Saya tidak banyak tahu tentang beliau. Berkaitan dengan di mana beliau dilahirkan, saya tidak tahu. Berkaitan dengan di mana beliau wafat, saya tidak tahu. Berkaitan dengan di mana beliau tinggal, saya tidak tahu. Berkaitan dengan kapan beliau hidup, saya juga tidak tahu. Serba tidak tahu.
Yang saya tahu dari beliau hanyalah satu hal sebagaimana yang telah dituturkan oleh Syaikh Mulla ‘Abdurrahman al-Jami dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi. Yaitu, beliau menyatakan sebagaimana yang telah dikutip oleh Syaikh al-Husin al-Faqir bahwa Tasawuf itu terdiri dari tiga bagian.
Pertama adalah meninggalkan adanya rasa tamak yang bersemayam di dalam hati. Rasa tamak itu tidak boleh tidak mesti dibabat habis hingga ke akar-akarnya. Keberadaannya di dalam diri kita hanya akan menjadi penghalang antara kita dengan tujuan hidup kita yang paling hakiki yang tidak lain adalah Allah Ta’ala.
Ketika rasa tamak itu telah sanggup mengalahkan kekuatan dimensi rohani kita, sesungguhnya hal itu merupakan bukti konkret bagi diri kita bahwa jalan spiritual di depan kita sebenarnya sedang tertutup. Yakni, tertutup oleh hasrat yang begitu kuat terhadap segala sesuatu yang selain hadiratNya.
Kedua adalah meninggalkan adanya rasa kikir yang mau menggerogoti dimensi rohani kita. Rasa kikir adalah kekuatan paling destruktif yang senantiasa siaga untuk bisa melumat substansi kedirian kita. Sehingga ketika kita telah dicaploknya, maka akan menjadi terhalang untuk bisa bertenggang rasa dengan memberikan sesuatu yang berguna kepada mereka yang papa.
Qur’an menyebutkan bahwa siapa pun yang telah selamat dari cengkeraman kekikiran, berarti dia sebenarnya telah berada di dalam kebun keberuntungan. Dan siapa pun yang tidak selamat dari terkaman kekikiran, berarti dia telah berada di dalam rahang naga kebatilan. Karena itu, kita mesti berikhtiar dengan sepenuh hati agar terbebas dari kekikiran.
Ketiga adalah membebaskan diri dari keinginan untuk senantiasa mengumpulkan harta benda duniawi. Adanya keinginan yang demikian hanya akan menjadikan diri kita semakin terpelanting jauh dari kumpulan para dermawan di satu sisi. Sementara pada sisi yang lain kita akan semakin terlempar dan nestapa di pojok-pojok yang jauh dari Allah Ta’ala.
Keinginan untuk senantiasa mendapuk harta benda duniawi akan terus melesat di dalam diri kita, menjadi bagian terdepan di dalam langkah-langkah kehidupan kita, selama penglihatan batin kita tidak nyalang memandang akhirat yang jauh lebih memukau dibandingkan seluruh keindahan di dunia yang fana ini.
Hasrat yang begitu kuat terhadap harta benda itu tidak lain karena penglihatan seseorang terlalu pragmatis di dalam hidup ini. Sedemikian pendek penglihatannya. Hanya tertuju kepada berbagai hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan fana ini. Sama sekali tidak terdaftar di situ adanya kemauan yang sangat mulia untuk mendapatkan aneka ragam kemuliaan di alam kubur dan di akhirat nanti.
Seandainya manusia memperbaiki pola pandangnya, menjadikan akhirat sebagai tujuannya yang jauh lebih utama dibandingkan dunia ini, tentu saja mereka tidak akan pernah menampung benih-benih penyesalan pada suatu hari di mana sepotong pun penyesalan tidak ada yang berguna. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri - 8 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024