Di Batavia lama aku merasa
waktu tak bergerak
Jam dinding telah mati mesinnya
Dan almanak menguningkan tahun-tahun
Sebuah jalur trem tertimbun aspal
Wangi udara adalah keringat pedagang Arab
menurunkan muatan gaharu di stasiun lama
Meriam telah lama meninggalkan gelegar api
Burung merpati berumah dalam kusut
rambut beringin
Perempuan bergaun noni Belanda
Menunggu kapal menuju Eropa
yang suara cerobongnya sudah tak ada
Jalanan sibuk
Diri yang sendiri
Seorang peramal jalanan membaca
Kapal perompak berlayar pada garis tanganku
dan kali Besar seperti pelabuhan
yang mengantarkan sebuah kapal
Langit siang jadi sepia
Bunga-bunga menghitam
Suara lantang syahbandar tak pernah lagi terdengar
Gedung-gedung tua menanggung
kesedihan kota
Pelacur terkena razia
Pedagang tak laku dan
remaja putus sekolah
tertidur dalam dada lapuknya
Seorang bocah mengamati sebuah
restoran cepat saji
Pelayan berkata tidak ada sisa makanan
Tertidurlah selamanya bersama kerut lambung
dan bermimpilah yang indah
Tiang listrik berdenting
Tongkat petugas dikipas-kipaskan ke arah angin
Pedagang kopi dan mie instan
Tertuang air panas dalam termosnya sendiri
Jalan ke Padang Panjang
Basah jalan
Kaca mobil diketuk pedagang perkedel jagung
Air beriak di lembah anai
Rel kereta membelah hutan dan batu gunung
Harum hujan menetes di daun tembesu
Jalan berkelok
Kampung halaman menghadang petuah lalu
Di antara kabut yang turun
Buih mengapung dalam gelas teh telur
Dan perasaanmu
Menggantung di antara bait lagu dendang salung
Sunda Kelapa
Akan aku hitung sulur urat
kuli pelabuhan
Pada wajahnya yang tertutup debu semen
dan sisa garam lautan
Juga pada wajah hitam penjaja kopi kemasan
Putih para hantu kumpeni masa silam
Di mulut nakhoda kapal
Hamparan bukit tembakau
membiru pada bibirnya
Rokok kretek hampir habis
Muara terinjak gedung pencakar langit
Desis deru kano yang tidak ada di Eropa
Lautan membuang sampah
Industri ingin angkutan murah
Kamera mahal memotret senja turun
Bau selokan meruap
dan awak pelabuhan menimba air keluar kapal
Di antara jala yang robek
Karat jangkar tergerus air garam
Namamu membeku
Seperti budak kehilangan tuan
Syal dari Sumba
Tidak ada sungai-sungai dengan delta terbuka di Jakarta
Pada hotel bintang lima
air yang memancar dua puluh empat jam
bercampur klorin
Tidak ada kuda liar berlarian
Atau panas menggeliat di punggung gembala
Kamu lingkarkan syal pada leherku
Seketika puisi bertautan
Pada dinding,
Pendingin mengembuskan angin buatan
Bibirmu retak berdarah
Tandus tak tersiram hujan
Syal yang kau kalungkan di leherku
Adalah sabana menghijau
Lalu kita menjelma biru dan putih lautan
Gua dengan air keruh menunggu hujan
Kepalaku mengingat bait puisi Umbu
Kuda putih yang meringkik dalam sajak-sajakku.
Pada Kuali Rendang
Pada kuali rendang
Jalanan Surantih mendidihkan santan
Di atas kayu bakar
yang berkorban jadi abu
dalam sajak Sapardi
Minyak menguar dalam gelegak
Tikungan mencium bibir pantai Painan
Dan gonjong baru yang dipasang
pada atap gedung pemerintahan
Harum ketumbar
Daun kunyit dan asam kandis yang mengering
di perkotaan
By pass menujumu mendarat di bandara
Padang Pariaman
Diaduknya gulai yang mulai susut
Masa kecil yang tak pernah hanyut
Tempurung kelapa yang merentangkan jarak rindumu
pada ibu
Dan bau asin kenangan
Mengering di dahimu
Kartu Pos Kota Tua Ampenan
Pada cetakan angka di kartu posmu
Tertera tahun-tahun jauh
Langit mendung
Ruko-ruko melambaikan tangan
Kota ini mengekalkan yang tertinggal
Bau cat baru pada bangunan lama
Atau cat tembok yang mengelupas
Sejarah menjatuhkan semua yang telah jadi kenangan
Toko-toko lama berpenghuni dan tidak
Tiang-tiang menjulang ke langit rasa sedih
Rumputan dan lumut menyembul minta bagian
Sebuah kedai kopi dengan jendela terbuka
Menjual yang tersisa
Marka yang menunjukkan jalan menuju masa silam
Dan jukung terbalik yang digunakan sebagai meja
Matahari sore tertelan buih lautan
Pohon kelapa merunduk menanggung
seluruh kesedihan pelayaran
Sebuah jalan menjorok menuju lautan
Senyap sajak dan kapal kayu kolonial kian samar
Gambar kartu posmu
Adalah sisa-sisa bandar
Kota yang tak berganti baju
Aroma asap sate rembiga dalam ingatan
Panas anak api memercikkan ujung nasib
pada besi yang tabah memerah dibakar minyak dan korek api
Pada kolom alamat
Kamu tuliskan masa depan sebagai tujuan
Maka kusimpan dan kekalkan kenangan
dan keresak garam pada pelabuhan lama yang padam.
- Sajak-Sajak Mutia Sukma - 18 October 2022
- Sajak-Sajak Mutia Sukma - 13 October 2020
- Sajak-Sajak Mutia Sukma; Sungai Malaka - 10 September 2019
menalarasati
suka dengan puisinya mba…