Takhta Setelah Peperangan

Kau menjadi pemurung sejak kau menduduki takhta itu. Istrimu, yang juga merupakan istri dari keempat adikmu, tidak lagi sudi berbincang denganmu, juga dengan keempat suaminya yang lain. Ia lebih suka mengurung diri di kamar. Istana ini, dengan segala kemegahan yang dimilikinya, emas, permata, manik-manik, semuanya terasa hampa belaka.

Tak hanya kau. Keempat adikmu, juga menjadi sama pemurungnya. Kalian saling diam, saling mengangguk satu sama lain ketika bertemu, tanpa tahu sebenarnya isi hati perasaan masing-masing. Hanya bocah itu, Parikesit yang membuat istana masih terasa hidup. Ia berlarian ke sana kemari, terkadang menyenggol perabotan istana dan kemudian pecah. Kau tertawa karena hal semacam itu, tawa riangnya, memecah kesunyian yang kaurasakan bersama adik-adikmu.

Berulang kali kau berpikir, seandainya saja, kau dan adik-adikmu tidak bersikukuh dan menerima keputusan Duryudana, hal semacam ini tidak perlu terjadi. Kalian mungkin masih bisa mengunjungi satu sama lain. Dan sekarang, kau dihimpit kesunyian. Dihimpit perasaan yang menyiksa.

Kau selalu digaungkan sebagai penebar darma. Kau bertanya kembali kepada dirimu sendiri, penebar darma macam apa? Kaududuk dengan segala kemegahan yang dimiliki seorang raja, yang bahkan tidak ada satu negeri pun yang memiliki kekuasaan yang semegah, dan sebesar Hastinapura.

Rakyat mengelukanmu, mengelukan keempat adik-adikmu setiap kali keluar istana. Kau dan keempat adikmu selalu tersenyum, melambai ke tangan mereka, seolah semua baik-baik saja, seolah kemenangan ini, memang sudah menjadi hakmu.

Kau tak pernah tidur nyenyak sejak kakekmu Bisma terbunuh. Kau sering tergeragap tengah malam dengan keringat yang bercucuran. Pernah suatu kali kaubangunkan istrimu untuk menenangkan hatimu, tetapi yang kau dapati darinya, hanyalah sorot mata amarah penuh kebencian. Kau takut menatap matanya, begitu bersinar, bercahaya, tajam, dan menusuk. Sorot benci yang ia miliki sejak kau mempertaruhkannya di meja dadu. Kau tahu, dirimu adalah suami dan lelaki bodoh. Lelaki macam apa yang mempertaruhkan istrinya di meja perjudian? Ia sudah tak mau bicara lagi denganmu ketika berdua saja di dalam kamar. Ia tersenyum begitu manis, tertawa dengan renyah, ketika berhadapan dengan rakyat. Ia tak pernah tampak murung. Dan juga ketika menggendong Parikesit, istrimu tampak begitu semringah. Keceriaannya kembali. Namun ketika kau tinggal berdua saja dengannya, segalanya kembali murung. Segalanya kembali diam.

Srikandi menjadi tameng. Kenapa kau menuruti begitu saja segala perkataan Kresna? Bukankah dia yang menyebabkan segalanya? Di mana dia sekarang? Dia sudah tak pernah lagi mengunjungi Hastinapura. Kekuasaan telah menjadi milikmu dan keempat adikmu, dan tidak ada lagi yang mengusik Hastinapura. Sejak Dwarati tenggelam karena kutukan Ibunda Gandari yang begitu murka terhadap Kresna, ia tak pernah kelihatan lagi. Kau tak lagi punya tempat bercerita. Kresna seperti hilang ditelan waktu.

Arjuna, yang dikatakan sebagai pemanah paling hebat, kesatria paling tangguh, tetapi melakukan hal yang sungguh memalukan di medan perang. Tentu saja, jika kau setidaknya menyumbangkan suaramu, bertarung satu lawan satu, dan jika Arjuna benar-benar menumbangkan Kakek Bisma sebagai kesatria, kau akan bangga. Kau masih ingat sehari sebelum perang, kau dan Duryudana menumpuk lima jari di atas bara abadi yang dimiliki Hastinapura. Kau ingat betul segala yang diucapkan Kakekmu Bisma. Tidak boleh menyerang perempuan, tidak boleh menyerang lawan yang tidak bersenjata, tidak boleh menyerang lawan yang tak berdaya. Dan Kakek Bisma tak berdaya melepaskan anak panahnya melihat Srikandi berdiri di depan Arjuna. Apakah ia benar seorang kesatria?

Arjuna berdiri di balik Srikandi dengan tetap melesatkan anak panahnya kepada Kakek Bisma, yang sudah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Hastinapura, demi kecintaannya kepada Raja Sentanu, yang dikatakan sebagai leluhurmu. Kakek Bisma, tetap diam. Ia tak membalas satu anak panah pun ke arah Arjuna yang terus melesatkan anak panahnya tanpa henti. Kau lihat itu, Kakek Bisma dengan lapang dada membiarkan tubuhnya dihunjami anak panah. Satu demi satu, anak panah menancap di tubuhnya. Air mata meleleh di pipimu. Rasanya kau ingin menghentikan perang itu. Hingga Kakek Bisma terjatuh dari keretanya karena anak panah sudah sedemikian banyak menancap di tubuhnya. Ia bersikap sebagai kesatria. Tidak menyerang perempuan. Tidak menyerang Srikandi yang dijadikan tameng oleh adikmu.

Perang berhenti. Kau, adikmu, dan seluruh pasukanmu langsung segera mendekat ke tempat kakekmu ambruk. Tubuhnya tak menyentuh tanah. Anak panah yang menancap di punggungnya telah menopang tubuhnya. Kau lihat kepala Kakek Bisma tergolek. Dan ia tersenyum kepadamu. Kepada adik-adik dan sepupumu. Betapa Kakek Bisma telah berusaha untuk mencegah perang ini terjadi, dan bertanya berkali-kali “Apakah kalian sudah yakin?” Kau dan Duryudana mengangguk bersamaan.

Hari itu, hari paling menyedihkan dalam hidupmu. Meski matahari belum terbenam, perang tak dilanjutkan. Kau bersama-sama dengan Kurawa, mengangkat tubuh Kakek Bisma ke tempat yang lebih teduh. Kakekmu ingin terus melihat jalannya peperangan hingga ia tak bernapas lagi. Ia mengatakannya dengan terbata-bata, karena menahan begitu banyak luka di tubuhnya.

Tak pernah lepas dari ingatanmu, bagaimana Arjuna merengek ketika tahu Guru Durna memiliki murid yang lain. Pemanah yang hanya berguru pada sebuah patung Guru Durna. Arjuna begitu marah kepada gurumu, dan kau diam saja melihat semua itu. Hatimu bergetar dahsyat ketika kau melihat Ekalaya hendak mengiris ibu jarinya, sebagai gurudaksina. Arjuna yang merengek meminta pemanah berbakat itu untuk memotong ibu jari kanannya sebagai persembahan. Dan kau diam saja. Kau tak ingin ada yang lebih hebat dari kau dan adik-adikmu. Dadamu bergemuruh, dan segala perasaan beraduk. Dan kau lihat Arjuna tersenyum melihat pemanah itu hanya menyisakan empat jari di tangan kanannya. Kau lihat sorot mata yang menyala, begitu marah, menyimpan dendam. Ia berlalu dengan napas memburu, dan juga air mata yang terurai.

Kematian Guru Durna. Betapa kau tak berdaya dan mengiyakan begitu saja apa yang dikatakan Kresna. Seekor gajah yang diberi nama Swatama, disembelih sebagai persembahan demi meraih kemenangan. Dengan lantang, di hadapanmu, Kresna akan menyuruh seluruh pasukan mengabarkan Aswatama telah mati. Dan tugas paling berat di hari itu berada di pundakmu. Guru Durna teramat sayang kepada anak semata wayangnya, segala hal akan diberikan, asalkan anaknya bisa hidup berbahagia, meskipun ia hidup menderita. Kau menangis sejadi-jadinya mengingat peristiwa itu. Kau kebingungan ketika Guru Durna sampai di hadapanmu. Kau satu-satunya orang yang ia percaya tidak pernah berdusta. Maka Sang Guru bertanya dengan wajah penuh harap tentang keberadaan anaknya.

“Putra Darma, kau adalah satu-satunya orang yang tak pernah berdusta di dunia ini. Katakanlah, apakah benar Aswatama telah mati?”

Kau tak sanggup memandang mata Guru yang telah mengajarkanmu banyak hal.

“Swatama telah mati.”

Katamu pada akhirnya. Kau mengatakannya dengan bibir bergetar, dan wajah menunduk. Kau disergap rasa gugup luar biasa. Seumur hidupmu, kau tak pernah berdusta. Maka demi menjaga darma, kau berucap lirih, dan berharap Guru Durna tidak mendengar ucapanmu.

“Tetapi Swatama itu adalah nama seekor gajah.”

Kau benar-benar mengatakannya dengan nada yang teramat pelan. Kau disergap gigil. Kau tak sanggup lagi berdiri. Sampai kau harus dipapah beberapa prajurit karena tak mampu berdiri sempurna lagi.

Guru Durna melepaskan pedangnya. Kau dengar tangisnya yang begitu mengiba. Kau dengar jeritannya, tentang segala yang ia usahakan demi kebaikan anaknya sia-sia belaka. Isaknya begitu menyesakkan. Kemudian kakak iparmu datang dengan menghunus pedang dan langsung memenggal kepala gurumu. Saat gurumu tak bersenjata. Kurusetra hening kembali setelah itu. Tangismu berderai melihat gurumu tumbang dengan cara yang demikian licik.

Kemudian tentang kematian kakakmu. Kau telah membujuk ibumu untuk mengajaknya bergabung di pihakmu. Karna, begitu ia dipanggil. Ia menolak. Ia tak bisa meninggalkan Duryudana yang telah memberinya kedudukan sebagai raja.

Kau tak menyangka Arjuna bertindak sebagai seorang pengecut. Kau melihat sendiri Arjuna melesatkan anak panah saat Karna berusaha mengangkat roda keretanya yang terbenam dalam lumpur. Saat Karna tidak bersenjata, Karna tidak siap menerima serangan. Panah itu menancap di tenggorokannya. Kau melihatnya ambruk. Dan entah perasaan macam apa yang kau miliki setelah Karna, kakakmu, tak berdaya. Ia dibunuh saat tidak bersenjata, sebagaimana kematian Sang Guru.

Oh Kresna. Ia adalah orang yang paling keji dalam perang ini. Kau tahu betapa Arjuna begitu marah dan melesatkan anak panahnya ke arah Karna yang sedang tidak berdaya. Kresna yang mengobarkan api kemarahan di dalam dada adikmu. Karna yang tanpa malu ikut membunuh Abimanyu yang terperangkap dalam formasi Cakrabyuha. Abimanyu, remaja itu terbunuh sebagai kesatria dengan dikeroyok oleh pasukan Duryudana.

Kau menangis lagi. Keponakanmu, yang baru saja menikah, seorang remaja yang tangguh, menjadi salah satu yang dikorbankan dalam perang itu. Karna, kakakmu, yang seharusnya menduduki takhta yang kau duduki sekarang, terbunuh dengan cara paling licik. Kau menangis hingga bahumu terguncang-guncang.

Kau terisak lagi. Seorang diri. Hanya Arjuna yang rasanya berbahagia di istana yang kauhuni sekarang. Hanya dia yang masih memiliki anak. Seluruh keturunanmu gugur di malam laknat ketika Aswatama mengamuk dan membakar kemah saat seluruh pasukanmu terlelap. Kau lihat putra gurumu itu terkekeh, tertawa, dan begitu gembira, melihat seluruh pasukanmu dilalap kobaran api. 

Ibumu, seseorang yang selalu menenangkanmu di saat paling menyedihkan, pergi bersama Destarastra dan Gandari, sejak takhta diserahkan padamu. Kaulihat kesedihan di mata ayah dari sepupumu itu. Ia memilih menjadi pertapa, bersama ibumu, dan istrinya. Kau telah menawarkan tempat tinggal paling nyaman kepada mereka sebelum benar-benar pergi. Namun mereka menolak. Mereka telah lama hidup dalam gelimang kekayaan, mereka ingin hidup tenang, tanpa dibayangi kekayaan dan kekuasaan.

Kau telah merasakan apa yang dirasakan Pandu, mendiang ayahmu, juga Prabu Destarastra. Begitu menyakitkan tahta yang kaududuki sekarang. Rasanya, kau ingin Parikesit segera dewasa, dan menyerahkan tahta ini kepadanya. Kau ingin mengikuti jejak Destrarastra, menjadi pertapa, tanpa dibayangi kekayaan dan kekuasaan, yang membuat hatimu selalu bersedih sepanjang hari.

Cakung, 14 September 2021

Rumadi
Latest posts by Rumadi (see all)

Comments

  1. Whyda Reply

    Cerita yang menyedihkan 😌😥

  2. Elaien Reply

    Aku suka melihat Mahabrata ketika kelas 1 SMA sekitar tahun 2015 atau 2014 dan jujur saja aku sangat mengagumi sosok Arjuna. Bagaimana dia begitu gagah dan sebagainya. Begitu membaca cerpen ini, rasanya aku perlu menontonnya ulang untuk melihatnya dari sisi yang berbeda.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!