? Hahaha….”

Sejenak aku berpikir, lantas tergelak, terbahak-bahak.

“Kau tahu kan tidak lama kemudian rumah panggung yang mau rubuh itu bergoyang-goyang….”

Aku semakin terbahak.

“Tidak lama setelah goyang rumah itu mereda, suami adik perempuannya yang bekerja di pengeboran pulang larut malam, rumah itu pun kembali bergoyang-goyang.”

Kami tergelak bersama. Setelah reda, Karim melanjutkan, “Ibunya yang setengah pikun, kerap terjaga, bertanya-tanya heran, kenapa ada orang tega datang di larut malam begitu hanya untuk mengoyang-goyang rumahnya yang hampir rubuh itu….”

Kami kembali terpingkal-pingkal.

“Itulah sebabnya, adik perempuan bungsunya tidak dikawinkan dulu.”

“Kenapa?” tanyaku dengan roman tegang.

“Takut rumah itu betul-betul rubuh berantakan! Hahaha….”

“Hahahaha….”

“Mana mungkin Alina bisa menulis cerpen lagi!”

“Hahaha….”

Aceh, 2016-Ponorogo,2020

Arafat Nur
Latest posts by Arafat Nur (see all)

Comments

  1. phwi Reply

    ketawa bacanya :’)

  2. Zufar Reply

    Bagus.
    Semoga sehat, Pak Arafat Nur.

  3. Mulia Angkasa Reply

    Dari judulnya saya sudah menerka pasti ada yang bergoyang. Dan tidak mengira kalau rumah panggung tua itu bergoyang karena … terbahak-bahak :v

  4. KN Krise G Reply

    Wkwkwk jigur

  5. Ruby Reply

    Kok sedih, ya?

  6. dayat Reply

    menghibur sekali hahaha

  7. Ley Reply

    Lucu ahaha

  8. Ila Hbb Reply

    Humornya humoris sekali😆😆😆

  9. Garin Nanda Reply

    Sulit untuk menahan tawa. Hahaha

Leave a Reply to Mulia Angkasa Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!