Sebuah Angan; Puisi-Puisi Terbaik Pusvidefi (Pekanbaru)

ilustrasi untuk puisi sebuah angan karya pusvidefi
Sumber gambar pinimg.com
Gagalnya Mantera Inyiak Talago Batuah

pengobatan palasik

//
Setelah daun sitawau, kumpai, cekerau,
daun sidingin diikat dengan balutan kain putih
kemudian dipotong-potong dan dimasukkan kedalam baskom kecil
kasih air diremas-remas
sesambil Inyiak Talago Batuah merapal mantera:

//
Sibiasau namo mamak engkau
Ughibali katuban dagha
Meambulah engkau sebaliak bukik iko
Engkau yang mangosok kain kociak amak engkau

Mangkubuo aku manulak antu palosik
Dalam batang tubuh anak sidang manusio
Gughu mangkobuo dek aku pun tajam
Tajam barokat lailaahaillallahu…

//
Setelah syekh berjenggut membuih shalawat panjang
mata Si kanak mendelik:kejang
badan nya panas garang
Penghuni jalang dalam badan tak mau lenyap,
ingin kekal, bersarang dibenak,” tukasnya meradang.

//
Alamat sembuh melayang
seperti asap dupa.
Memercik serupa air kembang sekian rupa.
Menangis sejadi-jadinya sanak saudara mendendang duka

Pekanbaru, 2015


Mantera Inyiak Balang

Kepada Rajo Lelo, (Pewaris Terakhir Tuah Penakhluk Harimau)

Malam mengekal, kelam
angin menjalar nakal,
darah berdesir, hati terkesiap; gigil

Selidik Inyiak Balang kerap mengaum
menjejak, cecap di pintu kampung
melabrak kandang,
menyeret ternak,
dan membuas bangkai di tengah pemukiman
hilir kocar-kacir warga di kaki Karang Putiah bergidik terkepung
; murung

Lantas sebentuk gabak hitam di kerampang
kemenyan diasapkan
tetabuh gendang pamikek harimau pun didendangkan

“Kok tidak landang jo landi,
dimano kiambang diam.
Kok indak utang dibayia,
dimano dagang ka diam.”

Dalam hitungan semalam
penguasa rimba Sumatera itupun takluk
menggelepar lulut
terkucil rimba hembus

Pekanbaru, 2015


Keranjang Dedoa untuk Bapak

Tidak seperti hari lalu
di sini
di ruang tamu
di amben, tempat dimana Bapak berselonjor ria melepas penat sehabis pulang beladang
ataupun barangkali, mengumbe sembari berhikayat para leluhur akhir zaman

Kata ibu, “Bapak adalah biji, yang menelurkan benih, yang merangsang perkakas buah kecintaan,
pun tanpa bapak kami akan mati,
mati dalam kesurian.”

Dan beberapa tahun setelah itu,
tunaku tak meraba kericik air padasan tumpah dari tubuhnya di sepertiga malam,
ataupun aroma kopi tubruk menyumbat hidung,
barangkali mencumbu shalawat keringat lelah nya,
yang bertengker di halaman rumah

dan aku pun bertanya, “kemana bapak buk?
Ibu menjawab, “bapakmu pulang ke rumah Tuhan, memanen kopi dari keranda keranjang Dedoa.”

 

Pekanbaru, 2015


Segelas Biji Kopi

Kepada Lelaki yang menelurkan biji Rahim dikandung IBU

Di angin yang mendayu
daun-daun menderai,
melambai pada dekap langit temaram.
Pekat bau kopi meluncur dari napas lelaki paruh baya,
paraunya saling berdengkur di batang usia yang menua

Di atasnya,
ada bulan tua merenta―
mengerut sebiji pala

Seperti garis dahinya yang berkerut, ditumbuhi sejumput kalut
dalam khayal yang berkabut

Kemudian Lelaki itu berdehem
memerang hitung rumus kenangan
yang berpendar melampau

Dulu sekali,
sebelum perempuan itu pamit ke Rumah Ilahi,
wanita itulah yang gemar memilin biji kopi
merebusnya ke dalam tungku cinta yang mendidih,
dengan suhu kasih sayang tiada terukur

Kini pada lipatan waktu
bau kopi itu anyir membusuk,
kerana tiada lagi purbanya menyulam silam menjadi nyata

Pekanbaru, 2015


A history of pyrates

ANNE BONNY

//
1697-1700
terhitung berabad-abad lalu
ia berlayar di lautan Karibia
menyusuri setapak lengang
menangkal gecak ombak yang menderu

dalam pelik cekik batang kehidupan
teka-teki histeri pun ia lakoni
tersebab kanal piatu mengigit takdir

“ibuku telah mati semenjak aku ditetaskan ke bumi,
Ayahku mengembara mengikuti mati angin yang pelik dan kacau.”
Ucapnya sewaktu-waktu di langit gelap nan sesat
//

di kepulauan Bahama
angin menderu tiada henti
menghempas goyang ombak karang
mendengu terjang amuk badai

Anne Bonny berdiri di tiang kapal
menengadah, mengecak pinggang
sembari mengepakkan jiwa perompaknya yang penuh ambisi birahi

//

di depan kedai minuman
seorang bajak laut John calico Jack menemukan Bonny berambut merah legam
menari-nari dengan lekuk tubuh setengah telanjang
khidmat debar pun ikut mengurai di benak keduanya
lalu dengan tungkas secawan anggur
membasah di dalam dada Bonny yang berbulu tandus

pekik sembilu
aku mengasah pedang tumpul di tungku jelaga
yang api nya berkobar membakar dada
di sana, di dermaga paling kusta
kala ombak tak sudi meneriak badai
kala semua berubah menjadi tetes darah
aku meneriakkan hati yang terpekik sembilu

Sebuah Angan

//
Aku melayang-layang bagaikan kapas putih
dihembus angin liar
dari busur bercahaya lentur
timbul tenggelam
dalam puncak pikiran

Pekanbaru, 2015

Pusvidefi
Latest posts by Pusvidefi (see all)

Comments

  1. uswatun hasanah Reply

    MANTAP ADEK KAKAK NE…
    SEMOGA SUKSES SELALU DEVI…:)

    • SnowCloud Reply

      Terima kasih kakak ku, Sukses juga buat kakak ({}) 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!