Sajak-Sajak Mutia Sukma; Sungai Malaka

Malacca River – Muiz Moktar

Sungai Malaka

 

Kapal-kapal niaga menggerakkan layarnya

Angin Malaka

Mengembuskan aroma pala

Juga kotak kayu mahoni

Wanginya menyeruak

Melindungi rempah-rempah yang rahasia

 

Tiang lampu makin meninggi

Melebihi usia sejarah

Cahaya sepanjang sungai

Sepanjang ingatan

Membayangkan lagi

Bandar-bandar

Dan peti dagang diturunkan

Para awak dari buritan

 

Kursi-kursi sepanjang tanggul dibangun

Kejayaan makin kelam

Muda-mudi berpeluk ciuman

Menumpulkan jangkar kapal masa silam

Lancip rahang para pelayar

 

 

 

Di Gunung Padang

 

Telah kutitipkan bayang kesedihan

Gunung Padang

Cintamu

Kasihmu

Seolah tertidur, Siti

Tersimpan dalam langit mimpi-mimpi

 

Sejak cinta boleh berbalas

Sejak hamparan laut

Keindahan kota lekat di ingatan

Tak dapat kau sentuh buih airnya

Panas tanah di telapak kaki

 

Kesedihanmu begitu berat

Hampir tak terdaki

Kesedihan melingkar

Mencapai puncakmu

 

Jalanan tak terawat

Remaja kasmaran

Bersembunyi di rimbunan alang-alang

Seperti masa lalu

Berdesir dalam dekapan

 

Kuziarahi kesedihanmu

Kupeluk engkau

Bagai saudara sendiri

 

Masuk ke dalam

Menaiki ketinggian

Sambil merasai gemerisik

Ombak degap jantungmu

 

 

 

Di Atas Feri

 

Di atas feri,

Rinduku akan karam ke dalam lautmu yang dalam

 

Dulu aku pernah di sini

Namun kini menjadi asing dan begitu sendiri

 

Sekarang aku kembali

Dengan warna langit yang lain

Suasana yang asing

 

Mengapa kapal ini begitu penting untuk ditulis dalam puisi?

Dalam puisi, kapal akan membawamu berlabuh

ke dalam inti diri

 

 

 

Insomnia

 

Telah lama aku melupakan cara tidur

Karena semakin aku terpejam

Maka langit-langit mataku mengantar

muram yang paling dalam

 

Kuusahakan banyak cara untuk terlelap

Menelan pil tidur

Meneguk susu hangat

Atau mengingat ciuman terbaikmu

Sialnya membuatku makin terjaga

 

Sebab tidurku adalah peletakan segala istirah

Puncak pikirku diletakkan

Maka seperti sebelumnya

Aku ingin lelap dengan cepat

Tapi bayanganmu masih sedemikian hangat

 

 

 

Hujan

 

Seperti seorang remaja

Di sebalik kaca aku memandang hujan

Air jatuh

Mengalir atau meresap

Seperti waktu yang kugunakan

Dengan kurang ajar atau dengan sopan

 

Apakah pernah kukatakan orang dapat mencintai

Dengan cara yang begitu kondisional

Kadang begitu lekat seperti coklat yang terlalu lama

Dalam genggaman

Kadang begitu longgar,

Jadi bagian dari diri, juga bukan bagian dari diri

 

Saat hari sepi dan mengingat waktu jauh

Hujan begitu melankolis namun juga dapat sebaliknya

 

Sambil membayangkan pelukanmu,

Tubuhku perlahan menghangat

 

 

 

Penyelesaian

 

mungkin sudah saatnya kita benarbenar

menyelesaikan ini

terlalu banyak yang gamang pada hidup kita

warna langit,

arah pandangan dan tautantautan

 

aku akan menghapus kamu dalam ingatan

dan kau boleh melupakan segala kenangan

menganggap segalanya tak pernah terjadi

melupakan letupan serta ciuman pertama kita

 

suatu hari,

bila kau bertemu denganku dan kembali

menjadi remaja

perkenalkan dirimu dengan nama lain

dengan silsilah lain

 

Mutia Sukma
Latest posts by Mutia Sukma (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!