KEPADA PENYAIR
: Al-Bayati
sajakmu kapur barus digerus antan ibu,
bukan lingga warisan
–pasangan yoni masa lalu
aku ‘lah berkumur dengannya,
meski tak beritus ke kubur batu
—sebab keberanianmu
memenggal kata, diksi, imaji
seperti pembantaian abadi
aku merayakannya sebagai kelahiran baru
melumuri jabang buku
—sambil mengutip
kekekalan, kalis dari ngengat dan kutu
mungkin kita dua kutub berbeda
kau siang, aku malam
meski kita sama-sama merayakan selatan
mungkin hanya pada kembara cinta,
maut, keterasingan
kita pernah semeja perjamuan
mengeja autobiografi sepi masing-masing
—pesta para pencuri api dan cermin
sambil mengenang babilonia, sungai-
sungai kekal
dan akal jazirah terjarah akhir milenia
meskipun di kepalaku
hanya mengalir pasir, takdir pesisir
dan sihir puisi bertabir
lendir
di sini, di bawah khatulistiwa
dengan warisanmu, yang semakin terpencil
ke luar deret angka dan ganjil
kunyanyikan luka tanah
dengan kalimat patah-patah
latah, tak selesai
seperti nasib kota-kota dunia ketiga
—ramai di mata
tapi mati dalam mimpi
tersurat dalam nama dan peta
baru dunia
Sidokepung, 2020
KITA PUNYA KALIJAGA
: IBS
kita bercakap di bawah naung trembesi
dikelilingi jin dan peri
menatap jalan besi
membelah tuah tanah
pada abad-abad usai
kita pun terpaku pada asam jawa
asam belanda
juga nama-nama malam
tenggelam
dalam bayang-bayang
jejak almanak
ketika sejarah rindu dan cinta
bermula dari rembulan purnama
sendang pun menjadi penanda
luka dan nganga memalung
di kedung kata-kata
“mungkinkah dalam kolam
tenang mengandung lambang
seperti tarub murub
pada orgi bidadari” risauku.
hanya bayu berbisik
serupa rintik hujan pada batu
“tapi kita punya kalijaga,” serumu.
aku diam
menerawang akal brandal
masa lalu
di tepi kali
menaksir cadas selo aji
ketika galah menggali tanah
menapaskan bumi
menyungaikan mimpi-mimpi
menunggu denah
sambil menggurat silsilah munajat
ihwal kiblat empat
api diri
dari pesisir ke merapi
“mungkin gerak abadi
mengalirkan diam
dalam tarian
sunyi,” serumu.
seperti rusa hutan
aku terperangkap
dalam kardus pikiran
hulubalang
aku pun merindukan pandora
melepas kutukan
ketika matahari meninggi
sebuah kereta
menziarahi tanah warisan
kubayangkan perempuan titisan es
berbetis ken dedes
berjarit kawung
dengan rikma digelung
menimang annales
meski di mata: tumpukan tebu
dengan tetes legit menjauh
ke negeri biru
“tilas itu bisa menjadi tatu
tapi kita bisa membaptisnya
sebagai ratu
penghela ilmu,” tuturmu.
dari pucuk trembesi
kau membebaskan burung
dari suwung
dada
aku masih tertatih
membangun sarang sederhana
lewat akar-akar
tersisa
dengan jantung
dikepung kwangwung
“biarlah jin dan peri menari
di ranting trembesi
agar kelak
pohon ini tidak hanya diingat
sebagai bonsai,” pesanmu.
aku pun mulai mencatat tilas getas
roda, turangga
juga debam ladam
di sepanjang makadam
silam
menimang asap
jelaga
gelap
aksara
milenia
sisa lidah ajisaka
meneroka arah ziarah
bermula dari trembesi tua
sambil merapal mantra:
‘ana kidung rumekso
ing wengi…’
meski jauh dari sirri
dan kau pergi
Sidoarjo, 2020
IBU SELURUH PILU
: Lontar Calon Arang
“akulah wedawati, puteri
rama bharada
mungkin tak ada lontar mengabadikan
rindu, ngiluku
kerna ayahku terlalu menjulang
dalam kidung dan tembang
warisan kahuripan
seperti mahameru
sendirian mengoyak langit biru
di tlatah jawadwipa
menghalangi sinar surya
mengenali sepi dan malamku
meski lukaku, o perih getihku
beribu kelabu
berahim seluruh pilu…”
dari ufuk timur, amsal kelahiran segala umur
wedawati hanya mengenal sumur
nestapa
ketika usia belum berbilang angka
sang ibu kembali ke nirwana
sang ayah hanya rutin bersila
mendaraskan sutra
wedawati pun melihat barat
sebagai kiblat
meski ia tahu
di sana bersemayam tatu
hidup
degup berkubang senja
dalam penantian belatung
suwung
sebab ibu tiri tidak semulia
para peri
wedawati sering mengungsi ke candi
tempat abu ibu
bersemayam
melayari malam —mengenal
maut
sebagai mimpi penuh zamrud
ia menghabiskan usia
di bawah naung payung
setra
kerna ia merasa sebatang kara
hingga waktu
menyapanya dengan kuncup rindu
cinta mekar di dada
seperti cendawan di musim ketiga
lusuh jiwa pun terbasuh
air asmara
harapan menjulang
mirip bukit cahaya
bagi anak-anak dalu dan papa
ia mengenalnya sebagai bahula
yogi muda
siswa tercinta sang ayah
di lemah tulis
dengan sorot mata
kuasa mengundang gerimis
ia menarikan tarian cinta
di balik dada
sebagai tabir dan batas
seperti batu hitam di tepi brantas
ia menyimpannya
seperti udara yang mengeras
dalam setiap tarikan napas
lalu maharaja airlangga bertitah
pada ayahnya
perihal pralaya
sahdan, janda dari gurah
pemuja alam bawah
penguasa setra gandamayu
menebar teluh ke tujuh penjuru
banyak orang tumbang
seperti rebung, anak-anak bambu
ditebas parang dan gancu
wedawati mengerti makna sepi
mengulir di batin perempuan
seperti sang girah
yang bersekutu dengan alam
kehampaan
ia mengerti karena ia mengalami
meski ia tak menggulung tenung
memangkas hati
ke batas napas
mati
ketika sang ayah bertitah:
agar bahula —penimang harapan
meminang retno mangali
puteri
semata wayang calon arang
sumber amarah sang girah
kerna merupa perawan tua
tak dipinang jejaka
—kalbu
wedawati remuk redam
mirip relief candi
dihantam selo gunung
bergulung-gulung
wedawati pun kembali
berkarib malam
menenun sepi
di kedalaman gelap abadi
seperti ikan pari
dalam perut paus biru
menggelepar
pilu
merindukan lengan bunda
membimbingnya
ke alam entah
“akulah wedawati, puteri
rama bharada
mungkin tak ada lontar mengabadikan
rindu, ngiluku
kerna ayahku terlalu menjulang
dalam kidung dan tembang
warisan kahuripan
seperti mahameru
sendirian mengoyak langit biru
di tlatah jawadwipa
menghalangi sinar surya
mengenali sepi dan malamku
meski lukaku, o perih getihku
beribu kelabu
berahim seluruh pilu…”
Siwalanpanji, 2020
CINTA DAN RINDU
: Serat Asmarasupi, Sebuah Eksplorasi
waktu dalam rahim 12 minggu
setiap orang bermata ungu
meminta pada Pemintal Kalbu,
agar sang jabang
kelak, diberi nama: Rindu
tak ada yang ganjil dari nama itu
tetapi gigil
menjalari seluruh kisah, roman,
buku-buku
kerna kakak kandung Rindu,
—yang dipanggil Cinta
tak kunjung menampakan tanda
bertandang ke beranda
segenap jiwa-raga
Cinta masih bersembunyi
di balik taman mimpi-mimpi
bila malam
gelap atau temaram
ia terbang ke setiap pemimpi
kadang menyaru peterpan
berpupil mawar
kadang seperti kurcaci mungil
bertongkat keajaiban
tapi kehadirannya mirip denting
dawai harpa
dipetik jemarik lentik
alam entah
suaranya mengambang di udara
tertangkap gendang telinga
tapi tak ada rupa
konon, Cinta lahir prematur
ketika musim panas diringkas
musim gugur
para cenayang pun menujum: Cinta
hanya dapat hidup
ketika cahya sang surya redup
—meski Cinta bukan trah kelelawar
tak ada obat penawar
tak siapapun kuasa menawar
Cinta pun tumbuh dalam buaian
rembulan
ia belajar tenung
dari perasan perasaan
ia tumbuh sebagai bocah
rautnya murni sebening air disuling
dari mata tirta
tapi bila sang kirana raib
diselimuti awan atau disalib
gerhana
lalu tajam malam lebih menikam
daripada pisau kesepian
taring Cinta tumbuh
di sela gigi seri dan geraham
pucuknya melebihi runcing duri mawar
hitam
kerna takdir, Cinta
pun hidup di dua dunia
ia memiliki dua kaki
satu kaki berdarah-daging
lainnya berupa bayang-bayang
: asing
di tengah dalu
waktu genap bulan ketujuh
doa-doa mengapung
mirip capung
di atas tanah lapang lempung
—agar Rindu tidak lahir menjadi batu
Pemintal Kalbu
menyalakan sumbu
membunyikan tetabuhan
menyanyikan tembang-tembang
harapan
mirip ritus upacara purba
agar setiap orang terjaga
tak terlelap dalam sihir mimpi-mimpi
dan Cinta tak punya tempat menepi
—dalam alam nisbi
lalu Cinta akan rela pulang
kembali ke rumah perasaan
sepenuhnya. seterusnya
—seutuh tubuh dan bayang-bayangnya
‘tetapi Cinta
masih bersemi di sana…”
Sidokepung, 2020
BERCAKAP DENGAN BATU-BATU
1
ada yang membisu di sudut dam
tapi diam-diam ia mengukir malam
dalam kelam dada
ketika masa lalu dirajam batu
batu
rindu
dalam perjamuan gerimis
2
ada yang membisu di sudut dalu
tapi diam-diam ia nyalakan damar
di kamar
mungkin
tak ada yang lebih gelap
selain bahasa ratap
ketika bibir pendusta
menyimpan rahsia
penyaksian
kerna air tak akan berkhianat
pada langit
meski diguyur munajat
berjuta debit…
3
ada yang membisu di sudut bumi
tapi diam-diam ia memesan mimpi
ketika anak
anak pertiwi
merayakan pesta kembang api
di siang hari
di atas tumpukan kering jerami
Tantular, 2020
- Sajak-Sajak Mashuri - 19 January 2021
Kuh
Niat hati mencoba mengerti, apa daya diksi tak sampai, heheh