Tembok
Tuhan, tak seorang akan sampai surga tujuan
Kematian turun ke jalan-jalan
Orang-orang berlari menyeberangi tembok
Tak lagi menengok ke belakang
Tapi polisi-polisi, dan maut ikut berlari
Mengejar siapa pun sampai mati
Sebagian berteriak-teriak:
“Berhenti, jangan bergerak, atau kutembak!
Kami pasukan Vopos—bukanYesus
Yang kenal sakit hati
Jika batu dan tomat dilempar ke muka kami
Darah tersirap ke kepala ini
Berubah percik panas”
Tuhan, tubuh-tubuh gelimpangan di tembok perbatasan
Aku dengar suara tembakan
Tangis anak-anak karena dipisahkan
Inikah neraka yang kau janjikan?
Waktu orang saling bunuh
Tanpa seorang pun tahu:
Kapan kebencian berakhir. Di sisi jalan itu
Lima abad lalu
Tahun 1453, tembok Konstantinopel runtuh
Tuhan sama tak tersentuh, tak terengkuh
Hanya orang ngamuk dan berkabung yang bertanya
“Pukul berapa sekarang?
Apa yang ditulis pada dinding-dinding bolong?
Enyahlah Konstantinus, kau akan digantung!”
Seperti dinding, Tuhan, kenapa kebencian tegak?
Kenapa kawat duri direntangkan di atas tembok?
Dan manusia berdesak-desak
Antara doa
Dan tangis yang pecah
“Manusia terlempar ke bumi
Dan tak satu pun kembali
ke surga…” katamu hampir tak terdengar
“Hanya terbaring, terbaring, terbaring
di tanah asing
Tinggal rangka
dan seluruh kesepian mendekapnya”
Tuhan, berapa banyak manusia mati
Karena melarikan diri di sisi tembok ini
17 Agustus 1962, Peter Fechter berlari
ke arah tembok. Tangannya mengepak bagai merpati
Tapi waktu jarinya menyentuh ujung tembok
Pemuda putus asa itu diberondong peluru
Tubuhnya jatuh
Di kaki kawat berduri
Dan merintih, “Kami mau pergi…”
“Kami ingin kebebasan
Tembok ini asal mula kediktatoran
Tapi kami tak punya apa-apa untuk ditakutkan
Hari setelah hari ini, komunisme akan berakhir…”
Lampu sirene dan tembakan
Itulah tanda berakhirnya usaha pelarian
Seperti malam itu –dari gorong-gorong
Di jalan bawah tanah tak berujung
Kami dengar jerit orang dan gemuruh air bandang
Entah berapa yang mati waktu itu
Hanya Tuhan yang tahu
Sementara tubuh-tubuh mengambang
Genangan darah beriak di gorong-gorong
Kami bertanya-tanya: Giliran siapa mati besok
Kalau bukan kau aku, siapa?
Kita semua –terlentang di tanah
Tuhan, apa surga bohong belaka?
Natal 1963, Tuhan, berakhir tragis bagi Paul Schultz
Seorang melihat kematiannya
Dengan senyum lebar seolah masih hidup
Ia merayap dan peluru menembus kepalanya
Sehari sebelumnya ia masih bernyanyi
“Dengar, dengar
Keluar, keluar
Dari negeri ini
Mari pergi, pergi
Ke balik tembok
Yang tak meninggalkan muntahan peluru
Bukankah lebih baik terbaring mati
Daripada tak bebas bicara”
Tuhan, apa kesedihan tak bisa berakhir?
Selalu saja sedih masuk di tiap ruang
Dan bergulir. Selalu seperti itu? Sebebas burung
Hinggap dan terbang sekenanya
Agustus 1977, delapan ratus meter dari tembok
Setelah lampu dihidupkan
Barisan polisi disiapkan
Usaha pelarian dua remaja berakhir mengerikan
Mereka tenggelam
Di dasar tangki mobil minyak
Dengan mata mendelik tajam
Dan kertas basah: “Politikus hanya bisa membual!”
Tuhan, hidup kian terjal
Nasib begitu membebani dan tak dikenal
Tahun 1980, Marietta Jirkowski yang hamil muda
Ditembak delapan kali perutnya
Ketika ketahuan memanjat tembok
Dengan badan terjulur
Tak seharusnya bayi itu lahir?
Jika ayam boleh bertelur
Kenapa manusia harus berakhir?
Atau memang manusia bukan makhluk abadi
Tapi makhluk tragedi
1986. Enam tahun kemudian. Sejarah berulang
Enam serdadu desertir meregang
Mereka ditembak
–dalam pelarian– di kereta api bawah tanah yang dibajak
Sisanya yang tertangkap digelandang
Dihukum gantung
Dengan mata dibebat
Kepala-kepala itu terkulai
Lemas mati. Dan tak satu pun berbisik:
“Di bawah terik
Tanah semata gersang
Terserak tulang-tulang
Kita manusia
Menanggung duka”
Tahun 1988, di tembok warna kelabu
Penuh corat-coret
Malam tambah mengeras
Dua lelaki tewas
Tubuhnya ringsek
Waktu menabrakkan lori ke tembok
—seperti Ida Siekmann lompat dari lantai empat apartemen
27 tahun lalu. Kata Erich Honnecker, Sang Diktator:
“Tembok ini akan bertahan 100 tahun lagi
Inilah tempat mimpi-mimpi dimulai tiap hari”
Tapi sembilan bulan sejak Gueffroy terkena10 tembakan
Berlin runtuh
Komunisme terseret ke dasar yang jauh
Sebab darah berasal dari luka
Tuhan, apa yang tak bisa kita cintai sebenarnya?
Senjata yang siap memuntahkan peluru-pelurunya
Tuhan, udara di luar sangat panas begini
Apa semua yang mati Hidup kembali seperti dalam satu cerita nabi?
- Sajak Agus Rois; Tembok - 30 March 2021