Sajak-Sajak Mutia Sukma

 

Di Batavia lama aku merasa

waktu tak bergerak

Jam dinding telah mati mesinnya

Dan almanak menguningkan tahun-tahun

Sebuah jalur trem tertimbun aspal

Wangi udara adalah keringat pedagang Arab

menurunkan muatan gaharu di stasiun lama

Meriam telah lama meninggalkan gelegar api

Burung merpati berumah dalam kusut

rambut beringin

Perempuan bergaun noni Belanda

Menunggu kapal menuju Eropa

yang suara cerobongnya sudah tak ada

Jalanan sibuk

Diri yang sendiri

Seorang peramal jalanan membaca

Kapal perompak berlayar pada garis tanganku

dan kali Besar seperti pelabuhan

yang mengantarkan sebuah kapal

Langit siang jadi sepia

Bunga-bunga menghitam

Suara lantang syahbandar tak pernah lagi terdengar

Gedung-gedung tua menanggung

kesedihan kota

Pelacur terkena razia

Pedagang tak laku dan

remaja putus sekolah

tertidur dalam dada lapuknya

Seorang bocah mengamati sebuah

restoran cepat saji

Pelayan berkata tidak ada sisa makanan

Tertidurlah selamanya bersama kerut lambung

dan bermimpilah yang indah

Tiang listrik berdenting

Tongkat petugas dikipas-kipaskan ke arah angin

Pedagang kopi dan mie instan

Tertuang air panas dalam termosnya sendiri

 

 

Jalan ke Padang Panjang

Basah jalan

Kaca mobil diketuk pedagang perkedel jagung

Air beriak di lembah anai

Rel kereta membelah hutan dan batu gunung

Harum hujan menetes di daun tembesu

Jalan berkelok

Kampung halaman menghadang petuah lalu

Di antara kabut yang turun

Buih mengapung dalam gelas teh telur

Dan perasaanmu

Menggantung di antara bait lagu dendang salung

 

 

Sunda Kelapa

Akan aku hitung sulur urat

kuli pelabuhan

Pada wajahnya yang tertutup debu semen

dan sisa garam lautan

Juga pada wajah hitam penjaja kopi kemasan

Putih para hantu kumpeni masa silam

Di mulut nakhoda kapal

Hamparan bukit tembakau

membiru pada bibirnya

Rokok kretek hampir habis

Muara terinjak gedung pencakar langit

Desis deru kano yang tidak ada di Eropa

Lautan membuang sampah

Industri ingin angkutan murah

Kamera mahal memotret senja turun

Bau selokan meruap

dan awak pelabuhan menimba air keluar kapal

Di antara jala yang robek

Karat jangkar tergerus air garam

Namamu membeku

Seperti budak kehilangan tuan

 

 

Syal dari Sumba

Tidak ada sungai-sungai dengan delta terbuka di Jakarta

Pada hotel bintang lima

air yang memancar dua puluh empat jam

bercampur klorin

Tidak ada kuda liar berlarian

Atau panas menggeliat di punggung gembala

Kamu lingkarkan syal pada leherku

Seketika puisi bertautan

Pada dinding,

Pendingin mengembuskan angin buatan

Bibirmu retak berdarah

Tandus tak tersiram hujan

Syal yang kau kalungkan di leherku

Adalah sabana menghijau

Lalu kita menjelma biru dan putih lautan

Gua dengan air keruh menunggu hujan

Kepalaku mengingat bait puisi Umbu

Kuda putih yang meringkik dalam sajak-sajakku.

 

 

Pada Kuali Rendang

Pada kuali rendang

Jalanan Surantih mendidihkan santan

Di atas kayu bakar

yang berkorban jadi abu

dalam sajak Sapardi

Minyak menguar dalam gelegak

Tikungan mencium bibir pantai Painan

Dan gonjong baru yang dipasang

pada atap gedung pemerintahan

Harum ketumbar

Daun kunyit dan asam kandis yang mengering

di perkotaan

By pass menujumu mendarat di bandara

Padang Pariaman

Diaduknya gulai yang mulai susut

Masa kecil yang tak pernah hanyut

Tempurung kelapa yang merentangkan jarak rindumu

pada ibu

Dan bau asin kenangan

Mengering di dahimu

 

 

Kartu Pos Kota Tua Ampenan

Pada cetakan angka di kartu posmu

Tertera tahun-tahun jauh

Langit mendung

Ruko-ruko melambaikan tangan

Kota ini mengekalkan yang tertinggal

Bau cat baru pada bangunan lama

Atau cat tembok yang mengelupas

Sejarah menjatuhkan semua yang telah jadi kenangan

Toko-toko lama berpenghuni dan tidak

Tiang-tiang menjulang ke langit rasa sedih

Rumputan dan lumut menyembul minta bagian

Sebuah kedai kopi dengan jendela terbuka

Menjual yang tersisa

Marka yang menunjukkan jalan menuju masa silam

Dan jukung terbalik yang digunakan sebagai meja

Matahari sore tertelan buih lautan

Pohon kelapa merunduk menanggung

seluruh kesedihan pelayaran

Sebuah jalan menjorok menuju lautan

Senyap sajak dan kapal kayu kolonial kian samar

Gambar kartu posmu

Adalah sisa-sisa bandar

Kota yang tak berganti baju

Aroma asap sate rembiga dalam ingatan

Panas anak api memercikkan ujung nasib

pada besi yang tabah memerah dibakar minyak dan korek api

Pada kolom alamat

Kamu tuliskan masa depan sebagai tujuan

Maka kusimpan dan kekalkan kenangan

dan keresak garam pada pelabuhan lama yang padam.

Mutia Sukma
Latest posts by Mutia Sukma (see all)

Comments

  1. menalarasati Reply

    suka dengan puisinya mba…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!