Saat Semua Manusia Jadi Tukang Jagal

manusia tukang jagal
Sumber gambar dreamatico.com

Sebelumnya, saya ucapkan selamat Idul Adha bagi yang merayakan. Entah yang shalatnya tanggal 23 atau 24, entah yang ikutan shalat ataupun tidak. Selama Anda masih menikmati enaknya daging kurban, saya anggap ikut merayakan.

Hidup membawa saya pada dua pemikiran yang berbeda. Pemikiran pertama mengatakan bahwa kurban itu ya pokoknya bawa kambing/sapi/kerbau ke masjid buat disembelih. Ini nggak bisa dibantah. Pol ngeyele!

Pemikiran kedua mengatakan bahwa kurban tidak melulu soal harus menyembelih sapi atau kambing. Kurban itu bisa juga dengan membelikan perlengkapan sekolah untuk anak yatim, memberikan bantuan untuk gelandangan dan pengemis, atau bisa juga santunan ke panti-panti jompo.

Dari sekian banyak teman, dari berbagai strata pendidikan, profesi, dan tingkat ekonomi, semuanya membahas kurban itu hanya berdasar rezeki. Entah pemikiran pertama ataupun kedua, semuanya dinilai nggak jauh-jauh dari duit. Iya, tho?

Bisa jadi, saya kurang luas pergaulannya, dan bisa jadi juga memang begitulah pemahaman kebanyakan orang tentang apa yang bisa dikurbankan.

Jika ditelisik dari sejarah, Idul Adha dirayakan tidak jauh-jauh dari kisah Nabi Ibrahim As. yang diuji Allah untuk menyembelih anaknya, sebagaimana diabadikan dalam surat ash-Shaaffaat (37: 102). Sekalipun Allah tidak menjelaskan dengan gamblang siapakah putra yang tunggal dan penyabar itu, hingga akhirnya ada perdebatan tentang siapa yang disembelih, tapi tetap saja, baik Ismail maupun Ishak adalah dua anak Ibrahim yang keduanya diangkat menjadi nabi.

Kita tahulah, orang semacam Ibrahim, yang salehnya sudah tidak perlu diragukan lagi, juga punya rasa nggak kuat kalau harus menyembelih anaknya sendiri. Beliau adalah manusia agung! Sangat agung bahkan, setelah Nabi Muhammad Saw. Jangan pernah dibayangkan serupa mental bonyok dedek-dedek gemes dan cabe-cabean yang murah hati buang bayi di sungai, lalu keciduk dan masuk tivi.

Nyaris seratus tahun Nabi Ibrahim berdoa pada Allah agar diberi keturunan, eeehhh sekalinya dikasih kok malah disuruh nyembelih. Dan hebatnya, Nabi Ibrahim mampu mendidik anaknya menjadi begitu saleh. Coba kalau itu terjadi sekarang, dan misalnya saya yang ditanya: “Lee, Papa disuruh Allah menyembelih kamu. Gimana menurutmu, Lee?”

Jaminan deh, saya langsung ke Komnas HAM minta perlindungan. Terus, nuduh orang tua saya psikopat, berbahaya, dan harus diisolasi!

Oke, kembali ke topik.

Hal yang saya petik dari kisah Nabi Ibrahim ini adalah Allah menguji dua hal dari hamba-Nya: benda dan ego.

Masalah benda, gampangnya ya tentang kambing, duit, sapi, dan apa-apa yang berwujud benda. Lah, masalah ego? Lha, iki!

Setiap hari di facebook, di twitter, sampai di televisi, nggak pernah selesai perdebatan Sunni-Syiah, tanggal Idul Adha versi NU atau Muhammadiyah, Tarawihnya 12 rakaat atau 23 rakaat, perdebatan tentang bid’ah, teriak nonmuslim itu kafir dan pasti masuk neraka karena nggak diterima Allah, dan sebagainya. Kita menjadi sangat reaktif dan intoleran. Seakan-akan yang namanya Tuhan itu meminta kita untuk membela-Nya. Seakan-akan kita yakin bahwa tiket surga sudah di tangan. Lha, kowe ki sopo, Nduk, Lee?

Belajar dari kisah Nabi Ibrahim, betapa seorang yang saleh selalu dekat dengan hal yang nggak enak. Hidupnya ya sekmadya aja. Mau minta anak aja berdoanya nyaris 100 tahun. Ngerasain mau dibakar hidup-hidup (walaupun diselamatkan Allah) karena berdakwah, semuanya nggak ada yang enak, to?

Jika diteliti, sebenarnya Allah nggak tegaan sama orang yang saleh begini. Sekalipun dibakar, Allah tetap menyelamatkan. Sekalipun disuruh menyembelih anaknya, Allah tetap nggak tega, lalu menggantinya dengan domba.

Jadi, sebenarnya, pesan ruhaniah dari kurban itu bukan terletak pada dombanya, duitnya, anaknya, namun pada usaha mengikhlaskan “kepemilikan”. Domba itu ya katakanlah cuma simbol. Sama aja seperti kita shalat menghadap Ka’bah. Emangnya, kita menyembah Ka’bah? Enggak to? Itu cuma simbol aja. Hati kita kan menghadap ke Allah, bukan ke Ka’bah.

Sadar atau tidak, kita sudah terlalu lama menjadi tukang jagal. Menyembelih hak orang, menyembelih jumlah zakat, menyembelih keadilan, dan menyembelih kewajiban bertoleransi.

Sudah semestinya kita sanggup menyembelih ego kita untuk tidak saling menunjukkan siapa yang paling benar, lalu menghakimi yang berbeda pandangan dengan kata kafir, sesat, dan ahli neraka.

Saling mendoakan kan malah baik banget, to? Supaya selamat dunia-akhirat. Ormas yang satu mendoakan ormas yang lain, semoga ibadahnya diterima Allah. Lebih jos lagi, setiap agama saling mendoakan satu sama lain dalam kasih, agar semua diberi jalan yang lurus. Dan, bagi orang yang merasa menemukan jalan yang lurus, berbaik-baiklah dengan sesama.

Maka jika dipikir-pikir, sejatinya kita tak lebih dari potongan daging wedhus saat kurban. Ada yang dimasak dengan bumbu rendang, dikecapin, dibencek, atau disate. Kita ini adalah potongan daging yang ditakdirkan entah dimasak rendang, dikecapin, disate, atau dibencek. Semuanya cuma masalah selera dan beda bumbu aja, to? Tujuannya ya cuma satu: dimakan biar kenyang.

Jadi, sesama wedhus mbokya jangan saling tubruk dan membinatangkan. Selagi masih sama-sama ngembik ya mari akur-akur aja.

Gitu, Njih….

Liza Yuvita Sikku

Comments

  1. Bobby Prabawa Reply

    Saya suka tulisan ini keren. Seandainya saya jadi Nabi Ibrahim as dan disuruh menyembelih anak saya, mendingan saya masuk neraka. Pada kenyataannya masih banyak yang tidak meneladani. Mereka tidak memberikan “Ismailnya”. Memberi yang mereka suka dan yang mereka punya.

    Kebanyakan mereka memberi yang tidak mereka suka, menyumbang korban bencana tsunami dengan “sampah lemari” atau baju-baju bekas yang mustahil terpakai, makanan kadaluarsa yang seharusnya dibuang. Malu atuh sama Nabi Ibrahim. Salam kenal dari Bogor yaaa…

  2. Lib Flow Reply

    Amin. Mau orang Indo nalarnya sekompak yang di artikel ini mesti nunggu sampe beberapa dekade dari sekarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!