Jika firman Tuhan (dalam berbagai agama) dapat disederhanakan menjadi sekadar buku, maka kini manusia benar-benar sudah “mengkhianati” kehidupannya. Bahkan kehidupan setelah kematiannya. Betapa tidak, kini kita cenderung sudah mulai melupakan buku. Buku sudah semakin tersisih. Kalaupun kini ada perayaan khusus tentang buku (23 April untuk dunia dan 17 Mei untuk Indonesia), nuansanya sudah cenderung sebagai ziarah. Kita cenderung ibarat sedang mengunjungi makam, di mana di dalamnya terkubur sesosok buku.
Kita menangis dan terharu. Padahal, apalah arti sebuah tangisan jika hanya sebuah bunyi dan kata-kata yang tanpa perbuatan? Saat ini, sadar atau tidak, kita mesti mengakui, generasi-buku sudah kalah dibandingkan generasi-gadget. Jika dulu para founding fathers kita mengkarabi buku (sebelum dan sesudah tidur dengan buku, bahkan Amir Syarifuddin dalam perjalanan ketika hendak dihukum mati pun masih menyempatkan diri membaca karya William Shakespeare), kini generasi sudah berubah sangat drastis.
Periksalah pada sekeliling kita, terutama kaum muda, suatu kaum yang kelak menjadi pemilik masa depan, apakah mereka masih akrab dengan buku? Adakah pandangan menawan, misalnya, yang kita lihat ketika kita pergi ke kafe, ketika duduk di halte, ketika duduk di bus, misalnya, maka yang tampak adalah sesosok yang asyik dengan bukunya? Alih-alih membaca buku, mengunjungi perpustakaan pun sudah sangat minim. Padahal, buku bukan sekadar tumpukan kertas. Buku adalah tumpukan ide.
Ibarat Pasar
Dengan demikian, bergumul dengan buku sebenarnya adalah bergaul dengan ide. Bahkan, bukan sembarang bergaul dengan ide (imajinasi), tetapi juga bergaul di antara irisan imajinasi dan kenyataan itu sendiri. Dalam bahasa Hegel, ini disebut sebagai sebuah gerakan religius seorang realis. Hegel pernah menyebut, setiap pagi, semua orang berdoa dengan nada yang sama. Mereka dibimbing oleh sebuah kekuatan yang sama: koran (buku). Dari sinilah, mengutip Goenawan Mohamad, arah pandang seseorang dibentuk secara bertahap.
Dari sini pula mereka bisa melihat jauh ke langit, tetapi dengan posisi kaki masih berpijak pada bumi. Mereka tak lupa daratan meski sudah menatap langit. Mereka tahu di mana mereka berdiri. Mereka tahu, mereka tak sedang hidup di dunia dongeng, takhayul, atau maya. Mereka tahu, hidup ada untuk tidak mengganggu orang lain, tetapi bukan berarti sibuk dengan dunia sendiri. Dengan ucapan lain, kekeluargaan, kelekatan, dan kedekatan pada sekitar masih ada. Inilah yang sedang hilang dari generasi kita sekarang.
Generasi sekarang tak tahu lagi di mana mereka berpijak. Mereka pergi ke langit tanpa meninggalkan jejak sehingga tersesat. Mereka lupa daratan. Tolehlah sekitar kita! Saban hari, generasi kontemporer asyik dengan dunia yang mereka ciptakan: dunia maya. Di dunia itu, mereka menjadi warga yang sukar ditebak: apa ideologinya, apa agamanya, apa motifnya? Mereka benar-benar “sibuk sendiri”. Namun, sibuk sendiri bukan berarti mereka tak mengganggu orang lain.
Justru, mereka sangat latah mengganggu orang lain. Itulah setidaknya yang terjadi pada dunia maya kita: heboh, bising, dan serba grasa-grusu. Semua bebas berkomentar ibarat pasar. Dunia dengan bergelimang data, tetapi tanpa fakta, apalagi analisis dan renungan. Di dunia ini, kedalaman ilmu tak dibutuhkan lagi. Logika juga tak lagi dimuliakan. Semua menjadi ahli dalam sekejap. Proses berpikir tergelincir. Tak perlu ada pembuktian, bahkan referensi sekalipun sudah tak dibutuhkan.
Semua sudah melulu asumsi tanpa argumentasi. Semua bebas berkata apa dan berbuat apa seolah-olah dia adalah pakar yang sesungguhnya. Filosofi pertemanan pun bertukar. Jika dulu pertemanan dilihat dari kedekatan, kini pertemanan sudah disederhanakan dari seberapa like. Pertemanan bukan lagi tentang kata-kata, tetapi tentang angka-angka. Banyak berkata tak ada artinya kalau tak ada angka-angka. Persahabatan didangkalkan menjadi sekadar hitungan, bukan seberapa lekat dan dekat.
Wujudnya bisa berupa seberapa banyak teman di FB, seberapa banyak pengikut di Twitter, seberapa aktif di Instagram. Itulah mengapa di setiap ada reuni keluarga atau sekolah (padahal, reuni adalah kembali bersatu), di saat itu pula mereka kembali bercerai. Pertemuan kembali menjadi pintu untuk berpisah kembali pula. Ini karena kita semakin terasingkan dari kenyataan, bahkan dari tubuh kita sendiri. Tak ada lagi yang benar-benar nyata.
Kita terbahak dan menangis pun sudah ditukar oleh emoticon. Semua mendadak didangkalkan. Ibarat kalau dulu ketika mau ke sekolah, seorang anak akan memeluk orang tuanya, mencium tangannya, lalu bergegas dengan omongan “permisi ya, Pak, Bu”. Kini, seorang anak cukup mengirim pesan dan emoticon tanpa perjumpaan tatap wajah. Inilah yang terjadi sehingga timbul kedangkalan berpikir. Kita tak perlu lagi mengoleksi dan membaca buku dengan suntuk untuk mendapatkan sebuah referensi, tesis, atau antitesis.
Menjadi Contoh
Kita hanya cukup googling, mencari asumsi, lalu menancapkan emosi. Ilmu menjadi instan. Ilmu tanpa proses. Nah, di sinilah saya pikir kita perlu kembali merayakan buku. Merayakan buku bukan dalam pengertian berpamer-pameran, apalagi menziarahi buku. Merayakan berarti harus berbuat, bukan menangisi. Ini peluang sekaligus tantangan besar bagi Indonesia. Sebab, sebagai catatan, saat ini, menurut UNESCO, tingkat keterbacaan kita hanya 0,001 (1 dari 1000 orang).
Bahkan, menurut survei oleh Central Connecticut State University (CCSU) dengan tajuk Most Literate Nations in the World, tingkat kemampuan membaca dan menulis kita berada pada urutan 60 dari 61 negara. Ini sangat ironis. Sebab, jika merujuk pada survei yang sama, dari segi infrastruktur, kita sebenarnya sangat apik (36), berada jauh di atas Singapura (59), Malaysia (44), Korea Selatan (42), Jerman (47), bahkan Belanda (53). Ini berarti kita telaten membangun, tetapi tak telaten membaca. Atau, supaya lebih ironis, kita suka pamer, tetapi tak tak mau mendalami.
Ini semakin terkonfirmasi dari minimnya produksi buku kita. Menurut Ikatan Penerbitan Indonesia (2015), penerbit Indonesia rata-rata hanya menerbitkan 30 ribu judul. Ini sangat tak sehat. Sebab, International Publishers Association menyebut, sehat tidaknya keterbacaan (industri penerbitan) dapat dilihat dengan membandingkan jumlah buku per sejuta penduduk. Menurut BPS (2015), penduduk kita ada 255.461.700. Itu berarti bahwa masih hanya ada 8 judul buku kita per sejuta penduduk (Billya Arianto).
Angka ini kalah jauh dari Thailand (168), bahkan dari Kenya sekalipun (11). Lantas, bagaimana kita harus bertindak? Pertama dan terutama, kita harus menggalakkan teladan. Jokowi sebenarnya sudah melakukannya dengan pamer membeli buku di mal. Kiranya, tokoh negara lain perlu melakukannya. Kedua, menggalakkan kegiatan literasi di sekolah, entah itu melalui guru ataupun budayawan dari luar sekolah. Kami dari TWF (Toba Writers Forum) sempat sudah mulai melakukannya ke beberapa SMA di Medan, juga ke Samosir.
Tetapi, ini tak akan berdampak besar. Ini justru semacam proyek seremonial belaka. Karena itu, langkah ini akan jauh lebih berhasil jika guru juga memberi contoh dan teladan hidup. Menurut data pendidikan 2016/2017, kini jumlah kepala sekolah dan guru (TK, SD, SMP, SMA, SMK, SLB) ada 3.133.638. Itu berarti ada tiga jutaan yang menjadi panutan bagi 49.833.002 siswa. Singkatnya, marilah merakayan buku ini bukan dengan cara ziarah, tetapi dengan beraksi langsung. Merayakan buku berarti kembali ke kedalaman berpikir.
Selamat hari Buku!
- Bangsa yang Konyol itu, ya, Kita! - 23 March 2022
- Surat: Dari Siapa, Bukan untuk Siapa! - 23 February 2022
- Bahasa Indonesia: Menuju Perjalanan Akhir? - 14 November 2019
Kresno
Baguss
Fasya
Luvv
AHMAD
Sumpah, tulisan bang riduan ini selalu bagus. Jadi pengen tau siapa penulis yang menjadi kesukaan beliau?
Anonymous
Mantap..