Ledakan Makna dalam Ungkapan Putika Sederhana Joko Pinurbo

http://revi.us

Yang berduka dalam tralala

akan bersuka dalam trilili

Muncul guyonan di kalangan teman-teman dekat Joko Pinurbo bahwa semenjak mereka tahu dia adalah penyair kondang, yang selama 20 tahunan ini berhasil ditutupinya dengan cara menjadi manusia biasa, mereka acap nyeletuk: “Wah, obrolan kita akan dijadikan puisi ini….”

Secara personal, saya kenal baik sama beliau. Jokpin, begitu ia disebut, memang penyair yang amat sangat sederhana bukan hanya dalam gaya ucap puisi dan pilihan  temanya, tetapi juga gaya hidup kesehariannya. Sebagai manusia ia senantiasa menempatkan diri dalam “realitas Tat Twan Asi” (“saya dalam kamu”, kata Erich Fromm); ia Mewujud (Being) dalam Waktu (Time) yang benar-benar das sein-personalnya dalam das sein lingkungannya. Kemudian, rekamannya pada realitas-faktual itulah yang diuliknya secara kreatif menjadi das sollen puisi-puisi sederhana yang sublimasi makna dan pilihan diksinya menyulap “mimesis puitika” (istilah Plato ini menunjuk pada “realitas”) itu menjadi menyentak hati pembaca, mengoyak pikiran, dan memaksa kita merenung. Puisi-puisi Jokpin menguat di cakrawala ingatan pembaca dengan cara sesederhana itu, tapi justru sekuat itu pulalah ia menancap.

Dalam puisi “Kamus Kecil”, misal, kita disuguhi ungkapan puitik begini:

…pemurung tidak pernah merasa gembira, sedangkan pemulung tidak pelnah melasa gembila.

Penulisan “l” pada kata “pernah”, “merasa”, dan “gembira”, bukan typo. Tidak. Itu kesengajaan humor yang sangat serius. Dan berjubel makna. Kita lantas ingat pada cara bicara orang cadel yang tak bisa mengucapkan “r” dengan baik.

Mari pikirkan, bagaimana hidup dengan lidah cadel yang given? Konon, maaf, separuh marwah Anda sebagai manusia telah punah. Anda takkan bisa menjadi motivator yang perkasa dengan lidah cadel, tampil sebagai leader, segahar apa pun orasi pengetahuan Anda.

Kini tarik lebih esensial: bagaimana rasanya hidup dengan harus menjadi pemulung? Sebutlah ia tunawisma, sehari-hari bergumul dari tumpukan sampah satu ke gunungan sampah lainnya, lalu disia-siakan tanpa marwah oleh para pengepul yang ongkang-ongkang kaki.

Ilustrasi tersebut menisbatkan bukan hanya lenyapnya separuh marwah kemanusiaan yang cadel itu, tetapi keseluruhannya, yang tidak given, yang di antaranya dipantik oleh kelaliman sistem pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Sedalam itu Jokpin memantik refleksi batin pada jiwa kita hanya melalui puitika sederhana tersebut.

Andaikan ungkapan puitika kita kulik lewat pandangan tajam Mikhail Bakunin tentang dikotomi-interaksi antara “kelompok terinspirasi” yang harus didengar dan ditaati oleh “kelompok kurang terinspirasi” dan “kelompok tidak terinspirasi” (Anda bisa baca kaum pemulung di sini), didapatkan cambukan pedas ke punggung kita betapa situasi “tidak pelnah melasa gembila” sungguhlah merupakan bukti kekejaman sistem sosial yang membabati kaum dhaif itu.

Apa daya, dalam kembangan yang lebih luas, sejatinya komedi serius Jokpin tersebut menjadi cerminan serius bagi ketimpangan hidup dan kemanusiaan kita yang sesungguhnya.

Di puisi lainnya, Jokpin menulis begini: “…di dalam kata asem, ada asu yang telah ditangkal tangan yang kalem”; “Pada suatu pulang, ada hati ibu yang tak pernah pergi”; “Pada suatu mandi, tak ada sumuk yang abadi”; “Bahagia adalah memasuki hatimu yang lapang dan sederhana”; “Tuhan saja tidak pernah bertanya apa agamaku”; “Jika nanti air mataku terbit di matamu dan air matamu terbenam di mataku, maaf selesai dan cinta kembali mulai”; “Suatu saat kau akan jadi kenangan bagi tukang bencimu. Ia membencimu dengan lebih untuk menunjukkan bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang”, dan masih banyak lainnya yang sekarakter.

Saya membayangkan bahwa Jokpin senantiasa menulis puisi dengan berbasis pengalaman dan kesenangan. Ia takkan menuliskan hal-hal yang tidak dialami dan tidak disenangi. Strategi literer kepenyairan begini setamsil rasanya dengan ungkapan sinis Plato pada para penyair yang tidak berbicara tentang realitas-Being-Time tadi: “Seorang penyair yang dengan sengaja menggunakan metafora-metafora, nama-nama eksotis, dan jenis-jenis lain yang tak sesuai (realitasnya), bisa meraih efek yang sama dengan sebuah tujuan untuk membangkitkan tawa.”

Tetapi, terpastikan dari telah banyaknya buku puisi yang diterbitkan Jokpin selama 20 tahunan kepenyairannya, bahwa “realitas biasa” yang dimimesiskannya dengan bahasa puisi biasa itu telah didampratkannya kepada kepala kita dengan ruahan makna yang tak terpermanai. Setiap kita membaca puisinya, atmosfer “fusion of horizons” antara penyair (teks) dengan pembacanya (kita) seketika meledak bagai Big Bang menjadi serpihan-serpihan semantik yang terus ada, terus ada, dan terus ada. Kita takkan menemukan makna yang berhenti dari setiap pembacaan puisi-puisi Jokpin.

Anda bisa membuktikan statemen ini dengan merenungkan petikan sajak ini: “Yang berduka dalam tralala akan bersuka dalam trilili”. Mengapa kita pada suatu hari berduka, bahkan di kala sedang bernyanyi bersama teman-teman? Mengapa esoknya kita bisa tertawa senang kala sendirian saja di sebuah kafe yang sunyi? Apa kita sedang ber-tralala ataukah sedang ber-trilili? Bagaimana cara menyalakan trilili di hati tatkala pikiran sedang tralala?

Hati Anda dijamin membuncah; pikiran Anda dijamin meledak setiap membaca buku Jokpin. Jokpin, pada salah satu puisinya, saya rasa adalah “dewa” bagi jiwa dan pikiran yang gamangan bertanya: “Apa agamamu? Agamaku adalah air yang menghapuskan pertanyaanmu.

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!