Perjalanan Tanpa Akhir

Kau duduk di stasiun kereta dengan gelisah. Meski cuaca dingin, karena hujan masih mengguyur di luar sana, tanganmu berkeringat. Stasiun itu sepi saja. Hanya kau, satu orang yang duduk di tiang penyangga stasiun ini, dan ada satu orang lagi di seberang sana yang tentu saja tidak kau kenal. Kau paham kenapa tak satu pun dari mereka yang duduk berdekatan. Mereka duduk menyendiri. Tak ingin diusik kenapa mereka berada di sini sekarang. Di stasiun, menunggu kereta tanpa tujuan. Kereta yang membuat penumpangnya abadi di dalamnya. Kereta yang sudah ada jauh sebelum kau dilahirkan. Dan meski harga tiketnya sedemikian mahal, kau selalu memperhatikan sepulang kerja, ada satu atau dua orang yang naik kereta ini, menyerahkan hidup pada kekosongan, pada kehampaan, dan tanpa tujuan.

Kau hela napasmu. Sudah lima belas menit kau menunggu dan kereta belum juga datang. Kau tak tahu rute kereta itu, karena jalurnya melewati bawah tanah, yang tak seorang pun penduduk di kotamu tahu, ke mana kereta ini akan melaju. Konon, kereta ini hanya lewat satu kali saja. Setiap kereta yang lewat adalah kereta yang berbeda. Di dalamnya, seperti yang kau dengar dari desas-desus yang dikatakan orang, kereta ini sangat membuat nyaman para penumpangnya. Sejenak, kau ragu, benarkah kau akan menyerahkan dirimu pada kereta itu, kereta yang meski kau abadi di dalamnya, tetapi kau berjalan tanpa tujuan. Yang bisa kau lakukan hanya memandangi jendela kaca, menikmati perjalanan tanpa akhir.

Kau telah memikirkan ini masak-masak. Kau lihat orang yang menyandarkan punggungnya di tiang penyangga stasiun, sama sepertimu, ia juga tampak gelisah. Di sini, seperti yang pernah kau dengar dari orang-orang, tak akan ada orang yang mau diajak berbicara. Tidak ada orang yang mau memulai pembicaraan. Basa-basi adalah hal tabu. Karena mereka yang datang ke stasiun ini adalah orang-orang yang memiliki masalah dalam hidup. Dan mereka tak mungkin mengungkit atau menceritakan aib sendiri kepada orang lain.

Kau telah menjual seluruh hartamu. Tidak sepeser pun kau wariskan kepada anak dan istrimu. Kau membayarkan separuh dari kekayaan yang kau miliki untuk perjalanan ini. Kelas VIP. Yang harganya memang tak masuk akal. Kau akan memiliki kamar sendiri, fasilitas makan sendiri, dan tak seorang pun mengusikmu. Kau tak boleh keluar dari kamarmu. Dari gambar yang ditawarkan oleh SPG kereta ini, yang selalu mendatangi manusia bermasalah, dan dengan mulut manis mereka tak sedikit dari konglomerat yang menyerahkan akhir hidupnya ke dalam kereta ini. Mereka yang bermasalah karena kasus hukum semisal korupsi dan perdata, mereka akan memilih perjalanan ini, meski dengan biaya yang tak sedikit. Mereka lebih memilih mengaburkan diri ke dalam perjalanan tanpa tujuan daripada mereka harus menanggung malu seumur hidup, atau mendekam dalam penjara.

Tak sedikit pula para lelaki brengsek yang kau lihat datang ke stasiun ini. Lelaki yang menghamili perempuan dan pergi begitu saja. Tentu si perempuan tak akan bisa mengejar. Karena para lelaki brengsek itu telah merencanakan perjalanan jauh-jauh hari sebelum menghamili kekasih atau pacarnya, dan si pacar tak akan bisa langsung menyusul lelaki yang menghamilinya. Pembelian tiket kereta ini melalui proses yang lumayan panjang dan berbelit-belit.

Kau masih ingat jalan masuk ke dalam stasiun ini melalui ruang bawah tanah. Dan ada pintu dengan kata kunci digital. Petugas stasiun memberitahukan, setiap orang yang datang ke sini, yang telah memesan tiket akan mendapatkan nomor urutan yang berbeda. Ada yang hanya dua digit, ada yang hanya tiga digit, dan seterusnya. Nomor itu akan disesuaikan dengan sidik jari si pemesan tiket. Jika salah, hukumannya adalah ditembak di tempat. Karena ia adalah pemalsu atau penumpang gelap, yang tidak akan pernah diperkenankan menerobos masuk, karena meskipun mampu melewati pintu pertama, ada sepuluh pintu lagi yang harus dilalui dengan kata kunci yang berbeda-beda. Melelahkan memang. Namun pendiri stasiun ini melakukan hal semacam itu agar tidak ada penumpang gelap yang tidak jelas asal-usulnya nyelonong masuk ke dalam stasiun, apa lagi langsung memasuki kereta.

Kau mendengar peluit panjang dari jauh. Kau melihat sorot lampu kereta. Seharusnya kau merasa gembira, atau sedih, tapi kenyataannya perasaanmu teramat gugup. Kereta semakin mendekat, dan degup jantungmu berdebar lebih keras dari biasanya. Kakimu gemetar. Kereta berhenti tepat di depanmu. Nomor pintu yang sama dengan tiket yang kau genggam terbuka. Kau menoleh. Orang yang menyandarkan punggungnya telah melompat ke dalam kereta. Melihat kau tak kunjung berdiri, petugas penjaga kereta menghampirimu. Kau mengumpat dalam hati. Mengapa begini?

Kau memberi isyarat bahwa kau baik-baik saja. Kau memberi isyarat dengan gestur tanganmu, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau mencoba berdiri. Kau gemetar. Kau merasa tidak siap dengan keputusanmu. Petugas stasiun mencoba menghampiri tetapi lagi-lagi kau memberi isyarat kepadanya bahwa kau baik-baik saja. Kau berdiri pelan. Kau hela napas. Kau melangkah pelan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah dan kau sempoyongan. Kau hampir saja ambruk. Namun kau bisa mengendalikan langkahmu sendiri. Dua langkah lagi kau akan masuk ke dalam kereta itu. Dua langkah yang terasa jauh. Tak pernah kau merasakan hal semacam ini.

Satu langkah berikutnya kau merenungkan dua hal. Istri dan anakmu. Langkah berikutnya, meski gemetar, kau memaksa dirimu melangkah. Kau benar-benar masuk ke dalam kereta. Hatimu berdebar bukan main. Semua penumpang telah masuk dan pintu akan ditutup. Begitu suara pengumuman yang kau dengar. Kau memperhatikan sekeliling. Tidak ada satu orang pun. Tidak ada kawan, meski hanya untuk sekadar berbicara. Ada sebuah kasur kecil empuk beserta selimutnya yang hanya cukup dipakai untuk satu orang. Bantal dan gulingnya tertata rapi. Sarung bantal, sarung guling dan seprainya berwarna putih polos. Kau meletakkan tasmu yang sedari tadi kau dekap erat. Kau duduk. Kau melihat ke belakang, ada toilet. Di seberangmu ada semacam dispenser beserta gelasnya. Di sampingnya berjajar piring dengan sangat rapi meski tidak ada motif apa pun dari perabotan di dalam ruanganmu di kereta ini. Semuanya berwarna putih polos tanpa hiasan.

Kereta melaju. Pelan-pelan, kemudian semakin lama semakin kencang. Kau setengah tidak percaya. Kau telah berangkat tanpa tujuan. Kau merebahkan diri. Benarkah keputusan yang kau ambil? Kalau pun salah dan menyesalinya, kau tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Tiba-tiba kau mendengar teriakan. Tidak kencang, sayup-sayup, seperti orang berteriak di kejauhan, dan kau mendengarnya secara tidak sengaja. Kau duduk kembali. Suara itu, semakin lama semakin menghilang. Hingga kau tidak mendengarnya lagi. Kau mendengar pengumuman, semua yang telah masuk ke dalam kereta ini diharapkan tenang. Keputusan telah diambil. Mereka yang sudah masuk tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Kau duduk. Memandang ke luar jendela, melihat hamparan pohon-pohon di bawah sana. Kau lihat seorang anak kecil sedang bermain di pinggiran hutan, hendak menerbangkan layangan. Yang seorang memegangi layangan, yang seorang lagi memegangi benang. Yang memegang benang seperti memerintah. Dan yang seorang lagi melemparkan layangan ke atas saat diberi aba-aba. Layangan gagal naik. Layangan jatuh menghantam tanah. Tampak dalam pandanganmu si pemegang benang marah-marah. Kau menduga cara menerbangkan yang memegang layangan salah, hingga layangan gagal naik.

Kemudian pemandangan itu hilang. Ditutupi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Kau rebah kembali. Pantaskah seorang laki-laki lari dari segala sesuatu yang dihadapi? Namun mereka sudah teramat keterlaluan. Kau duduk kembali. Bayangan-bayangan buruk tentang keluargamu menghantuimu kembali. Kau usap wajahmu. Berkali-kali kau gelengkan kepalamu, berharap apa yang anak dan istrimu lakukan mimpi belaka. Kau bertanya pada dirimu sendiri, pantaskah kau pergi? Sama seperti kedua bocah yang kau lihat menerbangkan layangan, kau pun marah pada teman sepermainanmu. Teman yang kau percaya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kau melihatnya sendiri. Sahabatmu meniduri istrimu. Kau tak bisa berkata apa-apa waktu itu. Bibirmu hanya bergetar. Kelu. Kau hanya berbalik dan segera meninggalkan tempat laknat itu. Sahabatmu mengejar. Begitu pun istrimu. Kau tak menghiraukan mereka. Kau segera menyalakan motormu, dan pergi dari sana. Kau tak pernah curiga, dan tidak pernah mengendus hal semacam itu. Kau pergi ke rumah anakmu.

Kau tercengang. Tidak ada anakmu, yang ada adalah seorang perempuan yang perutnya tampak besar, sedang menangis tersedu-sedu di depan pintu kos anakmu. Tangisnya begitu memilukan. Begitu ia tahu kau adalah ayah dari lelaki penghuni kos itu, ia meminta penyelesaian darimu. Kau diam mematung. Terduduk ambruk kemudian. Pandanganmu kosong. Kau bilang tunggu sebentar. Kemudian meninggalkan perempuan itu begitu saja. Tentu saja perempuan dengan perut buncit itu meraung. Bahkan berusaha mencegah kau pergi. Untungnya kau berhasil lolos. Kau pergi dari sana dengan memendam amarah.

Kau kembali ke kantor. Duduk di ruanganmu, kemudian menelepon anakmu. Berengsek! Kau mengumpat. Nomornya tidak aktif dan tidak bisa dihubungi. Kau tidak tahu kepada siapa kau harus bercerita. Selama ini hanya ada tiga orang tempatmu berbagi. Istrimu, sahabat yang meniduri istrimu, dan anak lelakimu. Mereka semua melakukan keberengsekan yang tidak pernah kau duga sebelumnya. Tidak pernah ada pertengkaran antara kau dan istrimu. Antara kau dan sahabatmu. Dan anakmu dengan kelakuan bejatnya, mempermalukanmu dengan cara yang sangat tidak terpuji.

Kemudian kau ingat tentang kereta yang bisa membawamu ke tempat tanpa tujuan. Kau tidak akan dikejar apa pun. Tidak akan dikejar oleh siapa pun. Kau masih menyimpan brosurnya. Brosur yang kau dapat saat pulang kerja. Seorang perempuan berbaju formal menawarkan sebuah perjalanan yang tak biasa di mana kau bisa melupakan dan tak akan pernah berurusan dengan orang-orang yang menyakiti dan mempermalukanmu. Kau tidak menanggapi ucapan perempuan SPG itu. Dan kau baru ingat tentang brosur itu. Kau telah mendengar dari rekan-rekan kerjamu yang suka memperbincangkannya di waktu istirahat. Kau tak pernah ikut nimbrung. Entah kenapa, saat itu, kau benar-benar ingin tahu tentang perjalanan itu.

Matamu terbelalak saat mengetahui harga yang tertera di brosur itu. Namun kau merasa tak perlu meninggalkan apa pun untuk anak dan istrimu. Kau menghitung kekayaanmu, Lebih dari cukup. Bahkan masih ada lebih dari separuh kekayaanmu. Kau selalu berusaha menjadi ayah dan suami yang baik, tetapi mereka yang senantiasa kau perjuangkan siang dan malam, mengkhianati usahamu.

Kau mengusir istrimu, ia tak mau. Ia meronta dan berlutut di depanmu, memegangi bajumu, dan dengan tangis yang mengiba, ia meminta maaf. Kau tak peduli. Kau meminta bantuan kepada orang yang kau bayar untuk menjauhkan istrimu darimu. Kau tak tega untuk mendepak atau menyeretnya. Kau telah mendapatkan penjual untuk semua aset yang kau miliki. Istrimu meraung lebih keras. Kau tulikan telingamu. Kau butakan matamu darinya. Kau tak menganggapnya ada. Maka setelah terjadi kesepakatan dan pembayaran, kau menghilang dari keluarga dan sahabatmu itu. Mereka menelepon berkali-kali. Selain itu mereka menerormu dengan ratusan pesan. Kau tak peduli. Kau terlalu sibuk bernegosiasi dengan agen perjalanan yang memberimu brosur. Kau memutuskan berangkat. Setelah bertemu agen perjalanan itu, kau mengganti nomormu. Kau menghilang, kau menginap di hotel yang sekiranya tak bisa ditemui oleh istri dan anakmu.

Dan sampailah kau sekarang ke dalam kereta ini. Di dalam ruangan ini. Kau pandangi tas yang kau bawa. Untuk apa sesungguhnya separuh kekayaan itu jika tidak bisa digunakan sama sekali. Hari sudah gelap dan sebuah suara pemberitahuan terdengar nyaring. Setiap pukul enam, semua lampu akan dimatikan. Dipersilakan kepada para penumpang untuk tidur atau melakukan apa pun yang bisa dilakukan di dalam ruangan masing-masing. Kau masih menyimpan ponselmu. Kau bingung hendak menghubungi siapa. Nomormu baru. Tak seorang pun yang mengenalmu. Dan kau selalu bermasalah berhubungan dan menjalin pertemanan dengan orang lain. Kau ingat teman-teman kantormu. Meski mereka telah memiliki istri, mereka masih menyimpan hubungan gelap dengan perempuan lain. Kau tahu secara tak sengaja saat salah seorang dari mereka berceloteh di hadapanmu. Tentu maksudnya bukan menceritakan hidupnya pribadi kepadamu, tetapi begitulah, rekan-rekan kerjamu suka berbagi cerita. Dan kau sendiri yang tidak bercerita apa pun. Pernah suatu kali mereka setengah memaksa, dan kau tetap diam. Tetap hening. Seperti bertapa. Sejak itu mereka tidak lagi berani mengusikmu saat kamu bercengkerama bersama mereka. Dan apakah kau harus mencoba dunia baru yang sama sekali belum pernah kau coba? Kau membuka daftar aplikasi. Kau kaget. Banyak sekali aplikasi kencan. Kemudian kau berpikir, apa artinya aku mencoba berkomunikasi dengan orang lain tanpa bisa menemuinya? Bagaimana jika ada perempuan yang benar-benar jatuh cinta kepadamu dan kau tidak bisa menepati janji—jika seandainya perempuan itu memintamu berjanji untuk menemuinya? Kau hela napas. Entahlah. Kau matikan ponselmu. Kau merebahkan diri. Kau berpikir sebaiknya kau lelap saja dalam perjalanan tanpa akhir semacam ini. Kau menoleh ke arah tasmu. Kau bertanya lagi kepada dirimu sendiri. Untuk apa kekayaan yang sebegitu banyak kau bawa jika kau tak bisa menggunakannya?

Ciputat, 26 Juni 2021

Rumadi
Latest posts by Rumadi (see all)

Comments

  1. Muhammad Hudoyo Reply

    Cengang.

    Twistnya ada di tengah menuju ke ending, sebenarnya tema perselingkuhan klise, tapi ini termasuk yang ngena untuk pribadi melow seperti saya. Mas Rumadi mantap!

  2. Zaim Qusyairi Reply

    Bagus sekali. Mirip dengan cerpen Tujuan: Negeri Senja karya Seno Gumira, atau cerpen Argo Senja karya Sungging Raga yang pernah dimuat di KR. Tapi tetap saja ceritanya terasa segar dan menarik. Saya suka bagaimana perasaan tokoh utama disorot sekali, sehingga pembaca ikut merasakan kegundahannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!