Tulis apa yang mereka pikirkan,
bukan apa yang mereka katakan.
(Sherwood Anderson)
/ 1 /
Barangkali, bagi kebanyakan kritikus muda Indonesia, ketika membaca nama Hamsad Rangkuti saja, mereka sudah merasa gamang dan segera bertanya-tanya dalam hati, Apakah saya cukup layak membicarakan karya-karya cerpenis papan atas Indonesia ini ataukah lebih baik mundur teratur saja? Demikian pula yang saya alami selepas membaca tuntas dan kemudian merasa terdorong untuk memberikan semacam catatan kritis terhadap karya-karya cerpennya yang terhimpun dalam buku terbarunya dengan judul yang sangat puitis ini, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? (DIVA Press, 2016).
Nama besar, itulah persoalan psikologis yang sering muncul sekaligus membentuk semacam mental block di kalangan penulis yang lebih muda manakala ingin membicarakan karya-karya para sastrawan senior selevel Hamsad Rangkuti—apalagi jika oleh publik sastra Indonesia sudah diakui memiliki reputasi internasional. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada cerpenis besar ini, saya merasa mendapatkan justifikasi teoretis dengan bersandar pada doktrin estetika resepsi bahwa ketika sebuah karya telah ditulis dan dipublikasikan, maka ihwal pemberian makna (penerimaan maupun penolakan) terhadap karya tersebut sepenuhnya sudah menjadi urusan publik pembaca.[1]
Namun pada sisi lain, saya juga tidak sepenuhnya tunduk patuh pada doktrin yang cenderung mendewa-dewakan pembaca tersebut. Apalagi sampai mengamini konsep “kematian pengarang”, sebagaimana yang pernah dilontarkan Roland Barthes (1984). Saya sangat menyadari bahwa antara pengarang dan karya-karyanya memang sulit untuk dipisahkan. Bahkan, antara keduanya sering menunjukkan hubungan sebab-akibat, kendati tetap merupakan hubungan yang rumit dan karenanya tak mudah diuraikan secara sederhana.
Dalam pandangan ekspresivisme, sering dikatakan bahwa sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan “anak kehidupan kreatif” seorang pengarang sekaligus mengungkapkan sisi kehidupan pribadi pengarangnya.[2] Jadi, hubungan antara keduanya ibarat anak dengan ibu kandungnya. Akan tetapi, seorang anak tentu tak akan selamanya dapat dijaga secara ketat oleh sang ibu yang telah melahirkannya karena pada saatnya ia pasti akan berpisah dan menemukan kehidupan barunya.
Dalam kondisi semacam itulah, saya coba mengisi ruang kosong tersebut untuk “bermain” dengan anak-anak kehidupan kreatif Hamsad Rangkuti (selanjutnya saya sebut Hamsad saja) yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen terbarunya ini. Dengan kata lain, dalam konteks pembicaraan ini, saya lebih memilih jalan moderat: pada tataran tertentu saya akan bergerak bebas sebagai pembaca kreatif dalam koridor estetika resepsi (pragmatik). Tetapi pada tataran lain, saya juga akan mendengarkan suara pengarang (ekspresif) dengan mengacu pada referensi yang tersedia.[3]Jadi, ini semacam “perselingkuhan kreatif” (creative dishonesty) dalam kajian sastra.[4]
Selaras dengan judul tulisan di atas, ada dua aspek penting terkait dengan pokok masalah yang akan saya bicarakan selanjutnya. Pertama, khasnya dalam konteks kepengarangan Hamsad, menghadirkan biografi pengarang tampaknya bukan merupakan suatu kelatahan sejauh kehadirannya dapat memberikan nilai tambah dalam upaya memahami proses kreatif kepengarangan dan karya-karya yang dihasilkannya.[5] Bahkan, jika kita cermati, kebanyakan cerpen Hamsad—baik yang terhimpun dalam buku terbarunya ini maupun dalam beberapa buku kumpulan cerpennya yang lain—bersifat biografis dan memperlihatkan jejak pertautan yang jelas dengan perjalanan hidupnya.
Kedua, masih erat kaitannya dengan aspek pertama, pikiran-pikiran yang terkandung dalam cerpen-cerpen Hamsad sering juga merepresentasikan pikiran—bahkan bisa meningkat ke level ideologi—sang pengarang sendiri. Oleh karena itu, konsep pikiran di sini sebenarnya juga bersifat biografis.
Akan tetapi, kiranya perlu dikemukakan pula bahwa istilah “pikiran” yang saya maksudkan dalam pembicaraan ini secara teoretis dapat merujuk pada dua dimensi, yaitu pikiran sadar (awareness mind) dan pikiran bawah-sadar (unawareness mind). Pikiran sadar umumnya berafiliasi dengan pikiran rasional (rational mind) yang lebih bersandar pada prinsip-prinsip keilmuan (dalam konteks ilmu sastra, termasuk pengetahuan teknis penulisan) yang berperan sebagai kontrol kepengarangan. Sedangkan pikiran bawah-sadar berkaitan dengan pikiran imajinatif (imaginative mind) yang muncul dalam proses kreatif penulisan karya sastra. Lalu, jika benar bahwa pikiran sadar itu hanya berpengaruh sebesar 12% saja dalam mengendalikan seluruh perilaku manusia, berarti pikiran-pikiran dan atau “berita pikiran” yang terkandung dalam karya-karya sastra jelas lebih didominasi (sebesar 88%) oleh pikiran bawah-sadar para pengarangnya.[6]
Kemungkinan, demikianlah yang terjadi dalam kepengarangan Hamsad. Namun, sejauh mana pengaruh pikiran sadar dan pikiran bawah-sadar itu mengemuka dalam karya-karya cerpennya, inilah yang menjadi persoalan kita selanjutnya.
/ 2 /
Sebelum menelisik karya-karya cerpennya, mari kita lihat dulu bagaimana jejak langkah kepengarangan Hamsad selama ini. Kalau saya tidak keliru, buku bertajuk Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? ini (untuk selanjutnya saya singkat Maukah Kau) merupakan kumpulan cerpennya yang kelima setelah Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Sampah Bulan Desember (2000), dan Bibir dalam Pispot (2003). Buku terbarunya ini menghimpun 16 cerpen yang pernah ditulisnya dalam rentang waktu cukup panjang, lebih-kurang 24 tahun (1979-2003).[7]
Dengan demikian, kendati sebelumnya ia telah menerbitkan empat kumpulan cerpen, dalam lingkup kepengarangannya sendiri agaknya Hamsad tidak bisa dikatakan sebagai pengarang yang produktif. Kenyataan ini juga didukung oleh pengakuan sang pengarang sendiri dalam dua versi esai biografisnya mengenai proses kreatif kepengarangan, sebagaimana dapat kita baca dalam kutipan berikut.
Saya tergolong penulis berbakat alam. Saya tidak mendapatkan pendidikan khusus tentang kepengarangan. Saya hanya mendapatkan teori penulisan dari buku Teknik Mengarang Mochtar Lubis. Oleh sebab itulah barangkali saya menjadi pengarang yang tidak produktif. Tidak sebagai tukang cerita yang setiap saat bisa menghasilkan karya. Saya memerlukan waktu berbulan-bulan untuk bisa menghasilkan karya yang baru setelah saya menghasilkan sebuah karya (…).[8]
Saya adalah pengarang yang tidak produktif. Selama kurun waktu 19 tahun, 1960-1979, saya hanya menghasilkan tujuh cerita pendek. Mencipta bagi saya adalah pekerjaan yang sukar. Saya memerlukan suasana yang benar-benar menunjang (…).[9]
Bertolak dari pernyataan di atas, kita telah mendapatkan informasi, bahwa ketidakproduktifan Hamsad dalam berkarya (baca: menulis cerpen) karena saat itu ia masih tergolong pengarang berbakat alam—dalam arti belum menguasai teknik penulisan. Sebagai upaya pembuktiannya, hal ini dipertegas oleh pengakuan Hamsad selanjutnya bahwa setelah menguasai ilmu penulisan (teknik menulis cerita) melalui workshop penulisan skenario di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) pada 1975, proses kreatif kepengarangannya mulai berubah.
Konon setelah itu, ia merasa sangat lancar menulis. Ia bisa menulis banyak. Bahkan, sekali duduk bisa langsung jadi sehingga dalam satu bulan mampu menulis beberapa cerpen. Ringkasnya, ia sudah dikatakan sebagai penulis produktif.[10] Oleh karena itulah, di penghujung esai versi pertamanya, dengan penuh keyakinan Hamsad menulis:
Sampai saat ini (1983—JTS), saya sangat mengandalkan diri pada teknik. Dengan teknik, saya menjadi bisa produktif. Pengetahuan teknik yang saya dapat adalah semacam juru selamat untuk profesi kepengarangan saya. Kalau saya tidak mendapatkan pengetahuan teknik, mungkin saya akan menjadi pengarang berbakat alam yang mati karya sebelum waktunya (…).[11]
Jika memang demikian, menjadi pertanyaan kita sekarang, benarkah pada tahun-tahun selanjutnya (selepas mengikuti workshop penulisan skenario), Hamsad sudah menjadi penulis yang sungguh-sungguh produktif? Lebih jauh, setingkat apakah produktivitasnya dalam berkarya? Dalam kaitan ini, kiranya perlu disebutkan juga bahwa menurut pengakuannya pula, Hamsad sebenarnya sudah mulai menulis cerpen sejak usia 16 tahun (1959) dengan cerpen pertamanya berjudul “Nyanyian di Rambung Tua” yang berhasil dimuat di koran Indonesia Baru(Medan).[12]
Jika kita kalkulasikan secara sederhana, berarti perjalanan kreatif kepengarangannya hingga sekarang (1959–2016) sudah mencapai 57 tahun—lebih setengah abad, tentu perjalanan kreatif yang terbilang sangat panjang bagi seorang pengarang Indonesia.
Bayangkan, kalau dalam setahun ia berhasil menulis lima cerpen, hingga sekarang paling tidak ia sudah menghasilkan 280-an cerpen dengan tema dan gaya yang bervariasi. Namun, sebagaimana telah diakuinya pula dalam catatan awalnya, sepanjang 19 tahun (1960–1979) ternyata ia hanya berhasil menulis tujuh cerpen.[13] Padahal, rentang waktu tersebut setidaknya sudah menunjukkan jarak tiga tahunan (1976–1979) setelah pelaksanaan workshop penulisan skenario yang pernah diikutinya pada 1975. Dan, hingga kumpulan cerpennya yang pertama dan kedua berhasil diterbitkan dalam tahun yang sama (1982), agaknya belum ada 50 cerpen yang lahir dari tangannya. Bahkan, sampai dengan terbitnya buku kumpulan cerpen terakhirnya yang bertajuk Maukah Kau, tampaknya masih juga belum melampaui 100 cerpen yang telah ditulisnya selama lebih setengah abad tersebut.
Akan tetapi, kendati Hamsad memang tidak dikenal sebagai penulis puisi, drama, maupun genre esai dan kritik sastra, kiranya perlu kita catat bahwa sepanjang masa kepengarangannya setidaknya ia telah berhasil menulis tiga buah novel—Ketika Lampu Berwarna Merah (pemenang sayembara penulisan roman DKJ 1981, tetapi baru terbit 2001), Klamono (1985), dan Kereta Pagi Jam 5 (ovel anak-anak, 1992). Padahal kita tahu, untuk menulis sebuah novel tentu memerlukan dedikasi dan perjuangan yang lebih berat dibanding menulis cerpen.
Berdasarkan uraian di atas, masalah ketidakproduktifan Hamsad dalam berkarya tampaknya bukan semata-mata lantaran ia termasuk pengarang berbakat alam sebagaimana yang telah dikemukakannya, melainkan disebabkan oleh tradisi penulisannya yang tidak bisa dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Pengetahuan ihwal teknik menulis memang dapat menolong seorang pengarang untuk mendongkrak tingkat produktivitas maupun kreativitasnya, tetapi kenyataan membuktikan bahwa jika penguasaan teknis tidak diimbangi dengan kedisiplinan dan konsistensi tentulah semua itu tak akan bermakna apa-apa. Sebab jika kita bandingkan dengan sejumlah pengarang (cerpenis) besar Indonesia lainnya (misal Danarto, Kuntowijoyo, Umar Kayam, Korrie Layun Rampan, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Joni Ariadinata, Agus Noor, dan Gus tf. Sakai), pada kenyataannya mereka pun tidak ada yang sedari awal (sebelum menjadi pengarang) sudah dibekali dengan ilmu penulisan seperti yang secara implisit dikesankan Hamsad dalam kedua esai biografisnya itu.
Lagi pula, dalam konteks kepengarangan di Indonesia, sejauh ini memang tidak ada sebuah lembaga pendidikan formal pun—entah itu bernama sekolah, sekolah tinggi, apalagi universitas—yang secara khusus mencetak para pengarang (penyair, cerpenis, novelis, atau dramawan). Kalaupun ada yang memiliki jurusan atau program studi kesastraan, lulusannya juga tidak digiring untuk menjadi pengarang kreatif, tetapi justru dicetak menjadi ahli-ahli sastra atau pengajar sastra.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua pengarang Indonesia pada masa-masa awalnya juga bertolak dari posisi sebagai pengarang berbakat alam sebagaimana yang dialami Hamsad sendiri. Ilmu (teknik) penulisan pun pada umumnya juga mereka peroleh secara otodidak melalui buku-buku teori penulisan semisal Teknik Mengarang-nya Mochtar Lubis itu.
Hanya segelintir pengarang Indonesia yang beruntung mendapatkan kesempatan mengikuti bengkel penulisan kreatif—apalagi untuk menyebut wadah yang lebih bergengsi semisal International Writing Program, Universitas Iowa (Iowa City, AS). Selebihnya, mereka tetaplah para pengarang berbakat alam yang kemudian memoles diri secara autodidak sehingga pada akhirnya juga akan menguasai teknik penulisan. Oleh karena itu, menjadikan bakat alam sebagai dalih ketidakproduktifan dalam berkarya tampaknya kurang relevan, bahkan cenderung mengada-ada.
Namun, terlepas dari perhitungan-perhitungan statistik, saya pribadi tetap memandang cerpenis kelahiran Titikuning, Medan (7 Mei 1943), ini sebagai seorang pengarang produktif. Sebab, dalam perbandingannya dengan sederet cerpenis kenamaan lainnya, pada kenyataannya tidak banyak cerpenis Indonesia yang mampu menghasilkan lima kumpulan cerpen selama masa kepengarangannya—sekalipun hal ini juga masih nisbi sifatnya. Bahkan, beberapa di antaranya kemudian justru mengalami masa stagnasi setelah dalam waktu yang relatif singkat (di antaranya ada kurang dari sepuluh tahun) berhasil menerbitkan dua atau tiga kumpulan cerpen. Dan Hamsad, bagaimanapun, telah membuktikan dirinya sebagai pengarang bernapas panjang yang telah mengalami metamorfosis dari pengarang berbakat alam hingga menjadi seorang pengarang yang menguasai teknik penulisan—apakah yang disebut terakhir ini bisa dikatakan kelompok “pengarang intelektual”?
/ 3 /
Sebagaimana telah saya kemukakan di atas, kebanyakan cerpen Hamsad bersifat biografis. Dalam arti, cerita-cerita yang disajikannya pada umumnya tidak jauh beranjak dari pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan jika hampir semua cerpen yang pernah ditulisnya—termasuk cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam buku Maukah Kauini—merupakan karya-karya yang bercorak realis. Hal ini bukan saja lantaran gagasan dasarnya yang hampir selalu bertolak dari pengalaman pribadi atau berdasarkan peristiwa keseharian yang terjadi di sekitarnya, melainkan juga karena isi ceritanya pun senantiasa merefleksikan kehidupan dunia nyata(realitas faktual).
Pengalaman dalam konteks ini bisa berarti segala sesuatu yang benar-benar dialami, dirasakan, atau dilakukan secara langsung oleh sang pengarang sendiri, tetapi dapat pula diperoleh melalui pencerapan indrawi semisal penglihatan dan pendengaran. Akan tetapi, di tangan seorang pengarang kreatif, gagasan dasar tersebut sudah tentu tidak akan disajikannya secara mentah atau apa adanya. Setiap gagasan yang muncul—yang kedatangannya sering kali begitu tiba-tiba—biasanya diolah dulu sedemikian rupa dalam proses kreatif yang kadang kala memerlukan waktu relatif panjang. Dalam tahapan yang lazim disebut mind mapping inilah seorang pengarang mulai melibatkan pikirannya. Barangkali, kondisi semacam inilah yang dimaksudkan Hamsad dalam catatannya setelah ia mendapatkan pengetahuan teoretis mengenai teknik penulisan melalui workshop penulisan skenario yang pernah diikutinya selama enam bulan itu:
Pada dasarnya mengarang bagi saya adalah berpikir. Menimbang-nimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun unsur dramatik, dan memasukkan unsur keindahan. Bukan berhanyut-hanyut dengan kata-kata, atau menjadi pedagang kata-kata (…).[14]
Akan tetapi, penting kiranya untuk kita pahami bahwa konsep “berpikir” yang dimaksudkan Hamsad dalam kutipan di atas tampaknya bukan dalam konteks pikiran bawah-sadar, melainkan lebih merujuk pada dimensi pikiran sadar atau pikiran rasional yang berfungsi sebagai kontrol kepengarangan; menimbang-nimbang komposisi, menyeleksi informasi, membangun unsur dramatik, dan memasukkan unsur keindahan—termasuk membangun struktur cerita merupakan bagian dari fungsi kontrol yang saya maksudkan. Dengan melibatkan pikiran sadar semacam itu secara tidak langsung berarti ia telah memosisikan diri sebagai pengarang yang mengandalkan teknik sehingga proses kreatif penulisan karya-karyanya lebih didasarkan pada ilmu dan atau teori-teori penulisan. Alhasil, menurut pengakuannya, ia pun kemudian bisa menulis cerpen berdasarkan apa yang didengar, dilihat, atau dibacanya. Maka, menurut pengakuannya lagi, bertitik tolak dari kondisi demikian lahirlah cerpen-cerpennya semisal “Sebuah Sajak”, “Dia Mulai Memanjat!”, “Pispot”, “Ketupat Gulai Paku”, “Antena”, “Teka-teki Orang Desa”, “Wedang Jahe”, dan beberapa cerpen lainnya.[15]Namun, benarkah cerpen-cerpen Hamsad yang ditulisnya berdasarkan apa yang didengar, dilihat, dan dibacanya itu—yang tidak lain berarti hasil pencerapan indrawi juga—merepresentasikan penerapan teknik penulisan yang telah dikantonginya?
Sejauh pengamatan saya, tampaknya tidak semua cerpen yang ditulis Hamsad setelah ia merasa menjadi pengarang yang menguasai unsur teknik itu benar-benar mengandalkan “kecanggihan” teknik bercerita. Cerpen bertajuk “Lagu di Atas Bus” yang menjadi cerpen pembuka dalam buku Maukah Kau ini, misalnya, sama sekali tidak mencerminkan hal itu. Bahkan, membaca cerpen ini benar-benar menuntut kesabaran kita lantaran alur ceritanya yang sangat lamban dan terkesan diulur-ulur. Dari awal hingga penutupnya, dengan pengulangan-pengulangan kalimatnya yang hampir sama, cerpen ini hanya menceritakan tentang silih-bergantinya pemutaran lagu sesuai dengan pesanan dan selera masing-masing penumpang bus yang terus melaju membelah malam. Setidaknya, ada sebelas kali pergantian lagu yang terpaksa harus diputarkan oleh sang supir; mulai dari penumpang yang meminta lagu jazz, kemudian berturut-turut disusul lagu disko, keroncong, dangdut, pop Indonesia, gending Jawa, kecapi Sunda, saluang Minang, Tapanuli modern, mars perjuangan, hingga ditutup dengan lagu “Indonesia Raya” yang menyulut perseteruan di antara penumpang bersenjata (dengan satu, dua, dan tiga pistol). Memang ada unsur dramatik, tetapi tidak cukup mampu memikat pembaca untuk bertahan menikmatinya. Kalaupun ada aspek tertentu yang menonjol dari cerpen ini, hal itu agaknya hanya terletak pada pilihan tema dan pesan moral yang ingin didedahkan sang pengarang kepada pembacanya. Lalu, jika dikaitkan dengan cerpennya yang lain, kejenuhan serupa tampaknya juga akan dirasakan pembaca ketika mereka membaca cerpen “Nyak Bedah”, “Ketupat Gulai Paku”, dan “Kunang-kunang”.
Namun begitu, terkait kembali dengan soal teknik, harus saya akui bahwa Hamsad memang pengarang yang sangat piawai dalam mengkolaborasikan—juga memanipulasi—antara pikiran rasional dengan pikiran imajinatif, pun antara realitas dengan imajinasi. Bahkan, sebagaimana tampak dalam beberapa cerpennya, ada kesan bahwa ia dengan sengaja mengaburkan batas-batas antara keduanya. Jika kita kurang cermat membacanya, karena tak ada kalimat penjelas maupun penanda tertentu yang membatasi keduanya, bisa jadi kita akan terjebak ke dalam perangkap realitas imajinatif yang ditonjolkannya. Cermati, misalnya, cerpennya dengan judul “Dia Mulai Memanjat!” yang secara teknis memperlihatkan kesamaan dengan gaya bercerita yang pernah diterapkannya dalam cerpen bertajuk “Sukri Membawa Pisau Belati” dan “Senyum Seorang Jenderal pada Tujuh Belas Agustus”.[16]Ketiga cerpen ini sarat dengan manipulasi estetis yang tanpa disadari dapat menggiring pembaca masuk ke dalam pemahaman keliru karena semua “tindakan” sang tokoh sebenarnya hanya terjadi dalam pikiran imajiner mereka. Oleh karena itu, cerpen “Dia Mulai Memanjat!” ini dapat dikatakan sebagai “cerpen gagasan” (idea short story). Maka, dalam konteks inilah kiranya kata-kata Sherwood Anderson seperti yang telah saya kutipkan di awal tulisan ini menjadi jelas kedudukannya: Tulis apa yang mereka pikirkan, bukan apa yang mereka katakan.[17]Pernyataan Anderson tersebut tampaknya telah menjadi doktrin tersendiri dalam estetika kepengarangan Hamsad, terutama menyangkut teknik berceritanya.
Selanjutnya, berbeda dengan “Dia Mulai Memanjat!” yang melulu menyajikan gagasan (tetapi nyaris sonder pesan moral), cerpen bertajuk “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” yang sekaligus dijadikan judul buku kumpulan cerpen terbarunya ini agaknya merupakan puncak estetis penerapan teknik berceritanya yang menonjolkan unsur dramatik. Di samping nilai-lebih kepuitisan judulnya, cerpen yang sesungguhnya hanya mengangkat tema dan persoalan hidup yang sangat biasa ini tampak menjadi luar biasa di tangan Hamsad karena kemampuannya dalam memanipulasi teknik penyajian cerita. Namun, dibandingkan dengan ketika kita membaca cerpen “Dia Mulai Memanjat!”, pada cerpen ini kita justru merasa lebih mudah menangkap jarak-batas antara realitas dengan imajinasi karena di dalam salah satu bagian dialognya (sekaligus narasinya) sang pengarang telah memberikan kata kunci pembacaan berupa rangkaian kalimat (paragraf) penjelas sebagai berikut.
“Saya Chechen, Pak,” kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”[18]
Sungguhpun realitas dalam cerpen tersebut tetaplah dalam konteks realitas imajinatif, tetapi secara garis besar—berdasarkan struktur (alur) ceritanya—unsur fiksionalitasnya dapat dipilah menjadi dua bagian. Cerpen ini merupakan cerita berbingkai, ada cerita di dalam cerita (juga: fiksi dalam fiksi). Pada paro pertama kita berhadapan dengan realitas teks “cerpen lisan” yang dibawakan oleh tokoh cerpenis (sekaligus bertindak sebagai narator) dalam suatu pementasan, lalu pada paro kedua (mulai dari teks yang dikutipkan di atas hingga paragraf penutupnya) kita sudah berhadapan dengan realitas teks cerpen yang sesungguhnya: kisah romantis sang tokoh cerpenis (narator) sendiri yang menjalin hubungan percintaan dengan tokoh perempuan muda bernama Chechen (seorang mahasiswi semester tujuh fakultas sastra yang sekaligus pengagum karya-karya cerpennya). Jadi, jika kita lihat dari sudut pandang narator, teks pada paro pertama merupakan realitas-fiksional yang diciptakan tokoh aku (cerpenis) berdasarkan daya imajinasinya, sedangkan teks pada paro kedua adalah realitas-fiksional mengenai dirinya sendiri.
Kendati cerpen ini juga terkesan sarat dengan pikiran imajiner sang tokoh, tetapi realitas-fiksional yang disajikannya sangat berbeda dengan realitas-fiksional dalam cerpen “Dia Mulai Memanjat!”. Bagaimanapun liarnya imajinasi pengarang, cerpen “Maukah Kau” tetap memperlihatkan jejak pertautan biografisnya dengan kehidupan pribadi sang pengarang (sebagai tokoh cerpenis). Sebab, berdasarkan beberapa penanda tekstualnya, tokoh cerpenis yang dimaksudkan dalam cerpen ini secara indeksikal jelas merujuk pada sosok penulis cerpen yang sesungguhnya (baca: Hamsad Rangkuti). Akan tetapi, sekalipun proses kelahiran cerpen ini konon diilhami oleh pertemuan sang penulis dengan seorang gadis saat ia mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayutanam, Sumatera Barat (1997), sebagai pembaca kritis kita pun perlu berhati-hati untuk tidak menelannya secara mentah. Sebab, bagaimanapun, realitas dalam sebuah karya sastra tetaplah harus diperlakukan sebagai realitas imajinatif, bukan realitas faktual. Kebenaran dalam sebuah cerpen tetaplah bermakna kebenaran fiksional.
Kecuali dalam cerpen bertajuk “Maukah Kau” tersebut, sifat biografis dan gaya realis itu juga dapat kita lacak dalam sejumlah cerpen Hamsad lainnya yang terhimpun di buku ini. Bahkan, kalau kita baca secara intertekstual, beberapa di antaranya dapat mengacu langsung pada riwayat hidup sang pengarang sebagaimana yang terungkap eksplisit dalam dua versi esai biografisnya yang telah disebutkan di atas. Kenyataan ini terutama sangat kentara dalam cerpen bertajuk “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!”. Dalam cerpen ini kita temukan beberapa bagian teks (berupa dialog maupun narasi) yang secara intertekstual tentu akan segera mengingatkan kita pada masa kecil Hamsad ketika ia masih tinggal di kampung halaman (sebuah kota kecil bernama Kisaran) bersama ayahnya sebagaimana yang diceritakan dalam dua versi esai biografisnya. Bagian teks tersebut antara lain muncul dalam bentuk dialog panjang antara tokoh aku dengan sang ayah ketika si tokoh aku terbaring di rumah sakit, baik pada saat ia dalam kondisi tak sadarkan diri (antara hidup dan mati) maupun selepas masa sakaratul maut tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut saya kutipkan sebagian dari teks-teks tersebut.
“(…) Kita memiliki banyak kedekatan Anakku. Sejak kecil kau dekat denganku. Menemaniku di malam-malam dingin. Kita suka malam hari. Malam hari adalah milik orang-orang yang terjaga. Terkadang kita seperti berhadapan dengan diri sendiri. Ayah adalah si penjaga malam itu. Penjaga malam di pajak, pusat perbelanjaan yang kumuh dan becek. Setiap malam aku memikul air untuk diisi ke bak penampungan milik para pedagang makanan dan minuman di los itu, kau yang menyuluh gang-gang gelap dengan senter. Jendela, pengalih perhatian. Setiap malam kau dikuasai mimpi-mimpi. Ayah tahu semua itu. Mimpi membuat kehidupan berlanjut. Ayah membiarkanmu seperti itu. Duduk di dalam gelap. Merenungi jendela rumah penambal ban sepeda itu. Kau menunggu anak gadis penambal ban sepeda itu membuka daun jendela. Ayah senyum setiap malam melihatmu seperti itu. Memandang dari balik kawat jala daun jendela, membiarkan rambutnya terjurai dalam cahaya bulan purnama (…).”[19]
Aku kempeskan ban sepeda dan pergi ke bengkel sepeda itu memompanya. Aku lakukan berlama-lama sampai anak gadis itu keluar untuk keperluan yang dia cari-cari, kadang dia membuang sampah dapur. Aku melirik kepadanya, dia melirik kepadaku dan melempar senyum. Jendela, pengalih perhatian.[20]
Kalau kita baca secara komparatif, redaksi kalimat teks cerpen “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!” (kutipan pertama) di atas jelas menunjukkan kemiripan dengan esai versi terbaru Hamsad dengan judul “Imajinasi Liar dan Kebohongan” yang dimuat dalam buku kumpulan cerpennya Maukah Kau ini (kutipan kedua). Barangkali, ketika menulis ulang esai lamanya seputar proses kreatif kepengarangannya itu telah muncul kesadaran baru untuk menyelaraskan dengan beberapa cerpen dalam buku terbarunya ini sehingga ia merasa perlu melakukan revisi kecil dan mengembangkannya lagi. Sekadar contoh, dalam teks esai lamanya dengan tajuk “Dari Bakat Alam ke Teknik” tidak sekali pun disebut-sebut nama anak gadis penambal ban sepeda itu, tetapi dalam esai versi terbarunya telah disebutkan secara eksplisit: Arida adalah gadis idaman kami.[21]Penyebutan nama gadis itu jelas karena adanya kesadaran baru untuk menyelaraskan dengan isi cerpen “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!” tersebut. Nyatanya, dalam salah satu dialog cerpen ini dikatakan, “Itu bukan mimpi. Aku datang kepada mereka. Aku bertemu Arida di tempat yang itu-itu juga. Di kamar itu. Di jendela itu.”[22]Bahkan, salah satu bagian dialog dalam cerpen ini jelas menunjukkan kemiripan tekstual dengan bagian narasi yang terdapat dalam cerpen bertajuk “Ketupat Gulai Paku”. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati lagi kutipan teks kedua cerpen tersebut di bawah ini.
“(…) Ibu menjual jeruk di emper gedung bioskop hingga larut malam. Saya yang memikul salak dalam karung sebelum dituang ke atas tikar yang kita bentangkan di emper bioskop. Ibu duduk di atas tikar di bawah lampu neon gedung bioskop, menunggu para pembeli yang pulang larut malam. Itulah penyebab penyakit Ibu. Angin malam yang dingin. Angin malam yang lembab. Dan, itu pulalah penyebab Ibu menjadi lebih cepat meninggalkan kami. Coba kalau Ibu hidup di zaman di mana banyak dokter ahli dan anak-anakmu sudah pada mampu yang tak Ibu dapatkan ketika Ibu mati muda.”[23]
Melihat pedagang ketupat sayur itu aku teringat kepada mendiang ibuku. Begitu susahnya hidup yang ditanggung beliau selama diperistri oleh almarhum ayahku. Beliau menggelar goni di depan gedung bioskop, menata jeruk dan salak, diterangi terang lampu yang menempel di langit-langit gedung menunggu kalau-kalau ada di antara penonton bioskop membeli dagangannya sehingga kami bisa membeli beras dari keuntungan yang diperolehnya.[24]
Kutipan teks pertama (atas) adalah bagian dialog antara tokoh aku dengan ibunya dalam cerpen “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!”, sedangkan kutipan teks yang kedua (bawah) merupakan bagian dari narasi cerpen “Ketupat Gulai Paku”. Keduanya tampak paralel, mengandung gagasan yang sama. Meskipun dalam kedua versi esainya Hamsad tidak menceritakan tentang sosok ibunya, tetapi saya curiga bahwa pengulangan gagasan yang sama dalam kedua teks cerpen tersebut juga bersifat biografis (baca: mengacu pada pengalaman hidup di masa kecilnya).Sebab, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, pikiran bawah-sadar seseorang (yang terbentuk dari perilaku keseharian dan kebiasaan-kebiasaannya sejak masa kecil) sangat dominan mempengaruhi(ingat, sebesar 88%)—bahkan cenderung mengendalikan—perilaku hidupnya di kemudian hari, termasuk tutur katanya (lisan maupun tulisan). Oleh karena itu, tidak mustahil pula bahwa kesamaan gagasan dalam kedua cerpen Hamsad tersebut merupakan representasi pikiran bawah-sadarnya yang menyembul ke permukaan.
Selanjutnya, jika konteksnya ingin diperluas lagi, kehadiran unsur-unsur biografis semacam itu secara implisit juga dapat kita temukan dalam beberapa cerpen Hamsad lainnya—antara lain dalam “Pispot”, “Petani Itu Sahabat Saya”, “Wedang Jahe”, “Kunang-kunang”, “1000? 500! 1000!”, “Sebuah Sajak”, dan “Antena”. Namun, sekali lagi perlu saya tekankan, dalam hal ini hendaknya kita cukup berhati-hati agar tidak terjebak dalam pemahamanyang dangkal—apalagi jika jejak biografis itu hanya muncul dalam wujud yang masih samar-samar. Sebab, sebagaimana pernah diingatkan Wellek & Warren, “Seandainya pun unsur biografi ada pada karya sastra, unsur-unsur ini sudah diatur kembali, sudah mengalami penyulapan (makna pribadinya hilang), dan yang tinggal adalah sebuah karya yang berdiri sendiri—tersusun atas bahan-bahan pembentuknya.”[25]
/ 4 /
Terlepas dari soal jejak biografisnya, selanjutnya mari kita selisik kembali cerpen-cerpen Hamsad dalam buku Maukah Kau ini terkait dengan aspek pikiran, tetapi lebih spesifiknya mengacu pada konsep “berita pikiran” (mind report). Untuk pengertian yang sama, istilah lain yang lazim digunakan dalam ilmu sastra adalah “amanat” atau “moral” (lengkapnya, “pesan moral”).Jadi, dalam konteks ini, persoalannya adalah: pesan moral apa saja yang ingin didedahkan pengarang melalui cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam buku bertajuk Maukah Kau ini?
Dalam kaitan ini, kiranya penting untuk kita ingat kembali bahwa gagasan dasar cerpen-cerpen Hamsad pada umumnya bertitik tolak dari realitas keseharian di sekitarnya. Dan, jika kita memakai istilah “lokalitas” (sebagai bentuk perluasan dari konsep local color), maka lokalitas cerpen-cerpen Hamsad kebanyakan bermain di seputar kehidupan orang-orang kecil dengan segala kesahajaan, keterbatasan, dan problematiknya. Lokalitas semacam itu sangat lekat mewarnai seluruh cerpennya di buku ini, bahkan juga dalam hampir semua cerpen yang pernah ditulisnya.
Cerpen bertajuk “Lagu di Atas Bus” yang secara struktural sebenarnya mengesankan karya yang relatif lemah, tetapi ditilik dari faset tematis dan berita pikiran yang ditawarkannya cerpen ini sangat kuat menyuarakan semangat nasionalisme—perbedaan dalam kesatuan, sebagaimana dimaksud dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Atau, pada tataran tertentu, dapat dikatakan bahwa cerpen ini merupakan sebuah satire politik, terutama dalam praktik berdemokrasi. Pertengkaran kecil antara beberapa penumpang bus yang disulut oleh ego pribadi dalam wujud pilihan lagu kesukaan mereka, bahkan bisa menjurus pada primordialisme kedaerahan masing-masing, pada akhirnya dimenangkan oleh semangat kebangsaan yang di bagian akhir cerita digambarkan pengarang dengan “persetujuan” mereka tetap memutar lagu “Indonesia Raya”. Namun, dalam cerpen ini juga ada sentilan halus terkait dengan sikap orang-orang berseragam hijau dan bersenjata yang cenderung represif. Ringkas kata, spirit nasionalisme itu mesti ditegakkan dengan cara otoriter yang khas mencerminkan kondisi sosial-politik masa Orde Baru (catatan: cerpen ini pernah dipublikasikan di Horison, 1981).
Senada dengan cerpen di atas, cerpen bertajuk “Wedang Jahe” (pernah dimuat di Kompas, 20 Desember 1981) pada dasarnya juga merupakan satire politik yang menggambarkan sikap kewaspadaan berlebihan dalam menjaga “stabilitas nasional” di sebuah kampung—sekali lagi, situasi sosial-politik seperti ini juga khas mencerminkan model kekuasaan pada masa Orde Baru. Namun, cerita dalam cerpen ini dibumbui penulis dengan kehadiran wedang jahe yang konon dapat membuat orang hilang kesadaran. Akibatnya, mungkin lantaran telah menenggak wedang jahe secara berlebihan, Budiman yang malam itu bertugas sebagai komandan penjaga keamanan tidak bisa mengenali tokoh aku (Hamsad) dan Bijaksono karena kedua sahabatnya ini datang ke Kampung Dukuh tidak tepat waktu dan juga lupa kata sandi. Bahkan, setelah Hamsad diminumi wedang jahe pula, ia pun tidak mengenali Bijaksono. Padahal, kedua sahabat ini baru sehari tidak bertemu. Dalam cerpen ini, tampak bahwa sang cerpenis yang memang dikenal kocak ini tidak pernah kehilangan gaya humornya. Akan tetapi, jika kita kaitkan dengan model politik Orde Baru, kehadiran wedang jahe sebagai alat “cuci otak” dalam cerpen ini sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai pola indoktrinasi kekuasaan.
Selanjutnya, kendati juga mengambil latar cerita di atas bus, cerpen berjudul “1000? 500! 1000!” mengandung pesan yang berbeda dengan “Lagu di Atas Bus”. Dalam konteks berita pikiran, cerpen ini berbicara tentang pergulatan antara kejujuran dan keculasan. Perselisihan antara penumpang dengan kondektur bus pada hakikatnya sama-sama menyuarakan problematika kehidupan rakyat kecil. Sehingga, masalah kecil yang dipicu oleh nominal lima puluh hingga lima ratus rupiah saja bisa menjadi persoalan besar di kalangan mereka. Lalu, meski dengan problem yang berbeda, pertarungan moral antara kejujuran dan keculasan juga tergambar dalam cerpen bertajuk “Pispot”. Di sini, penulis seakan ingin mewartakan bahwa konsep dan praktik keadilan yang dibuat oleh manusia masih jauh panggang dari api. Dan, meski harus menafikan kebenaran, melalui cerpen ini sang penulis agaknya lebih memilih sisi kemanusiaan. Akan tetapi, kontras dengan moralitas “Pispot”, dalam cerpen “Nyak Bedah” pengarang kita ini justru telah mengebiri kemanusiaan itu dengan membiarkan tokoh aku secara leluasa “memodernisasi” orang tua dan kolot macam Nyak Bedah (seorang penjual nasi uduk) dengan wolkman kebanggaannya. Jadi, pada cerpen ini, nilai-nilai humanisme seakan sudah tergerus oleh kuatnya cengkeraman modernisme dan individualisme.
Barangkali, cerpen “Nyak Bedah” adalah sebuah anomali dalam tradisi penulisan cerpen-cerpen Hamsad. Sebab, keberpihakan penulis kepada rakyat kecil pada kenyataannya hampir selalu mengemuka dalam sederet cerpennya yang lain. Cerpen bertajuk “Petani Itu Sahabat Saya”, misalnya, merupakan salah satu karyanya yang sarat dengan pesan moral yang adiluhung—sebuah ironi kehidupan. Singgih (si petani kecil itu), melalui surat yang dikirimkannya, rela berbohong untuk menyembunyikan kemiskinan yang harus dihadapinya bersama keluarga di pemukiman baru mereka di daerah transmigrasi Tulangbawang (Lampung) hanya demi menyenangkan hati Munawir (sahabat lamanya yang tinggal di Jakarta).Namun, kebohongan Singgih akhirnya terungkap dengan sendirinya setelah Munawir datang langsung ke rumah sahabatnya itu saat mengikuti rombongan dari Jakarta untuk misi pembuatan film. Lalu, dalam cerpen “Hukuman untuk Tom”, gambaran tentang ironi kehidupan itu kembali mengemuka dengan eksplisit. Begitulah, dengan faset tematis dan penekanan yang berbeda, pesan-pesan kemanusiaan itu dapat kita tangkap pula antara lain dalam cerpen-cerpen bertajuk “Palasik”, “Antena”, “Sebuah Sajak”, “Kunang-kunang”, “Teka-teki Orang Desa”, dan “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan”. Namun, secara umum, faset tematis cerpen-cerpen tersebut masih berkisar pada persoalan kilas-balik pertentangan antara nilai-nilai tradisional di satu pihak dengan modernisme di pihak lain.
Akan tetapi, sejauh pembacaan saya, setidaknya ada tiga cerpen Hamsad yang tampaknya kurang bernilai—khasnya dalam perspektif moral—jika dibandingkan dengan sejumlah cerpennya yang lain. Ketiga cerpen tersebut adalah “Dia Mulai Memanjat!”, “Ketupat Gulai Paku”, dan “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”. Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, cerpen bertajuk “Dia Mulai Memanjat!” hanya berisi pikiran imajiner sang tokoh yang terobsesi ingin memenggal leher patung atlet yang tegak berdiri di tengah Bundaran Senayan (Jakarta). Melalui cerpen ini, sang penulis seakan hanya ingin menyodorkan sebuah alternatif teknik penulisan cerpen, tetapi ia cenderung mengabaikan pentingnya aspek moral cerita atau berita pikiran yang mesti ditawarkannya kepada pembaca.
Hal serupa juga terjadi pada cerpen berjudul “Ketupat Gulai Paku”. Dalam cerpen ini, pengarang tampaknya terlampau larut dalam keasyikannya bercerita sehingga kurang memberikan sentuhan moral bagi pembacanya—bahkan, cerpen “Kunang-kunang” pun sebenarnya juga memberikan kesan semacam itu. Sementara, dalam cerpen bertajuk “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”sang penulis agaknya lebih menonjolkan aspek dramatik dan kekuatan teknik bercerita ketimbang isi ceritanya. Sebagaimana juga telah saya singgung sebelumnya, dalam cerpen ini pun sang penulis tampaknya sekadar bercerita tentang petualangan romantis seorang tokoh cerpenis yang menjalin hubungan asmara sesaat dengan seorang gadis (mahasiswi fakultas sastra) yang kebetulan menjadi pengagum karya-karyanya. Nyaris tak ada berita pikiran atau nilai moral yang dapat kita petik dari cerpen yang sesungguhnya sangat indah ini. Sekalipun cerpen ini boleh dikata merupakan primadona di antara 16 cerpen Hamsad yang disajikan dalam buku ini, tetapi secara keseluruhan cerpen ini kurang menawarkan makna kehidupan—termasuk nilai-nilai kemanusiaan.
Padahal, kalau kita bersandar pada tesis Horace, sebuah karya sastra yang baik seyogianya mengandung dua unsur sekaligus: dulce et utile—indah (menyenangkan) dan berguna (mengajarkan sesuatu). Jadi, di samping memenuhi nilai estetis, sebuah karya sastra yang baik juga dituntut untuk mengajak pembaca menjunjung tinggi norma-norma moral. Akan tetapi, bisa jadi penilaian di atas akan keliru mengingat bahwa karya sastra bukanlah media pengungkapan langsung. Pada kenyataannya, selaras dengan pandangan Budi Darma, karya sastra yang baik justru mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak terjadi.[26]Oleh karena itu, cerpen “Kunang-kunang” yang pada tataran struktur permukaannya terkesan sekadar bercerita saja, jika kita cermati lebih mendalam akan tampak bahwa sang penulis sesungguhnya ingin menyindir orang-orang yang tenggelam dalam romantisme masa lalu dan tidak siap menghadapi realitas kekiniannya. Maka, dengan parameter yang sama, boleh jadi pula bahwa cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” tersebut sebenarnya merupakan sindiran halus bagi orang-orang tua (pria maupun wanita) yang lupa “menghitung hari” dan bermusahabah. Jadi, secara satiris, pesan moral cerpen ini senada dengan ungkapan lama: tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi.
/ 5 /
Sebagai cerpenis kawakan yang sudah lama malang-melintang dalam jagat kepengarangan di tanah air, Hamsad tampaknya begitu mudah dalam melahirkan sebuah cerpen. Dengan beragam cara dan aneka latar belakang proses kreatifnya, ia bisa menulis cerpen berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, didengarnya, dibacanya, atau bahkan bertolak dari titik nol melalui perenungannya. Kini, dalam usianya yang sudah senja, ia masih mampu melahirkan cerpen-cerpen bernas dan fenomenal. Dalam hal ini, kita memang harus mengangkat dua jempol untuknya.
Namun, sebelum mengakhiri perbincangan ini, ada satu pokok masalah lagi yang penting untuk saya kemukakan. Dalam esai biografis versi awalnya, Hamsad menulis, “Pada dasarnya mengarang bagi saya adalah berpikir. (…) Bukan berhanyut-hanyut dengan kata-kata, atau menjadi pedagang kata-kata. Apakah saya berhasil? Saya berusaha.”[27] Agaknya, pernyataan tersebut berimplikasi pada penulisan cerpen-cerpennya. Pokok masalahnya terletak pada bahasa dan tata penulisannya. Maka, mencermati cerpen-cerpen Hamsad dari aspek kebahasaannya, ada kesan bahwa pemakaian kata-katanya kurang variatif dan kadang kala cenderung mubazir. Sekadar contoh kecil, kata penunjuk “itu” sering digunakannya beberapa kali dalam satu kalimat tetapi dengan acuan makna yang berbeda. Pemakaian semacam itu, di samping kurang variatif, tentu dapat memunculkan kesalahpahaman di kalangan pembaca. Oleh karena itu, sebagai pembaca, kita mesti secara cermat memahami acuan yang dimaksudkannya.
Kemudian, hal lain yang juga menuntut sikap kehati-hatian pembaca dalam memahami teks cerpen-cerpen Hamsad terutama menyangkut teknik pengalurannya. Sebab, dalam tradisi penulisan Hamsad, alur cerpen-cerpennya cenderung selalu sambung-sinambung. Alur ceritanya seakan tanpa jeda, tanpa ada kode atau tanda pembatas tertentu sebagaimana yang lazim digunakan oleh cerpenis lainnya—misalnya dengan memberi tanda “bintang tiga” (* * *), penomoran (1, 2, 3 …), atau berupa kata-kata sebagai subjudul cerita. Dari 16 cerpennya yang terhimpun di buku ini tidak satu cerpen pun yang diberi kode atau tanda pemisah semacam itu, sebagai fasilitas pembacaan. Dengan begitu, proses pembacaan kita mungkin akan terhambat karenanya. Namun, dari kacamata sang penulis sendiri, boleh jadi hal itu justru merupakan suatu kesengajaan untuk menunjukkan kekhasan karya-karyanya atau mungkin pula dimaksudkan untuk mengecoh pembaca. Sebab, sebagai cerpenis senior, tentu sangat mustahil seorang Hamsad tidak memahami persoalan teknis yang remeh-temeh ini.
Demikianlah, bagaimanapun adanya, seluruh cerpen Hamsad yang tersaji dalam buku bertajuk Maukah Kau ini sudah sepantasnya kita berikan apresiasi dan tempat yang sewajarnya. Dan, tak terkecuali cerpen-cerpennya dalam buku ini, harus kita akui pula bahwa hingga sekarang karya-karyanya telah memberikan warna tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia modern dan penulisan cerpen pada khususnya. Ia tempat kita belajar, juga tempat kita becermin diri. []
Pelaihari, 24 Juli 2016
[1] Konsep estetika resepsi ini selaras dengan teori pragmatik (pragmatic theories) yang dikemukakan M.H. Abrams dalam bukunya, The Mirror and the Lamp (London: Oxford University, 1976), hlm. 14-21.
[2] Lihat misalnya Raman Selden, A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (The Harvester Press, 1985), hlm. 52. Bandingkan dengan uraian Abrams perihal “Expressive Theories”, ibid., hlm. 21-26.
[3] Setidaknya, ada dua buah esai biografis Hamsad Rangkuti yang dapat dijadikan referensi untuk pembicaraan ini. Pertama, esai bertajuk “Dari Bakat Alam ke Teknik” yang dimuat dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Proses Kreatif: Apa dan Mengapa Saya Mengarang II (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 166-181. Kedua, sebagai versi terbaru yang telah direvisi, esai bertajuk “Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen)” yang dimuat dalam Hamsad Rangkuti, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hlm. 7-29. Selebihnya, sebagai data pelengkap, saya juga akan memanfaatkan biografi singkat penulis yang tertera dalam kedua buku tersebut maupun dari sumber lainnya.
[4] Untuk penjelasan lebih rinci mengenai konsep “perselingkuhan kreatif” silakan baca uraian saya dalam buku Pengkajian Drama (Yogyakarta: AKAR Indonesia, 2016), hlm. 135-137; lihat juga buku saya yang lain, Pendekatan Kajian Sastra (Banjarbaru: Scripta Cendekia, 2016), hlm. 201-203.
[5] Bandingkan dengan Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 82.
[6] Bandingkan dengan penjelasan Adi W. Gunawan, Manage Your Mind for Success (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 38.
[7] Angka tahun 1979 (yang diasumsikan sebagai tahun paling awal penulisan cerpen dalam buku ini) didasarkan pada data publikasi cerpen bertajuk “Sebuah Sajak” (Kompas, 29 Juli 1979), sedangkan angka tahun 2003 (yang diasumsikan sebagai tahun penulisan cerpen paling akhir di buku ini) didasarkan pada data publikasi cerpen bertajuk “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!” (Kompas, 10 Maret 2003). Lihat Rangkuti, op. cit., hlm. 234.
[8] Eneste (Ed.), op. cit., hlm. 171.
[9] Rangkuti, op. cit., hlm. 16.
[10] Eneste (Ed.), op. cit., hlm. 174.
[11]Ibid, hlm. 180.
[12]Ibid, hlm. 168. Dalam esai versi terbaru disebutkan bahwa judul cerpen tersebut adalah “Sebuah Nyanyian di Rambung Tua”. Lihat kembali Rangkuti, op. cit., hlm. 10.
[13]Ibid, hlm. 172.
[14]Ibid., hlm. 177.
[15] Lihat kembali Rangkuti, op. cit., hlm. 20-29.
[16]Eneste (Ed.), loc. cit. Kedua cerpen yang disebut terakhir tidak terdapat dalam buku Maukah Kau ini, tetapi dalam kumpulan cerpennya yang lain. Cerpen “Sukri Membawa Pisau Belati” dimuat dalam Lukisan Perkawinan (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 73-84.
[17] Rangkuti, op. cit., hlm. 23.Dalam esai versi pertama, kutipan kata-kata Sherwood Anderson tersebut berbunyi, “Yang penting dipelajari adalah mengetahui apa yang dipikirkan orang, bukan apa yang mereka katakan.” Lihat Eneste (Ed.), ibid., hlm. 175.
[18]Ibid., hlm. 195.
[19]Ibid., hlm. 216.
[20]Ibid., hlm. 218-219.
[21]Ibid., hlm. 8.
[22]Ibid., hlm. 222.
[23]Ibid., hlm. 215.
[24]Ibid., hlm. 116.
[25] Lihat kembali Wellek & Warren, op. cit., hlm. 86.
[26]Lihat Budi Darma, Harmonium (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 105.
[27]Eneste (Ed.), op. cit.,hlm. 177.