Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto
cerobong asap hitam dan langit september
cuaca dengan serbuk bara, menabur panas pada
atap seng, gudang usang, menerobos ventilasi
dan lobang pelarian kucing hitam
siang musim panas
jaring laba laba di pojok tembok, capung tersesat
matahari sempurna meledakkan diri di depan
jendela roster
cahaya cakram memenuhi ruang
pengap dan bising
waktu baru dua jam berjalan. lantai bergetar
dentang dentang suara, kokoh dan teror
kreeet… kreeet…
kreeet…
hari berjalan pelan
dan pincang
sebagai kakek tua di halaman rumahmu
jala raksasa telah menyeret kita
ke sini. berguling
bergumul
di atas debu debu, mengental dan beku
berguling, sebidang cahaya air yang menggoda
garis fantasi, merah dan sebagai
semut semut lapar
merayap
dari lereng lereng, sebalik batu, bukit kemarau
dari rumah tanpa jendela.
tangan tangan terapung, hidup dan serempak
mengeluarkan bebunyian panjang, terompet kehidupan
nyanyian nyanyian flat, hambar dan berulang
tangan ialah rahim. ibu dari bayi bayi
tanpa kehamilan.
bayi logam, guci, kaca, besi
dan cahaya
tangan tangan terbang, berputar, bersiklus
sepanjang siang dan malam
sebanyak tanggal berguguran. lalu
sepatu, suara langkah dengan beban
kaki penuh timah—fragmen teater monoton
dan membosankan
udara menyala
mencakar tembok dan pintu
baja. monster kecil, monster besar, dijaga
pawang sakti. menggaung, menderu,
menampakkan kilat kilat
bruuum…
brumm… brummm…
hari berjalan pelan
dan pincang
lalu menyimak setiap muka merunduk menghapal
peralihan detik ke detik, menit ke menit
slide slide yang berganti
bertukar warna dalam jiwanya
satu ruang di pojok dengan kaca tembus bayang
penanggalan di atas meja. perempuan seorang
dengan tertutup masker pada separuh wajahnya
menyisakan kecantikan
pada mata hitam. mata yang melawan
lapisan panas dan udara dengan sisik
bara.
lalu memanggil nama nama—hampir tak terdengar
gaduh dan rusuh huller menelan merdu suaranya
saya menjabat tangannya
darahnya hangat
saya mengenal kehangatan semacam ini di masa
remaja. lewat perempuan yang mengajakku
menyusuri malam di kota tak dikenal
dalam masa darurat, melewati pos pos siaga
lalu kami merayakan separuh malam dengan ketololan
dan ia senang atas kekurangajaran kelelakianku
saya mengenal darah itu. hangat
khas perempuan yang kesepian
yang hidup dalam tangsi baja, terapung
dalam deru mesin mesin, memiliki pagi
yang tergopoh gopoh. memiliki matahari pucat dalam
setiap mimpinya
begitu ramah
dengan jemarinya yang merah ia membubuhkan
sesuatu di atas kertas. angka angka
dan rentetan peristiwa
sedangkan hari terus berjalan
pelan dan pincang
melintasi jenjang angin di luar gudang pengap
ia memberi isyarat
dan kami kembali
menunggangi sayap monster aneh
membiarkan moncongnya menderu
membawa mimpi buruk siang hari
mengobrak abrik gendang telinga
membakar sumbu sumbu tembaga
jam
mencair
waktu menetes merembes ke seluruh
dinding. dingin dan hari mulai membungkuk
memamerkan punggungnya yang merah
menggosokkan kakinya pada
lampu lampu lava, mengibaskan badannya
merontokkan debu, asap pekat dan asam karbonat
kemudian
layar berganti…
dengan pinggul cemerlang, langit memamerkan
lampu zenit, bola cahaya beku
dan tak lebih dari 10 watt
tapi siapa peduli
kami masih mencengkram setiap lapisan cakram
yang tak henti meluncur dari rahim diesel buatan
rudolf dan charles f. kettering
meniupkan roh ke setiap bayi mungil nan cantik
memberi nama, menghangatkannya ke dalam
tungku perak.
siapa peduli
kami adalah tangan tangan gaib
dalam akuarium api
makhluk makhluk baru planet bumi telah kami
sempurnakan segera meluncur
dalam peti kemas
dengan kapal cargo kecepatan rata rata 10 knot
ke port rotterdam
ke port jackson
ke singapura
dan sebagian amerika
melewati laut beku, kristal biru maut
dan mereka abadi di sana,
kekal dan hayat
susul menyusul, bersiklus, berputar
berjejal, mengisi ruang ruang
dan tangan tangan gaib semakin gaib
berpacu dengan monster, mengejar lampu zenit
yang akan meledak di pinggul cemerlang malam
layar berganti
lagi…
“telah sempurna kami lahirkan
kembaran demi kembaran”
dengan daging natrium, darah dari perasan batu
dan rangka tulang tulang baja
beratus ratus beribu ribu berjuta juta
menjadi koloni baru muka bumi
melancarkan eksodusnya pada umat manusia
dengan gairah merah
gelora tubuh kekar tanpa
uretra
dan di balik kejaiban demi keajaiban
kau tak akan melihat lagi muka muka pucat
garis tangan terputus
suara ditelan udara klorida
keringat yang disedot asap belerang
kau tak akan menemukan kerling sunyi perempuan
yang menyembunyikan separuh kecantikannya
dengan cadar tebal anti kadmium
semua telah sempurna
semua serba sempurna
boneka api dengan roh ajaib
fajar menggasing, menampakkan kaca kaca
pecah dan bising
perputaran gear mencipta musik dalam tempo presto
berdentum—seperti roda zaman—membangunkan
kami dan mereka yang lapar
pagi tergopoh gopoh
dengan baju hijau kebesarannya
kaki kaki dalam sepatu berdebu
hinggap kembali menyerupai jejer pepohonan
pinus dini hari
menyemburkan tenaganya ke seluruh ruang
memasangkan cakar kawat di segenap jarinya
mereka semut dalam lingkaran
kami semut dalam lingkaran
lingkaran-fantasi putih
lingkaran-fantasi merah
lingkaran-fantasi hijau
fantasi ungu
mengerubungi keping keping daging
yang dihamburkan dari kencana sutra
hidup sepanjang kemarau september
dengan bilur di tulang pinggang,
tulang punggung, dan lengan
dengan memar di dahi dan nasib
nama telah kami tanggalkan dalam dinding bisu
bersama catatan dan angka dalam penanggalan beku
“telah kami ciptakan dan akan terus kami
ciptakan, kembaran demi kembaran
sempurna
melalui garis ukur, simetris dan
seimbang
mengukur kedalaman diri yang legam”
dan september tak pernah berganti baju
lusuh, lusuh sepanjang tahun
sambil memainkan serbuknya ke udara
melalui cerobong asap dan jendela roster
bermotif kucing hitam
Usaha Menjadi Diri yang Lain
berulang kali aku berusaha
meninggalkan diri sendiri, menjadi
sesuatu yang ada di kamarmu;
vas bunga, kursi santai, atau
korden jendela tempatmu mengintip waktu
berulang pula aku ingin meninggalkan
suara sendiri, menjadi kicau
burung burung murai menyambutmu
di pagi hari, menjelma kidung
mengalun mengantarmu pada
kesunyian agung, atau serupa bohlam cahaya
menerangi sekujur telanjang tubuhmu
aku ingin menjadi yang lain
sesuatu yang selalu dekat denganmu;
menjadi hari, menjadi detak jantung
menjadi waktu yang melingkari lenganmu
menjadi angka angka di komputer kerjamu
atau sebagai sabtu, pekan yang selalu kautunggu
tapi aku, katamu, jangan menjadi yang lain
cukup sebagai dirimu dengan pelukan
dan membuat hidupku hangat selalu
Kota dalam Jazz Senja
4:35
di bawah ancaman cuaca murung, masih
ceria – bernyanyi. asap merayap sepanjang
rel meriang
kali kedua matahari mati bulan ini
tergelimpang sepanjang kolong cakrawala
lengkung
pada sebujur peron kumuh, bau amonia
para hantu pasukan kolonial pesta candu
dan sekawanan perantau menyisakan waktu
berdoa, agar tuhan menyertai ransel perjalanan
dalam gerbong ekonomi
6:00
ia berhias, membersihkan benzena di tubuhnya
menyalakan lilin merah, 5000 lampu, batu
oto-aktif dan tidur di atas meriah pesta temaram
dalam balutan selimut kabut
gunung tembaga di sebalik mimpi
- Puisi Kim Al Ghozali AM - 26 March 2024
- Puisi-Puisi Kim Al Ghozali AM; Yang Tertinggal - 6 November 2018
- Sajak-Sajak Kim Al Ghozali AM; Resonansi Pabrik dalam Tempo Presto - 17 October 2017