Seni Mencatat

Pexels

Kita tentu sudah terlalu sering untuk terus-menerus hanya membicarakan Surah Al-Qalam sebagai rujukan perintah baca-tulis (sebut saja literasi). Kita mungkin juga sudah sering mendukungnya dengan Surah Ar-Rahman dan petikan-petikan ayat dari surah-surah yang lain. Betul, kita asyik mengutip ini-itu sambil membanggakan kejayaan masa lalu, mencertikan ulang masa salafus saleh yang melahirkan ulama-ulama polyglot dan polymath, yaitu ulama yang menguasai lebih dari satu bahasa dan banyak disiplin ilmu. Tapi, apakah cukup berhenti di situ? Ajukan pertanyaan: di posisi manakah kita jika disandingkan dengan mereka?

Seorang ilmuwan tidak hanya membaca, tapi juga menulis. Mereka tidak hanya menulis, tapi juga membaca. Dan kedua hal itu butuh keterampilan. Yang satu berhubungan dengan lainnya. Sebab itulah, pemikiran ulama-ulama itu sampai ke kita karena mereka menulis.

Mengapa Alquran hanya menganjurkan “iqra’” (bacalah!) secara verbal melalui Surah Al-Qalam? Mana surah yang diawali dengan “uktub” (tulislah!)? Anda tahu, kan, al-Qur’an itu mewajibkan shalat secara verbal, namun bagaimana cara shalat secara rinci malah dijelaskan di tempat lain, tidak di dalam al-Qur’an. Kiranya, dalam surah tersebut telah terkandung dua-duanya, tersurat dan tersirat.

Untuk mendukung keterampilan membaca dan menulis, ada satu hal yang mungkin luput diperhatikan, yaitu mencatat. Memang betul bahwa menulis adalah juga mencatat, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah; mencatat merupakan proses pengumpulan data dan bahan-bahan untuk menjadi sebuah tulisan. Aktivitas menulis itu adalah proses menerjemahkan pikiran dan pendapat kita ke dalam wadah kata-kata. Sumbernya dari mana? Karena ingatan dan memori manusia itu terbatas, maka catatan-catatan yang kita tulis sebelumnya itulah yang berfungsi sebagai sumber utama maupun sampingannya.

Banyak orang yang mengeluhkan hasil bacaannya mudah menguap, terlupakan, bahkan tidak tersisa. Ini pengalaman banyak orang. Jangan cemas, Anda tidak sendirian. Itulah mengapa dikatakan bahwa ilmu itu ibarat kuda yang jika tidak ada tulisan sebagai tali kekangnya, ia akan lari dan lepas kendali. Menulis komentar, anotasi, catatan, dan coretan kecil terhadap hasil bacaan merupakan salah satu cara agar bacaan itu tidak mudah hilang dari ingatan kita.

Keterampilan menulis, sebagaimana diajarkan dan dianjurkan, dapat ditempuh sejak usia belia dengan membiasakan diri menulis di buku harian (diari). Buku harian merupakan kawan yang setia dalam mendengarkan curhat. Ia adalah kawan yang punya telinga yang baik untuk mendengar tapi tidak memiliki mulut cerewet yang mudah membocorkan rahasia kepada orang lain. Buku harian adalah teman yang jujur.

Sebelum bicara ke sana-kemari, hal yang mula-mula perlu ditegaskan di sini adalah bahwa “aktivitas menulis” itu bukanlah sepaket dengan “menjadi penulis”. Keduanya merupakan hal berbeda meskipun sangat berdekatan, sebagaimana “membaca buku” bukanlah sekaligus menjadi “peresensi buku”. Kita membaca dan menulis karena anjuran dan kebutuhan kita sebagai manusia dan tuntutannya memang begitu, lebih-lebih menyandang gelar “ulil albab” dan “ulin nuha”.

Kalau harus diperingkat, posisi membaca harus berada lebih dulu atau lebih atas ketimbang menulis. Kenyataannya, mengapa lebih banyak orang yang tertarik untuk menjadi penulis dan kurang tertarik menjadi pembaca? Penulis dapat mengantongi kemasyhuran dan uang, sedangkan pembaca kaya dengan pengetahun dan pandangan. Kita dapat mengubah pandangan ini kalau kita mau. Dan jika keduanya dipadukan, lengkaplah.

Saat ini, jarang lagi orang menulis diari di atas kertas. Mereka tetap menulis catatan (harian), namun di sebuah media yang disebut dengan social media, seperti blog, Facebook, Twitter, dll. Saya menggunakan diari kertas (sejak 1989, waktu pertengahan sekolah menengah) sampai sekarang hanya untuk mencatat peristiwa, sedangkan gagasannya dituliskan di media sosial dan lainnya, terutama blog dan Facebook. Catatan di blog itu ibarat diari, tetapi dibaca oleh umum.

Belakangan, karena menulis di blog membutuhkan kalimat-kalimat yang panjang supaya “layak dilihat” dan layak dibaca sebagai sebuah tulisan, sebagai sebuah esai, lama-kelamaan media ini mulai ditinggalkan. Orang-orang pun pindah haluan, pergi ke media sosial yang baru yang tidak mengharuskan kita menulis panjang-panjang. Itulah Facebook (Twitter bahkan lebih kecil lagi dalam menyediakan ruang teks). Saya menggunakan diari kertas sekaligus blog sebagai wujud prinsip muhafadah ala al qadim as salih wal akhdu bil jadid al aslah (merawat tradisi lama yang baik dan menggunakan tradisi baru yang lebih baik).

Salah Paham Soal Menulis

Mengapa media sosial yang cenderung menyediakan ruang teks terbatas itu justru lebih laku? Saya menduga, salah satu penyebabnya adalah makin sedikitnya kesempatan orang untuk membaca. Mereka sibuk untuk membaca yang panjang-panjang. Namun, hal ini tidak berarti bahwa tulisan pendek itu tidak bermutu. Untuk apa menulis esai panjang jika suatu gagasan sudah bisa tersampaikan dalam satu kalimat saja? Barangkali, demikian alam pikiran umum kita.

Kesalahpahaman berikutnya adalah keyakinan bahwa media massa cetak (seperti koran) adalah satu-satunya tolok ukur bagusnya sebuah tulisan. Ini menyesatkan. Banyak koran lokal yang tidak membayar honor atau memberikan upah untuk tulisan dan mungkin sedikit berdampak pada kurang tersaringnya tulisan yang masuk. Kini, banyak tulisan keren muncul di blog dan Facebook atau di web pribadi. Jika ada pertanyaan “Mengapa saya tidak menemukan itu di beranda saya?”, maka jawabannya adalah karena Anda telanjur “berteman” dengan orang-orang yang tidak serius sejak awal, yaitu mereka yang menggunakan internet hanya sebagai mainan, hiburan, bukan untuk sumber pengetahuan, semacam orang yang “bermain Facebook”, bukan orang yang “menggunakan Facebook”.

Portal dan laman di dunia maya bahkan sudah berani membayar bahkan memberikan honor yang layak untuk tulisan-tulisan kita. Sebut saja misalnya, mojok.co, basabasi.co, alif.id, dan banyak lagi. Tentu saja, mengirim naskah ke redaktur mereka sama susahnya dengan seleksi naskah ke media cetak. Dengan begitu, anggapan bahwa media daring (online) itu lebih sepele daripada media cetak itu sudah tidak berlaku lagi. Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa juga banyak ditemukan media, terutama portal-portal berita daring, yang abal-abal, yang gemar menyebarkan fitnah dan/atau hoax demi rating, misalnya. Sebab itulah, kita harus selalu tabayyun untuk mencernanya, harus bijak, tidak gampang percaya.

Jika ingin menulis, maka seseorang harus lebih dulu membaca. Nah, salah satu cara efektif jika kita malas membaca adalah dengan cara dipaksa. Berdasar atas pengalaman saya pribadi, kerap kali saya menulis tema tertentu dengan maksud agar supaya saya membaca tema tertentu pula. Ketika saya baru mendapatkan sebuah kitab Hayatu wa Akhlak al-Anbiya’ karya Ahmad Ash-Shabahi ‘Audullah dan belum dibaca, maka muncullah gagasan untuk menulis buku kisah hidup 25 nabi dan rasul. Dengan begitu, secara “terpaksa” saya pun membaca kitab tersebut. Mengingat kitab itu lumayan tebal, tidak terbayang sebelumnya saya akan membacanya andai saya tidak pernah menulis buku tentang nabi-nabi itu.

Memanfaatkan Gawai dan Ponsel Pintar

Jika dalam kitab Ta’limul Muta’allim kita dianjurkan untuk selalu membaca media tulis untuk mencatat, semacam pena dan kertas, maka kini keduanya nyaris bisa digunakan oleh satu media saja, yaitu “gawai” (alias gadget). Bukan hanya sekadar untuk mencatat dan menjadi buku, gawai pintar atau “smartphone” bahkan telah dilengkapi dengan kamera yang dapat digunakan untuk merekam gambar atau video atau suara atau ketiganya. Dengan begitu, nyatanya, saat ini kita telah dimanjakan oleh banyak fasilitas begitu rupa untuk urusan tulis-menulis. Akan tetapi, seperti cerita lama, seseorang yang terlalu dimanja akan cenderung cengeng dan punya musuh baru: malas melakukan tindakan produktif dan justru malah suka berleha-leha.

Saya punya kebiasaan menulis catatan perjalanan. Nah, kebetulan, meskipun saya tergolong orang yang terlambat memiliki ponsel pintar, saya mencoba menggunakan dan memanfaatkannya untuk kebutuhan itu. Dengan foto, kita bisa merekam peristiwa demi peristiwa statis atau peristiwa dinamis melalui video. Terkadang, inspirasi menulis itu justru muncul melalui gambar. Dari foto-foto itu, kita juga bisa menggunakan data dan metadata. Kita bisa tahu, pukul berapa dan tanggal berapa foto itu diambil, tanpa perlu lagi mencatatnya.

Yang sangat dibutuhkan oleh seorang penulis adalah kecermatan dalam melihat: sudut pandang. Sesuatu yang sepele dapat hadir sebagai sesuatu yang serius kalau kita mengubah sudut pandang. Contoh: makan. Bukankah ia adalah urusan sehari-hari dan biasa saja? Maka menjadi serius apabila kita melihatnya dari sudut pandang tasawuf, seperti syarat hudlur al-qalb di saat makan (menurut Abun Najib as-Suhrawardi) atau selalu mempertanyakan kehalalannya demi terkabulnya doa (menurut Yusuf bin Asbath), dll.

Untuk menaikkan dan memperbaiki kualitas tulisan, tentu saja kita harus terus berlatih setiap hari, selalu. Jika kita tidak bisa menulis setiap hari, maka sudah barang tentu hambatan untuk menulis yang kita hadapi menjadi banyak dan panjang. Namun, hal itu tidak akan jadi masalah asalkan kita terus menulis. Ia baru akan menjadi masalah serius jika kita terus menulis namun tidak membaca. Membaca pun akan jadi problem jika tidak pernah mencatat dan menuliskannya kembali. Jika kita terus-menerus mengeluarkan isi kepala lewat tulisan sedangkan kita tidak pernah mengisinya ulang dengan bahan bacaan, apa yang terjadi? Mungkin saja tulisan tetap akan lahir tapi gagasan yang muncul, ya, begitu-begitu saja.

M. Faizi

Comments

  1. Nuril Hidayati Reply

    1 Maret 8:58, membaca tulisan ini jam segini saya merasa dijewer lagi oleh Sang Kyai. Saya sudah membaca, namun masih gagal menulis kecuali catatan-catatan kecil. Dosen saya (Prof. Ahmad Muzakki) bilang ini semacam sakit pencernaan, orang terus2an makan tanpa sekresi, bisa jadi racun. Hmmm ngeri…

    • Anonymous Reply

      hemm. Membaca tanpa menulis, sudah membaca masih gagal menulis. Semacam sakit pencernaan, orang terus-terusan makan tanpa sekresi, bisa jadi racun.. ya baru baru bagi saya.

    • M. Faizi Reply

      jadi panjang ceritanya, he he

      • Rahma Reply

        ahh tertampar, aku sering baca, tapi untuk menulis aku ragu

  2. Erwin Reply

    Sedikit koreksi: mungkin yang Kyai Faizi maksud surat Al-‘Alaq, bukan Al-Qalam.

    • M. Faizi Reply

      oh, terima kasih. iya, saya khilaf

  3. Agus Reply

    Mengalir, ringan, dan mengena…menginspirasi kyai….

  4. Anonymous Reply

    pas baca ini langsung kepengen nulis semua pengalaman….tapi pas mau nulis eeeee malah bingung sendiri…selalu aja kejadiannya kayak gini..

  5. Zaed Reply

    Penulis favorit saya, ini esai cantik M.Faizi yang menyegarkan kembali pemahaman saya tentang mencatat. pokok e tak lapuk di hujan tak lekang di panas.

  6. Sekring kiri Reply

    Masih terkungkung dalam tong terbuka dan memaksa untuk menutupnya. Menyuratkan peristiwa sederhana dengan luar biasa masih tanpa aksi. Terimakasih pak yai, masih berproses mengonstruksi diri, hehe,,

  7. Ubay Reply

    Menarik, menginspirasi dan memunculkan semangat yang pudar.

Leave a Reply to Anonymous Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!