Pengarang yang Dibunuh Kesepian

Sebenarnya pengarang yang telah menuliskan cerita pendek ini telah mati, maka jika kau berhasil membacanya sampai tuntas, percayalah, cerita itu dilanjutkan oleh salah seorang tokoh rekaannya.

Pengarang itu telah memiliki hidup yang menyedihkan. Tentu ia pernah memiliki masa-masa yang indah sebagai manusia; memiliki istri, memiliki anak, rumah sederhana dengan halaman yang cukup untuk bercengkerama bersama. Ia pernah benar-benar hidup dari menulis. Segala yang ia dapatkan dari menulis. Hingga seorang penggemar mengirimkan surat dengan kalimat-kalimat yang tak biasa. Mereka berkiriman pesan secara sembunyi-sembunyi, dan perasaan itu tumbuh.

Seorang perempuan selalu diberkati dengan mawas diri yang cukup tinggi. Api dalam sekam membara, hingga suatu hari si pengarang kedapatan tidur dengan perempuan yang memujanya itu. Segala yang ia bangun runtuh seketika. Ia ditinggalkan. Anak-anak dibawa oleh istrinya. Meski si pengarang meminta dengan iba, merengek sedemikian rupa, bahkan bersembah sujud pada hari kepergian istrinya dari rumah itu, istrinya tetap melangkah tanpa menoleh. Hanya dua si kecil memandangnya dengan mata penuh kesedihan. Ketiga malaikatnya pergi, dan itu adalah awal bagi kepalanya untuk gagal menyelesaikan setiap cerita yang ditulisnya.

Untungnya, kehidupan penulis tidak terlalu disorot sebagaimana kehidupan selebritis. Berita tentang perselingkuhan si penulis memang sempat muncul di surat kabar, tetapi hanya sebentar belaka, dan rasanya jarang sekali orang yang membicarakannya, kecuali para penggemarnya yang diam-diam suka mengamatinya dari jauh. Bersembunyi di balik pohon sambil melihat kehidupan penulis yang mereka agungkan.

Setiap pagi, sebagaimana kehidupannya yang telah sempurna, ia masih memiliki kegiatan yang sama, ia akan berada di depan komputer miliknya. Ketika memiliki keluarga yang sempurna, selalu ada saja ide yang mengalir di kepala. Ia tidak pernah kehilangan inspirasi. Ditambah, ia terikat dengan salah satu penerbit untuk menerbitkan buku-buku populer.

Kepalanya kering. Ia telah melakukan segala yang ia ajarkan di kelas-kelas menulis, tetapi kata demi kata yang hendak ia ketik tak kunjung muncul. Ia sering kali mengatakan kepada setiap peserta yang mengikuti kelasnya, bahwa tidak ada tidak ada ide. Bagi seseorang yang benar-benar ingin menulis, tidak ada ide hanyalah omong kosong. Hanyalah suatu pembenaran terhadap sebuah kemalasan. Namun ia benar-benar merasa kering.

Ia mencoba membuka kembali koleksi buku-buku lama, membacanya, demi mengusir kesepiannya. Ia mencoba menelepon istrinya, tetapi rupanya nomor yang digunakan istrinya sudah tidak aktif. Kepalanya rasanya ingin meledak. Maka pada Sabtu pagi, ia mengeluarkan mobilnya, berusaha datang ke rumah mertuanya, dan meminta maaf yang sebenar-benarnya. Betapa ia dikejutkan hal yang tak pernah diharapkannya. Istrinya pergi yang bahkan, mertuanya sendiri pun tak tahu ke mana mereka pergi. Ia marah-marah tak tentu arah. Ia mengemudi serupa setan yang mabuk. Ia sering kali ditegur pengendara lain dengan membunyikan klakson mereka dengan kencang. Si penulis dengan kebodohan seseorang yang frustrasi, membanting setir ke kanan ke kiri, tak tentu arah.

Naskah-naskahnya terbengkalai. Ia beberapa kali ditelepon pihak penerbit, apakah novel terbarunya sudah rampung, atau setidaknya tiga perempatnya. Ia menjawab sebentar lagi. Begitu ditutup ia membanting ponselnya dengan amarah yang begitu meledak. Mau tak mau ia harus menghadapi kesendiriannya seorang diri lagi.

Namun berjam-jam, bahkan hingga malam, bahkan ia sering kali lupa untuk sekadar makan, ia hanya mengetik beberapa kalimat, hal itu pun ia lakukan dengan berkali-kali menghapus, mengetik lagi secara berulang-ulang. Ia biarkan rumahnya berserakan daun-daun. Perlahan, rumahnya yang menyendiri dari rumah-rumah yang lain, menjadi seperti neraka. Daun yang jatuh di rumahnya semakin bertumpukan, menjadikan rumahnya seperti rumah yang tidak berpenghuni.

Tak ada sehalaman pun yang ia selesaikan selama berminggu-minggu dan ia diputuskan oleh penerbit secara sepihak, dan ia kehilangan mata pencaharian utama. Menulis. Ia membanting piring, gelas, dan segala yang bisa ia lemparkan. Ia benar-benar di ambang yang tidak bisa ia kendalikan.

Buku-buku berserakan, dikarenakan ia mengambil. membaca, tanpa mengembalikan ke tempatnya semula. Namun inspirasi tak kunjung muncul. Ia teringat, ketika ia bangun tidur, rumah sudah rapi. Kopi dan roti sudah tersedia di meja makan di samping tempat ia tidur. Sering kali ketika ia bangun, istrinya sedang membersihkan pekarangan belakang kemudian membakar sampah daun kering.

Ia akan duduk di depan komputer sampai tengah hari, dan itu adalah saat-saat yang paling menyenangkan. Sore hari, terkadang mereka berkeliling, mencari makanan, atau sekadar untuk melihat pemandangan di sekitar rumah mereka.

Ia semakin terpuruk di ambang kenangan. Saat itulah ide gila itu muncul. Ia menghafal setiap karakter yang telah ia buat. Ia tahu apa yang mereka suka, apa yang mereka benci, termasuk pekerjaan, dan rumah mereka. Ia mengetik surat, sebuah surat panjang, yang menyatakan ia tak sanggup menulis lagi. Ia berharap kelak ada seseorang yang mau menuliskan novel terakhir yang sedang ia garap. Ia ingin penerbit yang telah memutuskan hubungan dengannya, kelak akan menyesal. Ia mengirimkan surat itu kepada salah satu tokoh rekaannya, sebagai sesuatu yang iseng.

Ia tak pernah menyangka suratnya berbalas. Tak lama kemudian ia mendapatkan pesan di ponselnya, tokoh rekaan itu akan datang kepadanya, dan akan membantunya sebisa mungkin.

Hari yang telah dijanjikannya pun tiba. Lelaki itu benar-benar datang. Ia terbelalak ketika ia baru saja membuka pintu. Tokoh fiktif itu, benar-benar seperti yang ia bayangkan. Rambutnya tegak lurus tipis, bahu dan dadanya bidang, dan ia memiliki bibir sebagaimana lelaki yang tegar. Ia sedikit tersenyum, saling berjabat tangan, kemudian masuk ke dalam rumah.

Si pengarang dengan sibuk ingin menjamu tamunya. Sebagaimana yang ia tulis di dalam novel sebelumnya, tokoh rekaannya itu merupakan penyuka kopi pahit. Secangkir tanpa gula. Ia mendadak lupa, sudah tidak ada lagi istrinya di rumah ini. Maka ia mengacak-acak dapur, mencari biji kopi yang tak kunjung ia dapatkan. Ia menghidupkan kompor, menuangkan air ke dalam sebuah panci. Dapurnya agaknya masih terlihat tampak bersih jika dibandingkan ruangan yang lain. Ia masih belum menemukan biji kopi, sampai akhirnya ia menemukan dua saset kopi kemasan. Ia lihat tanggalnya sebentar, sudah kedaluwarsa dua bulan. Ia memilih masa bodoh. Ia tetap menuangkannya, dan menyajikannya untuk mereka berdua.

Si tokoh tersenyum, dan berucap terima kasih ketika si pengarang memberikan secangkir kopi untuknya.

“Aku tak pernah menyangka kau benar-benar ada.”

“Aku berpikir, maka aku ada. Bukankah begitu?”

Descartes. Sudah sering dikutip orang, terutama penulis. mereka saling diam cukup lama.

“Kau memiliki kehidupan yang menyenangkan di dalam ceritamu. Kehidupan yang sempurna. Istri anak yang bahagia. Kau berhasil meyakinkan orang-orang yang meragukanmu. Sementara aku yang mereka ceritamu, memiliki kehidupan yang menyedihkan macam begini.”

“Kau pikir, kau yang mengendalikan ceritaku? Aku yang mengendalikan semuanya. Aku yang menggerakkanmu, membisikkan kata di telingamu, supaya aku tidak menderita sebagaimana para pengarang memberlakukan tokoh-tokoh yang mereka tulis. Aku tidak ingin terlunta-lunta. Sebaliknya, akulah yang mengendalikan kehidupanmu.”

“Bagaimana bisa?”

“Apa kau pikir kami tokoh rekaan tak memiliki kehendak sendiri? Kami memilih untuk kehidupan kami sendiri. Kau tahu siapa perempuan yang kau tiduri hingga kehidupanmu menjadi macam begini?”

Si pengarang tersedak ketika hendak mencecap kopinya.

“Aku yang menyuruhnya. Untuk menghancurkan kehidupanmu.”

Kopi yang sudah masam itu bertambah masam di bibir si pengarang.

Si tokoh rekaan tersenyum. Ia telah mengendalikan keadaan sekarang.

Si pengarang, dengan napas yang memburu, hendak menumpahkan kopi ke wajah tokoh rekaannya. Ia mengundangnya untuk memunculkan ide yang sempat mampat. Namun bukan inspirasi yang ia dapatkan, tetapi perasaan jengkel tak keruan.

Dengan sigap si tokoh rekaan memegang tangan si pengarang. Sedikit kopi tumpah di pergelangan tangan mereka.

“Kau tahu apa yang pernah kausarankan di kelas menulis untuk pemula?” kata si tokoh.

Ia tercenung. Ia tak pernah terpikir untuk berpikir semacam itu.

“Jika seseorang tidak ada ide, maka buatlah tokoh, ikat di dalam sebuah rumah, tutup semua pintu dan jendela, dan bakar rumah itu. Bukankah itu yang sering kau sarankan di kelas menulis yang kau ampu?”.

Si pengarang terbelalak. Ia tak pernah berpikir sejauh itu.

“Tenang saja. aku tak sekeji itu. aku tak akan mengikatmu. Hanya mungkin menutup semua pintu dan jendela. Itu sudah cukup.”

Si pengarang mencoba mengumpulkan tenaga, ingin menghantam wajah tokoh rekaannya. Ia ingin menyerangnya dengan membabi buta.

Namun tokoh rekaan yang tentu masih muda, dan ia rupanya telah menghafal seluruh seluk-beluk rumah pengarang yang menciptakannya. Ia mengunci semua pintu dan jendela dengan cepat. Nahasnya seluruh jendela telah dipasangi teralis besi, meski si pengarang telah bisa membuka jendela, tak mungkin baginya untuk keluar dari rumah itu.

Begitulah si pengarang itu mati. Ia dikurung dalam rumahnya sendiri. Si tokoh telah memutus sambungan telepon, memutus sambungan internet, dan tentu saja mengambil ponsel si pengarang sebelum ia mengamati dari kejauhan bagaimana si pengarang itu bisa mati.

Tak ada orang yang tahu tentang kematian itu, hingga beberapa tahun kemudian, berita di koran-koran termasuk para penggemarnya mengatakan bahwa pengarang itu telah mati karena beban pikiran yang menumpuk di kepalanya. Pembacanya seperti memahami, perselingkuhan yang tak direncanakan itu, membuat rumah tangganya berantakan, membuat ia sedemikian merasakan tekanan batin. Hingga akhirnya si penulis memilih untuk mati dengan cara mengurung diri. Maka, jika kau membaca cerita pendek ini, cerita ini diselesaikan oleh tokoh rekaan si penulis sendiri. Cerita ini diselesaikan tepat ketika si pengarang itu sudah hampir tidak bergerak lagi.

Rumadi
Latest posts by Rumadi (see all)

Comments

  1. Defita Nur Rohmah Reply

    Wonderful..

    • Lentera Reply

      Kerenn

    • nawvanda Reply

      Shock

    • Ranni Reply

      Ternyata genre thriller 😱

    • Nurul Islami Reply

      Woww …

  2. Kiel Reply

    Nice

  3. Delias Reply

    bagus sekali ceritanya! semangat menulis ya!

  4. Cakes Reply

    KEREN BGT

    • nawvanda Reply

      Shock

  5. Hervianna Artha Reply

    Unik jalan ceritanya.

  6. Ida Idut Reply

    Unik sekali

  7. Athmainnah Reply

    luarrr biasaaaa

  8. araa Reply

    bagus banget ceritanya

  9. Y Reply

    Bagus, tapi jujur aja kurang nendang.

    • hlb Reply

      Coba contohin

  10. Febrianiko Satria Reply

    Keren

  11. Elsa Reply

    Sangat menarik

  12. Gresia Sitanggang Reply

    Good

  13. Cestalia Reply

    Bagus banget ceritanya.

  14. reza Reply

    keren.. anti mainstream

  15. '_' Reply

    pembunuhan terhadap Tuhan kah?

  16. fi Reply

    seram

  17. El Imama Reply

    Bagus sekali cerpennya.

  18. Rose Reply

    Dari judul dan cerita cathcy banget

  19. Dyna Reply

    Keren banget idenya!

    • F Reply

      Ini konsepnya mirip dengan cerpen “pengarang telah mati” karya sapardi djoko damono gak sih?

  20. Hotma D.L. Tobing Reply

    Menarik juga

  21. Iin Romita Reply

    Bagus .tidak monoton… beda dari yang lain.idenya kreatif

  22. Blueberryvodca Reply

    Awesome…🔥🔥🔥
    Rapih, seru, nyaman dibaca, alurnya lembut dan ada hikmah yang dipetik secara tertulis dan tersirat.

    Semangat untuk next cerpennya kak👍🏻

  23. Drieeindri Reply

    Waaa baguss sekalii😍

  24. wahyoe Reply

    very good

  25. Taufiq H. Reply

    Keren alurnya. Penuh plot twist juga. Ditunggu karya selanjutnya, Kak!

    • Niskala Reply

      Memelintir statement “penulis adalah Tuhan bagi para tokohnya.” Rispekk

  26. adin Reply

    Menarik sekali!!

  27. Dedi ir Reply

    Menarik sekali

  28. Keyra Reply

    Mind-blowing

  29. Gita Reply

    wow, apik.

  30. Zeezee Reply

    plot twistnyaaa huhuhuuuuu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!