Sajak-Sajak Ni Made Purnama

 

Morangan

bebatuan itu hidup

dan bersenyawa dengan lumut

diperamnya kefanaan

bagai mutiara dalam cangkang

bila malam tiba

berbisik ia pada pakis

sulur, dan gugur daun

menanti nubuat nasib

jadi arca di suatu candi

tapi sebagaimana laut ingkar

pernah menjanjikan ikan-ikan

angin pesisir mengikisnya

2022

 

Perjalanan Kegembiraan

sekarang aku tahu:

bus kami berguncang

karena seekor kucing

menggelayut di roda kemudi

dibujuknya pak sopir

seperti mau berkata,

“bawalah aku pergi,

dan abadikan dalam kanvas ini.”

erica yang murah hati

penuhi pintanya dan menambahkan

ikan-ikan, burung bangau, tak lupa

sekawanan gajah merah yang pemalu

di kejauhan, kilang yang menjulang

jadi tampak lucu serupa rumah boneka

sebuah pesawat di langit jingga

melayang melampaui waktu

mereka timbul tenggelam

dalam genangan warna

meniupkan kebahagiaan kanak-kanak

yang aku lupa bagaimana rasanya

manusia dalam bus, kami semua

binatang dan pohonan

merayap di luar sana

sungguh tak ada beda

malam dan maut

yang melambai di tepian

kami lewati

dengan riang gembira

2022

 

Ode bagi Malahing

: lucia hartini

mengatas batas hari

pulau terapung itu

tanggalkan bayang-bayangnya

dituntun angin

menepis wangi rumput laut

seorang diri, perempuan itu

mengandaikan seekor burung

menyaksikan dunia

jauh dan lapang

luas dan kesepian

seharusnya dia bahagia di sana

tapi setiap torehan

membuai tidur harapan

dan mimpi perlahan bicara:

semoga jiwa sekuat baja

dan tak serapuh sayap ngengat

semoga tangan menjelma

sekumpulan tunas pemalu, pada mulanya

namun berdenyut mekarkan akar-akar

meresap di kedalaman, rumah bagi kerang

yang menyembunyikan mutiara

tapi desir gelombang yang mendengar

kekalkan kesunyiannya

dan cintanya yang memberi

menyimpan dekapan hampa

bagi siapapun yang mendambanya

2022

 

Percakapan Sebelum

Kepulangan ke Yogyakarta

dapur itu mempertemukan kami:

sepotong roti di sepiring pepaya

kopi pahit dalam kicau burung pagi

denting gelas sedang dicuci

jendela terbuka, kau amati

dia perlahan menjelma kupu-kupu

di ruangan lain, kata-kata bagai

melompat dari buku ke buku

membentuk kumpulan prosa

puisi filsafati tak kau pahami

bersikeras mengaku diri

sebagai pesan-pesan paling rahasia

cinta adalah bunyi saklar lampu menyala

juga bekas cangkir di muka meja

gampang padam dan terhapus

tapi tak jemu mengulangi

hidup atau mati

berkali-kali, bersisian

kian lama tak cukup dapur ini

menangkup cerita dan gelisah kami

apakah sudah waktunya pergi?

tunggu sebentar, ingin kau dengarkan

bujuk angin menggugurkan dedaunan

benih bagi rumputan

yang merindukan rindangnya pohonan

2022

 

Akan Aku Kenangkan Rumah Itu

akan aku kenangkan rumah itu

sudut remang dini hari

dan kau di sana, seorang diri

jendela meniupkan gigil udara

salam pagi, aku buka mata

cuma tatapmu, diam yang dalam

lantas seulas senyum

menepis mimpi dan membikin nyata

selamat tinggal yang tiba terlambat

akan aku kenangkan ruang itu

suaka paling aman bagi kunang-kunang

dan di kesunyiannya

dia temukan kembali cahaya

kusandarkan jiwaku dalam gelap

kudengarkan napasmu yang lelap

malam bagai membisik

kecemasan yang dulu merengkuhku

mengasingkan dunia, menyangsikan cinta

manusia yang kutulis tanpa rupa

silang jalan, selisih arah, ilusi

dan aku takut

tak bakal lagi melihatmu

dan kau pupus kabut

dan apa yang kugenggam cuma

tanganku yang sebatang kara

2022

 

Yang Tersisa dari Percakapan

di Gereja POUK Immanuel

kau ingat ucapan si pendeta:

datanglah ke berbas

buat lihat bontang masa silam

seakan bertahun hanya sehela jauhnya

dia kenangkan rupa bangunan

teralis rumah toko, lawasnya atap kayu

juga daun pintu—membuka arah

suatu kehidupan baru:

satu dua gubuk menjalar

samarkan pemukiman lampu merah

tujuan singgah kaum buruh

yang tak menyadari: cumbuan diam-diam

         di remang lampu petromaks

bakal melahirkan sebuah kota

adakah itu kisah muasal

yang indah—atau pedih

sudut jalan berbas

      simpang gang buntu itu

seperti enggan bercerita

dan wajah-wajah di sisian

mengekalkan diri mereka

sebagai pendatang asing

siapa kira sekian depa

         puluhan tahun lewat

takdir kota jadi piatu

orang-orang yang mendiaminya

berkerumun bagai semut

beranak pinak mengikis tiang kayu

lalu mati di celah tersembunyi

kau menepisnya, begitu ingin menepisnya

sebagaimana dalam malam tak berpagar

dalam tanya nasib sang waktu

bintang besar itu bersinar

beri cahaya pada rembulan

2022

 

Kesunyian Bintang Mati

kau melihat jalan panjang dan kelamnya

sungai mahakam pukul tiga pagi

sedangkan bus kian melaju, langit maha luas

tidurkan para penumpang dalam gelap nyala bintang

“gelap nyala bintang,” cemasmu terserap

gigil udara, “mereka mungkin telah mati

ketika cahayanya menggenangimu saat ini.”

mahakam membentang serupa permadani

di tepinya, di bawah kanopi toko yang tutup

orang-orang tak berumah membagi mimpi

merahasiakannya dari derasnya arus

yang tak henti memanggil dongeng masa silam

               dan menenggelamkannya

dongeng tentang penciptaan semesta

nyanyian sape’ bagi kekasih bulan

sihir sang puteri menolak bala

hingga leluhur suku terasing

yang kini penuh teka-teki

kau berangan akan waktu yang kekal

yang mengizinkanmu menyaksikan

muasal terbentuknya jagat raya

bercakap dengan tuhan dan bertanya:

apakah dia punya pilihan-pilihan

ketika menciptakan alam semesta?

apakah benar ini bukan dunia buangan

                      dari galaksi tak terperi?

apakah bumi yang fana juga musabab

atas sebagian besar dosa?

kau terdiam

hanya bintang mati itu

jauhnya ribuan tahun cahaya

memancarkan sisa nyala

yang menggulitakan jawaban

buat segala pertanyaanmu

2022

 

Pada Titian di Tepian

sepucuk tunas bakau

seperti apa masa lalunya?

sepandang tepian air

muara waktu pelan pun karam

baginya, dan bagi ketam

menanti ajal di celah liang

seperti ranting lapuk dari seberang

laut kandas sandarkan gelombang

pada bumi yang diam

kian dalam ke rimba bakau

titian kayu melepasmu

sejengkal lagi ujung hari

pada bisik seekor ular

janjikan taman terakhir

pada wangi hujan pertama

meresap pada sunyimu

di sela akar, dipilin napas doa

       induk bakau kala silam

merambatlah keraguan nasib

menguatkan keteguhan hidup

2022

 

Kepada Ibuku

: maria hartiningsih

aku tak melihat apapun

selain sebongkah batu

yang meratapi kepingan kerikil

bagian dari dirinya

retak dan kikis

bercerai demi bercumbu

              dengan lumut

yang memimpikan cikal bakal

sekuntum bunga, mungil manis

                 namun rapuh

yang kelak berdusta pada

tanahnya, akarnya

bersama angin menebarkan

benih-benih baru ke tempat jauh

dan tak lagi kembali

2022

 

Telok Bangko

selapis bayang:

sekelopak anggrek dalam rimba

tak bernama, tak berumah

uluran tangan waktu

jangkauan sisa masa silam

teraba di puing dinding, sekeping bebatuan

ranting lapuk dengan sarang semut

yang lama dilupa

putih, serbuk sari

jutaan jiwa yang tak kasat mata

mengangankan lembah mukim yang baru

tumbuh bersitahan, melayu bertahun-tahun

menanti tiba nujum nasib tak disangka:

seorang peneliti yang gigih

mencari kuntum nan langka

menyimpannya dalam tabung kaca

memberi nama dan abadi bersamanya

tapi jutaan putik

       teduh di bawah pohonan:

satu dari sekian menyaksikan datangnya musim bunga

satu dari sekian hanya mati demi hidup yang sekejap

2022

 

Sehari Sebelum Sincia

Ketika hujan menderas

di lengang simpang dekat gereja

di kampung wirobrajan

kau merenungkan:

Masalah apa yang kau bagi pada dunia

hingga usia yang entah seberapa baya

Kesalahan mana menghantui

sesatkan jadi orang rantauan

              dan kini sebatang kara

Dan apakah kau sesali

kenyataan-kenyataan kecil

yang mengubah impian-impian besar

Badai menebalkan kabut pandangmu

yang mengalir di luar sana

         dan di dalam dirimu

membikin larut lamunan

tapi tak melarungkan kecemasan

Saat mereda, seperti kutip sajak sapardi

ada gadis ingin sebrangi gerimis

bukan tangannya, bukan bayangnya

melainkan tatap mata itu

siratkan kelamnya waktu

luput dari genggaman

bagai kepingan buah asam

gugur sepanjang jalan

lalu mengakar pada risaumu

dan menyadarkan:

setiap peristiwa mengupas wajah kita

satu demi satu, memaksa menanggalkan

lapis terluar menuju inti terdalam

tanpa tahu yang bersemayam di sana

adalah mutiara

atau hanya sebenih, tak kasat mata

yang melayu sejak semula

Ah, cuaca buruk ini ada baiknya

seperti peruntungan yang

memekarkan luka-luka

kau memetiknya dengan sukacita

2023

Ni Made Purnama
Latest posts by Ni Made Purnama (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!