
Hari ini bapakku menangis. Hal yang mustahil dilakukannya saat memasak. Kulihat dia sedang mengupas bawang merah. Kupikir wajar saja. Apa lagi? Tetapi iritasi mata karena itu tidak mungkin terjadi kepadanya. Dia sudah menjadi juru masak hampir setengah umur. Bakal terus pusing aku dibuat penasaran jika Om Haris tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.
“Lidah bapakmu sudah tidak bisa digunakan lagi, Endaru!”
Sore menampakkan wajah imut. Matahari jauh di timur bersemburat. Seluruh dinding rumah ditimpa cahaya merah saga. Bayanganku dan Om Haris seperti siluet tanpa gerakan. Hanya berdiam saja membuatku lupa akan sesuatu. Sehabis Magrib, teman-temanku mengajak pergi ke restoran Jepang, menikmati sushisambil ngobrol perihal tren pakaian tahun ini. Sepanjang malam, kami biasa menghabiskan waktu dengan main kartu, bernyanyi, atau saling menebak siapa di antara kami yang sedang jatuh ke dalam cinta.
Om Haris bergeming. Dia melihat ke arah yang tidak pasti. Sorot matanya menandakan kesedihan mendalam. Seorang pria gempal dengan janggut dan kumis tebal ini adalah teman dekat bapakku, sekaligus tangan kedua jika warung kami diserang banyak pembeli. Om Haris dan Bapak, sewaktu muda dulu, pernah merantau ke beberapa daerah untuk belajar memasak. Setelah pengembaraan mereka selesai, Bapak membangun usaha makanan, sementara Om Haris tidak. Bapak lebih tidak beruntung jika diukur dari garis nasib ekonomi.
Berbicara tentang garis nasib, sebentar dulu, nasibku tidak jelek-jelek amat. Bapakku termasuk orang yang bekecukupan di kampung ini. Keluarga kami punya tiga warung makan, satu di antaranya, bapakku sendiri yang jadi juru masaknya. Aku masih bisa dibilang bernasib mujur. Uang jajanku tidak pernah kurang, juga dari sejak sekolah dasar sampai kuliah tidak pernah nunggak biaya pendidikan. Sejak kuliah, aku memilih indekos di dekat kampus dengan alasan jarak rumahku yang terlalu jauh.
Bapakku terkenal sebagai tukang masak nomor satu di kota Kalang Bejo. Masakan andalannya adalah soto, nasi goreng, dan beberapa masakan lokal di kota Kalang Bejo. Seseorang pernah bersaksi, dia melihat bapakku memainkan sutil seperti kesatria perang memainkan pedang. Kecepatan dalam menakar bumbu dan mengolahnya di perapian membentuk gerakan tubuh yang indah. Mungkin seperti burung yang hendak terbang, mungkin juga seperti ikan di permukaan yang menimbulkan riak. Aku mengamininya. Sebab, saat aku kecil dulu, aku melihatnya sebagai tarian.
Bapak pernah bilang kepadaku, seorang juru masak adalah lidah pertama orang-orang yang ingin merasakan masakannya. Lidah Bapak berarti lidah semua orang. Jika belum cocok di lidah Bapak, masakan belum siap saji di hadapan pelanggan. Aku tidak pernah mendengar komplain dari orang-orang. Masakan Bapak tidak pernah tidak habis. Piring seperti kehilangan bekas, kinclong layaknya baru dicuci. Tapi bagaimana saat lidah Bapak sudah tidak dapat digunakan lagi? Apa yang kulihat tadi pagi di dapur membuktikan bahwa segalanya telah hancur.
Om Haris pamit diri. Sebelum aku menutup pintu pagar, dia meminta maaf tidak bisa banyak membantu usaha Bapak sebab minggu depan harus pindah tempat tinggal ke luar kota. Aku hanya mengangguk saja. Dia juga menambahkan kalau nanti punya kesempatan bermain ke sini lagi, dia berharap warung Bapak bisa ramai lagi. Bagaimanapun dan dengan cara apa saja keajaiban itu datang, aku juga belum membayangkan.
***
Bulan belakangan, kota Kalang Bejo kehadiran bangunan-bangunan baru. Tempat tongkrongan seperti kafe, warung makan dengan desain klasik, juga restoran dengan menu makanan asing mulai mewabah. Satu tempat usaha dengan usaha lainnya bersaing untuk memikat pembeli sebanyak mungkin. Desain tempat, harga promo, tampak menghiasi jalanan. Aku mendengar informasi ini dari media sosial di telepon selulerku. Sudah berminggu-minggu aku tidak pulang ke rumah. Kudengar juga dua warung bapakku telah tidak beroperasi. Sesekali aku ingin menghubungi Bapak. Menanyakan hal yang memalukan seperti, “Apa Bapak sudah merasakan asinnya garam?” atau, “Kapan Bapak mengirim uang ke nomor rekeningku?”
Keadaan keluarga kami sekarang terpuruk. Om Haris memintaku untuk meneleponnya jika suatu waktu perlu uang. Aku meneleponnya satu kali, dan setelah itu tidak lagi. Kecuali Wandira, anak semata wayangya itu, yang kusukai sejak kecil itu, kami tetap berkomunikasi meski dia sekarang berada di luar daerah. Wandira memiliki banyak kesamaan denganku. Mungkin hal itu yang membuat kami betah berlama-lama ngobrol. Setelah lulus di sekolah menengah atas yang sama, kami tidak pernah bertemu. Aku kuliah di kota Kalang Mujur, tempatnya terpisah satu kabupaten dari rumah. Sementara Wandira melanjutkan studinya di Akademi Kuliner Asing, tepatnya di daerah metropolitan. Butuh berhari-hari untuk sampai di sana dengan menggunakan transportasi umum.
Aku dan Wandira sama-sama suka membahas makanan internasional seperti sushi, spagetidan makanan asing lainnya. Bagiku suasana yang dibangun ketika makan sushimemberi kesan yang elegan dan tidak kampungan. Wandira bilang kalau kampusnya memberi banyak pengetahuan tentang resep makanan luar negeri. Aku memberi penawaran, seandainya mau jadi istriku, apa yang akan disiapkannya saat pagi? Dan untuk makan malam masakan apa yang cocok sebagai pengantar tidur kami? Dia hanya tertawa dan berkata belum terpikirkan sama sekali. Wandira masih mau banyak belajar dan kepingin membuka restoran internasional sebagai hasil usaha dari belajarnya.
Adanya Wandira, meskipun hanya sebatas gambar di layar HP, membuat kesepianku sedikit terobati. Aku sudah lama tidak kumpul dengan teman-temanku. Bapak cuma mengirim uang sedikit, itu pun cuma sekali dalam sebulan. Aku sudah pindah kos ke yang lebih murah. Pokoknya, ya, aku harus belajar hemat sejak warung bapakku sepi pengunjung. Bapak pernah putus asa, katanya aku tidak usah kuliah lagi dan lebih baik membantu Bapak mengurus warung. Tapi apa yang bisa dilakukan orang sepertiku? Warung Bapak tidak jual mi rebus instan. Hanya itu yang aku bisa.
***
Sudah dua tahun berlalu saat kejadian itu. Bapakku menangis di dapur, lidahnya mati rasa. Aku memutuskan tidak melanjutkan kuliah dan memilih membantu warung milik Bapak. Lambat laun warung bapakku mulai ramai kembali. Terseok-seok aku dan bapakku membangun lagi usaha kami hingga seperti saat ini. Orang-orang bilang, tanganku mirip sekali dengan Bapak. Mungkin tangan kami adalah tangan seorang perempuan, atau tangan ibuku. Aku tidak pernah tahu tangan ibuku, tapi menurut Bapak, ibu sangat pandai mengiris bawang dan menumbuk bumbu dasar. Warung kami adalah jantung kami. Aku dan bapakku bukan hanya bekerja di sana, tetapi juga memberinya nyawa. Bapak mungkin sudah tidak bisa mencicipi rasa masakan, tapi dia adalah buku resep sekaligus guru masak untukku.
Kemarin aku dapat kabar dari Om Haris. Dia bilang Wandira telah lulus kuliah dan akan segera pulang ke Kalang Bejo. Aku sangat senang mendengarnya. Menurut Om Haris, Wandira juga akan membuka rumah makan. Aku bisa menebak dia akan memberi selera masakan berbeda di kampung ini. Aku tambah bersemangat menyambut kedatangannya. Om Haris mungkin bakal sangat setuju jika aku belajar bersama dengan anaknya. Seperti Bapak dan Om Haris, mereka bukan cuma belajar dan memasak berdua, tapi juga menyambung tali persaudaraan. Aku tersenyum-senyum membayangkannya.
Kurogoh ponselku dan mengirim beberapa pesan ke nomor Wandira. Sebagai seorang lelaki, kataku, saat perempuan yang kusukai sudah ada di hadapan mata, aku ingin mengajaknya kencan. Wandira menjawab, siapa yang bakal aku ajak dan untuk apa. Aku bilang, kamu dan kuajak pacaran. Mungkin saat itu aku bercanda, tapi perasaanku sedang serius. Wandira bilang dia tidak mungkin menerimaku karena seseorang telah menutup pintu hatinya. Aku menganggap Wandira sedang bercanda, tetapi dia bilang sedang serius. Aku patah hati dengan peristiwa sederhana ini.
Aku terdiam. Pikirku, satu dapur tidak dapat menampung dua orang juru masak dengan masakan berbeda. Aku memasak menu-menu lokal, sementara Wandira dengan hidangan masakan asing. Saat itu hatiku sedang tidak keruan. Bapak datang menghampiriku dan berkata, “Om Haris berniat menjodohkanmu dengan Wandira, dan warung ini mau dibelinya untuk kalian berdua.”
***
Cabeyan, 2020
- Siasat dari Dapur Bapak - 26 February 2021
Endaru
Terimakasih kafe bsbs telah melahirkan banyak juru masak.
Parah Bener
Bakal terus pusing aku dibuat penasaran jika Om Haris tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. <<—– nyusun kalimat aja masih belepotan gini, kok bisa dimuat, tapi pas kutengok biodatanya, yo wajar. Orang dalam. Bener-bener cerpen basi. Wkwkwkk
Yang Bener Dong
Matahari jenis apa yang bersemburat di timur sore-sore?
Dadang
Mungkin matahari store kali mas. Jalan malioboro, kan timur jalan. Tapi ya kesalahan sedikit itu enggak paten jadi ukuran atau penilaian cerpen mas khairur.
Parah Bener
Mungkin matahari kesangkut di loteng wkwkwkk
telorasin
ada madalah personal ya
Yang Bener Dong
Perhatianmu kepada detail-detail terkecil menunjukan seberapa peduli dirimu kepada cerita yang kamu tulis dan kepada calon pembacamu, Bang.
Sabrang
Nah, bener bang
bing
kualitas kurasimu itu lho, basabasi.co, kian menurun .
radee
memangnya dulu seperti apa, kak?
Toyuk
Ente kritik begitu, cerpen tanggal 5 Maret 2021 kaga tayang :v
Krys Kanjeng Romo Sukranto
duhhhh …..cerpen apa’an tuhhhh
Finka Novitasari
Kalo kritik bisa ‘kan baik-baik? Nggak harus langsung menjatuhkan ;( cmiiww
Ahmadsudabar
Kratak krutuk kritik
Bisa menjadi roboh
Bila tak kokoh
benerbener
ih… kritiknya pedes. tapi berkarya engga tuh?
kasur
ya kali kalo kritik harus punya karya dulu. mau kritik kinerja bupati harus jadi bupati dulu gitu? :)))
Realistis
Cerpennya bagus menurut saya, saya heran yang kritik
Hartono Ali
Memang nggak bagus, tapi nggak apa. Nanti jg bs bagus kalau bs menerima kritik. Keberuntungan tiap penulis beda2 di tangan editor yang beda2.
begay
minimal ente tau cara kerja bupati kek apa. ah begay.
FILESKI
menyimak komen para netizen dulu hehehe