Ketika nyantren, salah satu yang menyebalkan bagi saya adalah Bagian Pengajaran. Di dalamnya berisi ustadz-ustadz yang sangat disiplin. Itu saya artikan ustadz-ustadz yang sangat tega. Tak peduli dan tak kenal dengan alasan. Jika santri terlambat masuk kelas satu detik saja, tetap terlambat. Apalagi yang terlambat beberapa menit. Terlambat berarti salah. Dan salah mesti dihukum.
Sayangnya, hukuman yang akan diterima santri yang terlambat akan sama. Mau terlambat satu detik atau satu jam, sama saja. Itu yang membuat saya sering dongkol. Kesal. Bahkan dendam. Berkali-kali saya bilang: “Lebih baik telat satu jam, bahkan tidak masuk kelas sama sekali, daripada telat satu detik”, pada diri sendiri.
Salah satu ustadz yang sangat familier dan akrab dengan para santri yang terlambat, termasuk saya, adalah Ustadz Hadidinnur. Perawakannya biasa saja. Tidak tinggi dan tidak pendek juga. Malah masuk kategori kurus. Sangat kurus. Sebenarnya ketika kesal dan dongkol, saya bisa saja menantangnya duel satu lawan satu. Meski masih duduk di kelas satu aliyah, saya tak takut untuk sekadar adu jotos dengannya. Tubuh saya gempal. Jika berdiri, tinggi saya melebihinya beberapa senti. Kekuatan dia hanya terletak di statusnya saja sebagai ustadz. Mau pendek, kecil, kurus, atau bagaimanapun, status ustadz di pesantren ini akan memberinya kekuasaan dan kekuatan. Terlebih untuk menghadapi santri-santri nakal.
Padahal kalau mau diperdebatkan, saya dan teman-teman yang dianggap nakal oleh ustadz-ustadz itu masih dalam kategori wajar. Bahkan tidak nakal. Saya tidak pernah minum alkohol. Tidak pernah mencuri uang. Kalaupun mencuri, hanya mangga yang banyak tumbuh di kompleks pesantren yang ada di Prenduan, salah satu desa di Kabupaten Sumenep, Madura, ini. Kalaupun berpacaran dengan santriwati, paling banter adalah saling kirim dan balas surat yang diletakkan di tempat tertentu. Kami tidak pernah berduaan, apalagi pegang-pegangan. Kalau terlambat masuk kelas, itu memang ada alasan. Misalnya, tidak ada air di kamar mandi, akibat mesin rusak atau kemarau tengah melanda. Jadi, bagi saya, santri nakal perlu dihilangkan. Tidak ada yang namanya santri nakal. Sayangnya, ustadz-ustadz di Bagian Pengajaran itu sangat arogan. Selalu saja, melabeli santri yang terlambat dengan santri mu’anid alias nakal. Sungguh, saya sangat tidak suka dengan arogansi mereka. Sebagai santri, sesekali terlambat sepertinya tidak soal. Terlebih buat saya yang terkadang lupa waktu ketika baca buku di perpustakaan. Ya, setiap pagi usai pengajian kitab kuning, saya memang suka ke perpustakaan. Banyak buku menarik yang bisa saya baca. Sayangnya, itu sering membuat saya lupa bahwa waktu di pesantren ini memiliki batas. Dan ini yang membuat saya sering terlambat masuk kelas.
Hampir setiap pagi saya selalu berhadapan dengan Ustadz Hadidinnur. Seperti pagi itu. Jam tujuh kurang lima menit, ia sudah berdiri di pintu gerbang area kelas. Memasang tatapan serigala lapar kepada santri-santri yang setengah berlari menuju kelas. Ketika bel masuk kelas berbunyi di jam tujuh, ia menggeser posisinya tepat di bawah gapura gerbang masuk ke area kelas. Di tengah jalan. Lalu memberhentikan siapa pun yang tengah berusaha masuk, walaupun si santri bersusah payah berlari sambil mendekap beberapa buku dan kitab. Tak ada santri yang membawa tas. Dekapan tangan sepertinya lebih menunjukkan sikap hormat kepada buku dan kitab. Ustadz Hadidinnur akan memberhentikan siapa pun, walau tinggal selangkah lagi santri melewati gerbang. Termasuk saya.
Sebenarnya, ada beberapa pintu yang bisa dilewati. Area sekolah dan ruang kelas para santri berbentuk persegi. Sepertinya para pendiri pesantren ini memang sengaja mendesain kelas-kelas ini berada dalam satu area. Bisa lebih terfokus. Untuk masuk dan keluar ke area ini bisa lewat tiga pintu. Pintu di bagian utara dan selatan. Tapi, kedua pintu itu akan ditutup dan dikunci rapat-rapat, di jam tujuh kurang lima belas menit. Jadi, semua santri yang lewat dari waktu itu, mesti masuk lewat pintu barat. Dan di situlah penjaga gerbang, Ustadz Hadidinnur, berdiri.
Saya dan teman-teman yang terlambat diberdirikan. Tentu saja di bawah sinar matahari Madura yang sungguh aduhai. Kami berbaris memanjang, seperti barisan upacara. Seperti yang saya bilang tadi, mereka yang terlambat satu detik saja akan mendapat perlakuan yang sama dengan mereka yang terlambat lima belas menit dan lebih. Dan saya terlambat empat langkah dari pintu gerbang ketika bel berbunyi. Sungguh menjengkelkan.
Ketika Ustadz Hadidinnur menganggap dan melihat tidak ada santri lagi di belakang, ia kemudian menatap kami. Tentu saja dengan tatapan tak bersahabat. Dalam satu komando kami mengangkat satu kaki. Ya, kami diperintah berdiri dengan satu kaki. Sementara yang memberi perintah, akan duduk di bawah pohon beringin di samping pintu gerbang.
Sekitar lima belas menit kami berdiri. Saya melihat UStadz Hadidinnur bangkit dari duduknya. Ia melihat sekeliling. Seperti mencari sesuatu. Dan begitulah, memang seperti biasanya. Ia akan mengambil apa pun yang bisa digunakannya untuk menghukum. Jika ada ranting yang cukup alot, itu pasti akan digunakan untuk memukul telapak tangan para santri yang terlambat. Terkadang betis yang kami angkatlah yang menjadi sasaran sabetan kayu itu. Malah pernah, betis saya merasakan rotan. Sepertinya Ustadz Hadidinnur sengaja membawa rotan itu. Sungguh keterlaluan. Tanpa bertanya alasan. Baginya, terlambat tetap terlambat. Tak ada kompromi.
Jika ia tidak mendapatkan apa pun, maka sepatu yang dipakainyalah yang akan menjadi senjata. Jika ia sedang malas melepas sepatunya, maka sepatu yang membungkus kakinya itu akan digunakan untuk menendang tulang kering di betis setiap santri yang terlambat. Ia seperti tidak mendengar suara rintihan para santri yang kesakitan. Seperti cuek dan bodo amat dengan mereka yang akan berjalan pincang setelah merasakan sakit yang begitu aduhai di kedua betis.
Jika semangat dan gairahnya sedang meninggi, maka sepatunya itu akan dilepas. Dipegangnya kuat-kuat dengan tangan kanan. Pipi-pipi para santri menjadi sasaran bagian bawah sepatunya. Lagi-lagi, ia tak peduli dengan bibir santri yang pecah dan berdarah. Hukuman mesti dilakukan. Disiplin mesti ditegakkan. Walau santri kesakitan. Walau santri menggerutu. Baginya tugas dan kewajiban mesti dilakukan dengan sempurna.
Dan yang perlu diketahui adalah jenis sepatu yang ia pakai. Ujung sepatunya terlapis besi. Bisa dibayangkan jika itu bertabrakan dengan tulang kering di betis. Termasuk ketika sepatu itu menghantam pipi dan bibir.
Karena itu, tak jarang saya yang memang sadar sudah telat, akan memilih bersembunyi, dan pergi ke kelas di jam istirahat. Itu pun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Dan melihat situasi. Jika tidak ada Ustadz Hadidinnur di pintu gerbang, maka saya akan langsung berlari. Tak peduli, daftar hadir di kelas sudah gaib alias absen. Saya bisa buat alasan nanti. Dan saya pun biasanya hanya membawa buku pelajaran seperlunya saja. Setidaknya saya sudah berusaha menjalankan kewajiban.
Perlakuan Ustadz Hadidinnur yang seperti itu. Dan selalu begitu. Setiap pagi di jam masuk kelas. Membuat saya menjulukinya dengan Hadidinnar. ‘Besinya neraka’. Bisa juga berarti besi api. Ya, Ustadz Hadidinnur memang cocok dan persis dengan neraka. Berkali-kali saya bilang ke teman-teman: “Awas terlambat! Si Besi Neraka pasti sudah menunggu di pintu gerbang”. Julukan ini perlahan menyebar. Terutama ke santri-santri yang kadang terlambat masuk kelas. Dan ternyata, tidak hanya yang terlambat, mereka yang tertidur di kelas pun akan akrab dengan Si Besi Neraka. Apalagi mereka yang tidak masuk kelas tanpa izin. Bahkan kepada mereka yang sakit. Teman saya, Dofir, pernah merasakannya. Dan ia menceritakan ini kepada saya ketika kami kebagian tugas untuk membersihkan dan menjaga asrama alias haris al-furoi’ah.
Ketika bisul dan korengnya makin bernanah, ia demam. Tak tahan, ia berobat ke Balai Pengobatan Santri dan Keluarga (BPSK). Sayangnya, kamar perawatan penuh. Tak sedikit santri yang mengalami dan merasakan penyakit yang sama dengannya. Terpaksa, di pagi itu, ia balik lagi ke kamar. Dan tentu saja, ia tidak bisa masuk kelas, mengikuti kegiatan belajar mengajar. Setelah minum obat, Dofir dihinggapi kantuk yang luar biasa. Sepertinya efek obat membuatnya demikian. Ia istirahat dan tidur di asramanya, As-Sholehah kamar lima. Di tengah asik dan lelapnya ia tidur, tiba-tiba ada rasa sakit di pahanya. Ia bangun dengan mengerang sambil memegang pahanya. Ternyata, Ustadz Hadidinnar menendang paha Dofir untuk membangunkannya. Dofir meringis. Selain karena demam, tendangan si Besi Neraka tadi ternyata mengenai salah satu bisul yang memang tengah dirasakan sedang perih-perihnya. Dalam keadaan belum sadar sepenuhnya, Dofir hanya bisa meringis.
“Limaadza maa dakholta alfashla?” suara Si Besi Neraka meninggi. Bertanya kepada Dofir kenapa ia tidak masuk kelas.
Dhofir menjawab sambil meringis bahwa ia sakit. Ia menjelaskan sudah mengirim surat ke kelas yang dititipkannya pada teman sekelas. Sayang, obat yang tergeletak di samping kasur lantai, muka yang pucat, dan ringisan Dofir tak cukup menjadi alasan yang bisa diterima oleh si Besi Neraka untuk memberinya izin tidak masuk kelas. Ia terus mencecar Dofir dengan berbagai pertanyaan: sakit apa, sudah berapa lama, mana surat keterangan sakitnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Semua jawaban Dofir terus disangkal si Besi Neraka.
Bahkan, Si Besi Neraka berucap, “Laa ushoddiquka hatta yatiyaka ambulan,” pada Dofir. Ya, Si Besi Neraka tidak percaya Dofir sakit hingga ia didatangi ambulans. Lalu menendang kembali kaki Dofir dan memaksa ia masuk kelas. Dhofir terpaksa berdiri. Menuju lemarinya. Meski demamnya makin terasa. Badannya seperti tak bertenaga.
“Saya mau ke BPSK saja, Ustadz,” ucap Dofir. “Sungguh, saya tidak kuat, Ustadz.”
Tak disangka, perkataannya itu justru membuat Si Besi Neraka seperti berubah menjadi monster. Dari belakang ia memukul kepala Dofir di bagian belakang. Lalu menendang kedua paha Dofir. Berkali-kali.
“Kamu harus masuk kelas!” Si Besi Neraka meninggikan suaranya.
Dofir ingin memberontak. Ia ingin melawan. Ingin menghajar laki-laki kurus yang ada di depannya. Beruntung, sopan santun, adab, dan etika Dofir sebagai santri masih ada. Ia berdiri dengan badan masih menggigil dan nyut–nyutan di betisnya. Lagi pula, tenaganya belum tentu cukup untuk mengalahkan Si Besi Neraka.
“Ampun, Ustadz. Saya benar-benar sakit.”
“Saya tidak percaya kamu sakit. Cepat ganti pakaianmu, dan pergi ke kelas. Saya tunggu di depan kamar.”
Dengan sangat terpaksa, Dofir mengganti pakaiannya. Ia mengambil peralatan mandi. Tapi, ketika sampai pintu kamar, Si Besi Neraka melarang.
“Tak perlu mandi!”
“Setidaknya saya mau gosok gigi dan cuci muka, Ustadz.”
“Tidak perlu. Belajar lebih penting untukmu daripada mandi.”
Dofir tak bisa melawan. Tubuhnya makin lemah. Tapi amarahnya menguat. Beberapa buku ia ambil secara acak. Tak peduli jadwal pelajaran yang tertempel di pintu lemarinya. Ia berjalan gontai. Terlalu gontai. Beberapa langkah meninggalkan asrama. Dofir menengok ke belakang. Si Besi Neraka masih melihatnya dari depan asrama. Beberapa langkah kemudian, Dofir kembali melihat ke belakang. Ke asramanya. Ia lihat Si Besi Neraka memasuki kamar di asramanya satu per satu. “Kalau bukan, karena ustadz, sudah saya ajak carok.” Tergores dendam di hati Dofir.
Beberapa langkah lagi Dofir akan melewati gerbang kelas. Tiba-tiba ia membelokkan arah langkahnya. Menuju BPSK. Ia benar-benar merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Termasuk hatinya. Dhofir berpikir, BPSK, satu-satunya tempat untuk ia beristirahat. Meski ia tahu ruangan di BPSK penuh. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin mencari tempat istirahat dan memulihkan tenaganya, dan tentu saja menyembuhkan penyakitnya.
BPSK terletak di bagian depan pesantren. Di sebelah barat. Empat ratus meter dari area kelas. Cukup membutuhkan tenaga juga bagi Dofir untuk menuju ke sana. Keinginan sembuh dan berisitirahat memberi tenaga lebih untuknya melangkah.
BPSK terlihat. Bayangan bisa tidur dan istirahat dengan enak memenuhi kepala Dofir. Tinggal empat langkah lagi ia masuk ke area BPSK. Tiba-tiba ada suara memanggilnya. Suara yang sangat ia hafal. “Akhi!”
Dofir menengok. Ia lihat Si Besi Neraka dengan tatapan apinya mendekat menggunakan sepeda. Setelah turun dari sepedanya. Tak banyak bicara. Tamparan keras mendarat di pipi kiri Dofir.
“Amartuka li antadkhula al-fashla. Limaaza tadzhabu ila huna? (Saya menyuruhmu masuk kelas. Kenapa ke sini?).” Tanpa menunggu jawaban, Si Besi Neraka kembali melayangkan tamparan ke pipi kiri Dofir, hingga ia tersungkur ke tanah. Dofir tak menjawab. Ia mengepalkan tangan. Kuat-kuat. Kebencian dan kekesalannya memuncak. Rasa sakit, demam, adab, akhlak, dan etika hormat kepada ustadz mulai samar di dirinya.
“Limadza? Hah?” pertanyaan kenapa dari si Besi Neraka diucap berulang-ulang. Dofir masih diam. “Kamu mau melawan ustadz!”
Kepalan tangan Dofir semakin kuat. Ia hendak bangkit. Dan ingin melayangkan tinju ke muka Si Besi Neraka. Sayangnya, pengurus BPSK yang sedang bertugas muncul dari dalam dan mendekati mereka berdua. Ia mempertanyakan perihal yang terjadi. Sambil membantu Dofir bangkit. Pengurus BPSK mengenali Dofir. Ia tahu Dofir berobat tadi pagi di situ. Dan dia pula yang memberi rekomendasi agar Dofir beristirahat dua atau tiga hari. Tak perlu mengikuti kegiatan pesantren terlebih dahulu. Agar kesehatannya bisa pulih.
“Madza waqo’ ya Ustadz? (Ada apa, Ustadz?)” tanya petugas BPSK.
“Ini, si mu’anid, mau melawan ustadz. Ia tadi dari kamar dan saya perintahkan untuk masuk kelas. Tapi dia malah ke sini. Bukankah itu sebuah perlawanan dan pemberontakan?”
“Saya tahu anak ini, Ustadz. Tadi pagi dia memang berobat ke sini. Karena kamar di sini penuh, makanya saya memintanya untuk beristirahat di kamar. Dan saya sudah memberi surat keterangan sakit agar ia bisa izin tidak mengikuti pelajaran di kelas. Termasuk tidak mengikuti kegiatan pesantren yang lain.”
“Halah, itu cuma alasan saja. Santri macam dia ini. Tidak ada yang namanya sakit. Ia hanya berpura-pura sakit karena kemalasannya mengikuti pelajaran. Santri macam ini, jika dibiarkan hanya akan merusak tatanan pesantren.”
Dofir benar-benar ingin meninju muka laki-laki di depannya. Beruntung, Majid, petugas BPSK, merangkulnya, dan diam-diam mengusap punggung Dofir.
“Enggak, Ustadz, anak ini memang sakit. Biar saya yang bertanggung jawab. Saya bisa pastikan anak ini sakit. Kalau antum tidak percaya, kita tunggu dokter datang. Dan memastikan apakah anak ini sakit atau tidak.”
Beberapa detik Si Besi Neraka diam. “Ya sudah, kalau begitu. Suruh dia tinggal di sini. Saya mau melanjutkan tugas saya.”
Si Besi Neraka pergi begitu saja. Seperti tidak merasa bersalah. Dofir mengatakan pada saya, arogansi ustadz memang seperti itu. Tidak merasa salah walau salah. Dan parahnya, tidak mau meminta maaf meski sudah jelas-jelas salah. “Ia kira ustadz adalah malaikat yang tak punya dosa. Awas aja nanti. Tunggu tanggal mainnya.”
Sejak kejadian itu, tak ada lagi rasa hormat untuk Si Besi Neraka di diri Dofir. Baginya, laki-laki macam dia tidak pantas menjadi seorang ustadz. Tidak pantas manusia macam dia mendapat titel ustadz. Sejak kelas satu aliyah, Dofir benar-benar menyimpan dendam. “Tunggu saya lulus. Kita buat perhitungan. Mau darah atau kuburan?” tegas dhofir pada saya. Saya hanya mendengarkan. Saya tidak bercerita bahwa saya pun mengalami nasib yang sama. Tentu saja menyimpan dendam yang sama.
Hari demi hari dilewati. Berganti tahun. Hingga datang waktu kelulusan dan wisuda. Usai acara wisuda, siang itu, saya diajak Dofir menuju suatu tempat. Kami tidak berkumpul dengan keluarga atau teman-teman lainnya. Ternyata, saya diajak menuju salah satu kamar ustadz di asrama Al-Kautsar. Saya kaget, ketika Dofir ternyata menyembunyikan celurit di balik baju bagian belakangnya. Celurit itu ia selipkan di belakang celananya. Ia bilang celurit itu memang sengaja ia minta ke orang tuanya. Alasannya, ada teman yang menginginkan celurit sebagai koleksi dan oleh-oleh dari Madura. Celurit dikeluarkan. Ia genggam kuat dengan tangan kanan. Saya lihat mata Dofir merah. Sepertinya ia benar-benar dikuasai dendam. Saya sungguh tak mengira. Saya yang dendam, tak sampai sebegitunya. Ia ingin menantang duel Si Besi Neraka.
“Ini adat Madura, Fan. Harga diri lebih tinggi dari segalanya. Si Hadid, sudah menginjak-injak harga diri saya. Karenanya, nyawa taruhannya!” tegas Dofir.
Kamar Si Besi Neraka sudah di depan mata. Saya dan Dofir langsung masuk tanpa memberi salam. Si Besi Neraka tidak ada. Hanya ada Ustadz Yusuf. Mukanya pucat melihat celurit di tangan Dofir. Tak lama berselang, beberapa teman seangkatannya masuk ke kamar itu juga. Tak disangka, semua menanyakan keberadaan Si Besi Neraka. Karena Ustadz Yusuf tidak tahu, kami sepakat untuk menunggu Ustadz Hadid. Bahkan, kami langsung merokok di situ. Di kamar ustadz itu.
“Di mana lemari Hadid?” Ustad Yusuf ditanya Romli yang ternyata membawa celurit juga. Bahkan lebih besar. Dan sepertinya lebih tajam.
Sabetan celurit mengenai pintu lemari yang ditunjukkan Ustadz Yusuf. Sebuah lubang terbentuk setelah ujung celurit menancap di pintu lemari.
“Saya mau tunggu si Hadid. Saya mau tahu, apakah ia masih arogan dan sok–sokan. Posisi kita sekarang sama. Sama-sama alumni,” tegas Romli.
Saya, Romli, Suud, Ocink, Alfan, dan Dofir menunggu Hadid di kamarnya. Ustadz Yusuf yang ada di kamar itu tidak bisa bergerak. Mukanya makin pucat. Ia berdiam diri di pojok. Sayangnya, Hadid tidak muncul juga hingga kumandang azan asar terdengar.
“Oke, Ustadz, bilang ama Hadid. Kami cari. Suruh dia pilih. Mau darah atau nyawa. Bilang kami tidak terima perlakuannya selama ini yang semena-mena. Mentang-mentang ustadz, ia seenaknya memperlakukan kami seperti hewan bertahun-tahun. Selama ini kami sabar dan menyimpan semua. Tapi, saat ini, saat kelulusan kami. Kami sudah tidak bisa menerima semua itu. Bilang ke Hadid. Kalau dia benar-benar laki-laki, suruh temui saya. Atau salah satu dari kami,” ucap Alfan kepada Ustadz Yusuf. Kami pun sepakat untuk kembali ke kamar Hadid setelah asar.
Jam empat kami kembali. Masih dengan marah dan dendam. Tentu saja, masih menenteng celurit. Kami terkejut. Di depan kamar Si Besi Neraka ada sosok yang sangat kami hormati. Ada Kiai Idris duduk di atas bangku. Mukanya terlihat sedih. Mata beliau berair. Kami menghentikan langkah dan ingin mengubah tujuan, untuk menghindari Kiai. Sayangnya, kami sudah terlihat. Kiai memanggil. Kami duduk menghadap Kiai.
“Kalau kalian ingin membalas dendam, silakan ke saya saja, Nak. Saya yang bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi di pondok ini. Ustadz kalian yang berlaku semena-mena adalah tanggung jawab saya. Dan kalian yang dipenuhi dendam pun, semua adalah kesalahan saya.” Kiai Idris menitikkan air mata. Kami yang duduk di hadapannya hanya menunduk. Diam.
“Sungguh, Nak. Semua ini kesalahan saya. Kesalahan ayahmu ini, Nak. Kalau kalian mau menyalahkan, salahkan saya, Nak. Saya sudah tahu apa yang kalian alami selama ini. Dan Ustadz Hadid sudah saya peringati dan saya ingatkan. Tapi begitulah manusia, Nak. Sering khilaf dan lupanya. Makanya, kalau kalian ingin membalas dendam, lakukan ke saya Nak. Lakukan ke bapakmu ini. Jangan ke orang lain.”
Dofir bergerak dan langsung bersimpuh di kaki Kiai. Semua mengikuti.
“Kalian mau memaafkan Ustadz Hadid?”
Semuanya diam. Tiba-tiba Ustadz Hadid keluar dari kamar. Mukanya pucat. Sepertinya keberaniannya muncul karena ada sosok kiai yang bisa membelanya. Semua yang melihatnya, menunjukkan mata yang begitu marah. Tapi tertahan karena ada sosok Kiai.
“Kalian mau memafkan?” ucap Kiai. Semua masih diam. Tatapan mereka sesekali mengarah ke si Besi Neraka.
“Tanamkan sikap seorang pemaaf di diri kalian, Nak.” Kiai Idris mengusap-usap dada Romli, Suud, Ocink, Alfan, Dhofir, dan saya bergantian. Melihat Kiai menitikkan air mata, tak terasa, saya pun menitikkan air mata. Ketika saya menengok ke yang lain, semuanya pun menangis.
“Ustadz, uthlubul afwa minhum, (Ustadz, minta maaf ke mereka),” ucap Kiai Idris ke Si Besi Neraka. Ia mendekat. Lalu menyodorkan tangan dan mengucap maaf. Kami berjabat tangan bergantian di depan Kiai.
“Sekarang, janji ke saya dan ke Allah. Tak ada lagi dendam di diri kalian. Tanamkan itu di hati. Sekarang kalian kembali ke orang tua kalian. Dan terus tanamkan kedamaian di diri kalian. Seperti Islam. Agama kedamaian dan keselamatan.”
Setelah mencium tangan Kiai, semua beranjak pergi. Dan tidak tahu, sampai kapan ucapan dan wajah Kiai mampu membendung amarah dan dendam yang bertahun-tahun tertanam dan tersimpan di diri ini.
Sawangan Baru, 2019
- Si Besi Neraka - 26 April 2019
Minanto
Sebagaimana sebuah prosa panjang dapat dibaca sebagai sebuah representasi atas lansekap dunia tertentu secara utuh (dengan mengindahkan latar, tokoh, penokohan, sudut pandang, nilai-nilai kultural, gagasan-gagasan tentang nilai kultural tertentu, protes, ataupun kritik) di sekeliling prosa tersebut, sebuah cerpen pun dapat dibaca demikian. Hanya saja, karena sebuah cerpen memiliki tuntutan sebuah “bentuk” ringkas, ia seringkali tidak dapat mewadahi banyaknya gagasan tentang keutuhan lansekap dunia yang dapat ditawarkan oleh sebuah prosa panjang, sehingga ia sekadar merepresentasikan sebagian kecil dari gagasan secara spesifik.
Sebagai pembaca awam yang pernah bersentuhan dengan dunia pesantren dan pernah sedikit pula merepresentasikan ‘ke-pesantren-an’ ke dalam sebuah prosa panjang, saya membaca gagasan tentang kekerasan dalam cerpen Besi Neraka ini. Seringkali kita membaca kekerasan adalah sebagai konsekuensi logis dari ketidaksetaraan relasi antarmanusia, antarpersonal, antarkelompok, antargolongan, dan dilihat dari segi usia, kelas sosial agama, atau nilai kultural lain, sehingga menciptakan hirarki kekuasaan. Dalam cerpen ini hirarki tersebut direpresentasikan oleh relasi ustad dan santri, dan jelas kekerasan hadir karena kesewenangan dari yang diposisikan lebih tinggi—yaitu si Ustad Hadidinnur.
Ketika baru masuk di paragraf-paragraf pertama, saya merasa ada sebuah kemarahan, kritik, atau protes, terhadap gagasan kekerasan itu sendiri—yang secara speficik digiring ke latar sebuah pesantren. Tetapi, memasuki paragraf-paragraf akhir, saya merasa antiklimaks lantaran cerita digiring dan dijatuhkan kepada akhir yang, katakanlah, cuma bikin mengerutkan dahi. Pertama, operasi kekerasan yang diberlakukan oleh Ustad Hadidinnur terkesan irasional dan hiperbolik meski memang diperbolehkan secara teknik penulisan, tetapi kemudian penggambaran kekerasan semacam ini menerbitkan sebuah pertanyaan—mengapa?—atas respon kesan pembacaan secara irasional sekaligus hiperbolik.
Kedua, akhir cerita Besi Neraka ini seolah mengempas harapan yang menyimpan sebuah penafsiran terhadap pemberlakuan kekerasan yang semena-mena. Bukan mengharapkan sebuah alusi berupa “api harus dipadamkan dengan air” ataupun “api harus dilawan dengan api”, melainkan sebuah alternatif logis terhadap konsekuensi kekerasan itu sendiri, semisal, isu-isu tentang tubuh, trauma, dan kesakitan, yang secara logis tidak akan bisa sembuh dengan sekadar “maaf”. Meskipun cerpen ini mengatakan itu secara gamblang, saya merasa ia belum bisa merepresentasikan akibat dari kekerasan itu sendiri. Lebih jauh dari itu, penghadiran sosok Kiai di akhir cerita seolah-olah menegaskan bahwa kekerasan pastilah dengan sembuh dengan pengobatan spiritual.
Dan itu saya rasakan adalah sebuah penyederhanaan dari isu yang sangat kompleks.
Anonymous
Kompleksitas pembahasannya amat menarik. Komentar seperti ini amat membangun.
Anonymous
Maaf, ini kisah asli atau karangan kah?
Anonymous
suka sama critanya. Ceritanya mampu membawa saya tersulut emosi (*_*) dulu punya mimpi ingin mesantren tapi nggak kesampean
AZ.
“apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang yang mengikut
apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar”
(Gurindam 12 pasal 7)
Mas Penan
Cerpen tidak lolos
Endingnya hambar