Meninggalkan Rumah
kau tampak begitu terhina
melewati jalan-jalan yang memperlakukanmu
dengan sengit
langit seperti mendung
sejak pertama kau melepaskan rumah
dari ingatan
masih saja kau ingin pulang
merebahkan diri di ranjang, beranjak ke dapur
dan merenung di ruang belakang
mencomot satu demi satu kenangan
membuat hatimu terus-terusan basah
kenapa tak kau biarkan saja
angin merampas semuanya
dan merelakan hujan menciptakan
muara untuknya
tak ada apa-apa lagi setelah ia
membanting pintu dan membawa segalanya
mungkin ia akan kembali
tapi waktu tak pernah diam di situ saja
kau ingin berjalan-jalan sebentar
jalan-jalan adalah labirin, orang-orang
menghabiskan banyak usia di sana
kau terlambat menyadari
bahwa kau benar-benar sendiri
tak ada alamat yang pasti
dan kau akan tersesat jua akhirnya
Kuda Kayu
Seorang anak telah mencurinya dulu lalu membiarkannya lapuk
di rimbunan belakang rumah. Berbulan-bulan ia berhujan-
berpanas, bermalam-bersiang, berangin-berembun. Ketakutan
telah meniadakannya dari dunia dan terlupakan.
Ia membayangkan ujung nasib tak lebih buruk dari ini;
tersuruk di gudang, bersama mainan lain ketika paku-paku
di tubuhnya mulai menjulur. Mungkin sudut-sudutnya tak lagi
mampu dinaiki bocah lusuh-berdaki itu. Rasanya lebih mulia
ketimbang direbut lalu dicampakkan dari ingatan.
Takdir diciptakan untuknya sebagai kuda kayu, mengangkut beban
sebanyak mampu. Begitu kehendak sang Tuan.
Seorang bocah telah mencuri ia dari pemiliknya. Seorang kawan
yang merebut kebahagiaan karibnya. Ia yang mencuri
tak pernah nyaman, diburu takut dan penyesalan;
menyurukkannya di halaman belakang, di antara pokok pisang
dan tungkai pinang. Berpanas-berhujan, bermalam-bersiang, berangin-
berembun. Sampai bertahun. Ketika anak itu pulang dan mengukur
sisa tanahnya, ia jumpai kuda kayu itu serupa negara yang diruntuhkan;
rabuk papan, paku hitam dan sarang anai-anai.
Tak banyak yang diingat dari itu semua selain ia pernah
mencuri milik kawannya lalu mengabaikan. Seperti
bekas tanah yang akan dikuasakan pada Tuan yang baru.
Hidup sepenuhnya melepaskan.
Segenggam Laut
tak pernah ada salju kukira
di tanah tropis ini matahari dan hujan berebut tempat
tapi aku merasa nasib buruk
dijatuhkan dari langit
tak kenal musim, tak kenal cuaca
aku memungut segenggam laut
jari-jariku yang cekung dan sedikit
tak mampu menyimpan apa pun
hanya garam kurasa, hanya asin garam
sisa perjalanan jauh sungai menuju muara
berbekas di kuku-kuku jari
di tanah tropis ini matahari dan hujan sama buruknya
aku merasa nasib buruk menggantung begitu dekat
dari tempat kami berdiri
pasir basah, bekas telapak hangus pada ombak
hidup kami terasa begitu sia-sia
apakah di luar sana?
benarkah salju turun serupa butiran kapas
di bangku-bangku, di taman-taman kota?
aku ingin menciptakan eskrim dengan rasa laut
dari bekas tanganku yang beku
hujan dan panas sama saja
tidak tercipta salju dari keduanya
hanya tanganku menggapai-gapai
segenggam laut di tanganku kubayangkan
tanpa garam lalu menjelma mutiara
hingga kami tak perlu mendebatkan
apakah salju akan turun atau tidak
sebab dari laut kami bisa mencipta masa depan
segenggam, hanya segenggam saja
kering di tanganku yang berkarat
Buah Mangga
“Jangan kau petik, seseorang telah memesan semua batang.”
Sebelum buahnya matang, seseorang telah menguasai dirinya.
Bocah itu hanya mampu memandang dan menahan liur. Sedari
bunga ia jaga, selagi putik ia rawat, matangnya jatuh ke keranjang
orang. Betapa perih kehilangan. Buah di depan mata, menggoda.
Buah yang tak boleh ia petik sebuah saja. “Tunggulah jatuh matang-
matangnya. Rezeki itu boleh kau pungut.”
Ia ingin mangga muda. Mengunyahnya dengan garam dan ulekan
sambal. “Tahanlah, tahun depan kita sisakan barang sebatang.
Yang buahnya paling besar, yang rasanya paling manis, yang
matangnya paling berkilau.” Bagaimana menunda keinginan
yang hanya hari ini? Menunggui buah yang kelak milik orang. Buah
matang di ladang sendiri.
Bocah itu mulai melepaskan apa yang menjadi miliknya: apa
yang seharusnya ia punya. Bahkan untuk sebiji mangga muda.
Menunggu ia di kaki ladang, sebiji matang yang mungkin jatuh.
Buah cantik ranum di batang, masuk di keranjang pedagang lalu.
Travian Games
aku membangun apa yang sudah
tak ada.
berhadapan denganmu adalah menyerahkan
semua yang kumiliki.
tak hanya merampas
sekaligus kauhancurkan kekuasaan kecilku.
melumatkan ladang harapan dalam sekejab.
bagaimana kau mengenangku
yang tak sekalipun
pernah kubalas?
setiap yang kubangun
dihancurkan oleh kalian.
aku bahkan tak sekalipun
membangun pasukan.
supaya kebencian yang mulai tumbuh
tak meledak sewaktu-waktu.
namun kalian dengan
cara yang bijak tak memberiku kata ampunan.
kubangun hidup sedikit demi sedikit
menata semanis mungkin.
berharap, tetangga yang kukenal sebagai kawan
tak memandangku seperti orang jauh.
apa yang kau dan kalian semua inginkan dariku
yang kecil dan tak punya banyak?
“jangan terlalu melankoli. tak ada
yang sungguh-sungguh di bumi ini.
dan tawaran-tawaran, pertemanan, senyum dan usapan
adalah bentuk lain dari permainan.”
kutolak sekutu denganmu, kutolak aliansi
macam apa pun.
dengan cara yang tak terpikirkan.
jika itu yang kau ingin, akan kubalas kalian dengan cinta
yang masih terus kusisakan.
kubangun diriku yang nyaris habis.
kusimpan tangis
untuk mempercantik permainan kalian.
2009
- Nasi Bungkus dan Pemburu Celeng - 18 March 2022
- Sajak-Sajak Indrian Koto - 28 January 2020
- Anak Panggung - 25 May 2018