Sajak-Sajak Astrajingga Asmasubrata, Jalan Penyair

tokfm.pl

Jalan Penyair

 

apakah yang dapat kauteroka di situ

jalanan begitu sunyi

pangkal dan ujung

terkungkung tatapan garing

selingkar waktu yang gering

 

di tepiannya berdiri kukuh tebing curam

bukit gamping dan pepohonan mati

menanti ditebang tangan angin

yang menyimpan rindu musim

 

sudahkah kautemukan dirimu di situ

langit berwarna rubin adalah paras lain

dari muram batu-batu

menimbang arti cinta dan kesetiaan

saat didekap cahaya bulan

 

(dusunmaja, 2017)

 

 

 

 

 

Tulisan pada Nisan,

Sebuah Jejak

 

pergilah, sajakku, pergilah

biarkan sepi itu sendiri

menanti gairahku mendingin

seperti angin dini hari

yang selubungi cahaya pasi

meski di luar kemungkinan

kau masih saja yakin

bahwa segalanya bukan ingin

sepi itu adalah batas dan tepi

darinya kita dekat sekaligus

jauh: segugus bintang jatuh

pergilah, sajakku, pergilah

supaya kukenali wajah waktu

yang membenamkan berahi

pada gejolak tak tunak ini

sebab nama pada nisanku:

akulah penyairmu yang buta!

 

(dusunmaja, 2017)

 

 

 

Eros

 

gelap alangkah senyap

aku pun tersaruk kaki waktu

perihku menjelma dosa

 

bersama laron

aku buru pijar kekosongan

puncak sunyi yang ngungun

sebab bulan rontok

berjelapak di halaman sajakku

 

dari lubuk kalbu yang sepi

aku panggili kupu-kupu biru

agar kangenku menyerbuk

jadi buah dalam gairah

 

memang pernah aku kalah

tapi tak ‘kan gentar

pada nyeri pada sangar hasrat

meski pelukan-pelukan itu

sudah membusuk

 

di dadaku

 

(dusunmaja, 2017)

 

 

 

 

 

Penyair, 1

 

pada kapalan di telapak tangannya

ia temukan nasibnya yang perih

gemetar dibelai selembar sajak

 

ia tertegun, saat teringat nasihat

ibunya di kampung, “cintailah

kata-kata sekali pun tak percaya.”

 

dan, kini ia amat yakin bahwa takdir

memang tak disitir oleh penyair

maka diacuhkannya perih itu

 

ia ambil kembali pena bertinta air mata, lantas

ditulisnya sajak-sajak tentang firman paling api

sedang membakar tuhan yang sedih di hatinya

 

(dusunmaja, 2017)

 

 

Penyair, 2

 

sunyi yang masih merah

berkerumun di lengkung bulan

dalam benak yang sajak

kata-kata ditiriskan dari cuaca

sebelum disepuh bermacam warna

dan pendar cahaya sebuah sabda

membalut luka, membasuh duka

rakaat yang terlunta sepanjang hayat

lalu muncullah larik sajak itu:

“sunyi menemukan tempat istirahatnya

: di sana”

 

begitulah para penyair menyajakkan

nasibnya yang hitam, menarik diri

dari pedih monokromatik: ketika tak

menulis tentang bencana dan tragedi

diolok-olok penyair salon, ketika tak

menulis lagi karena belum temukan

pengucapan baru ditertawakan kamus

dan ketika membacakan puisi di istana

digelari penyair…

 

**

 

aku tertegun menonton hologram itu, merasa

tak bisa ambil bagian dari keagungan sajak:

buah api diperam-matangkan semak kata-kata

dan tak bisa dikupas oleh tuhan yang sedih

 

(dusunmaja, 2017)

Astrajingga Asmasubrata
Latest posts by Astrajingga Asmasubrata (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!