
Nama beliau adalah sebagaimana judul di atas. Salah satu murid istimewa dari Syaikh Sahl bin ‘Abdillah at-Tustari, paman dari Syaikh Junaid al-Baghdadi. Walaupun di dalam referensi utama saya dalam penulisan serial esai pendek ini, Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurahman al-Jami, beliau tidak disebutkan lahir dan wafat tahun berapa, tapi dapat diperkirakan bahwa beliau hidup di paruh terakhir abad kesembilan sampai paruh pertama abad kesepuluh Masehi sebagaimana rentang masa hidup Syaikh Junaid al-Baghdadi.
Sepintas tentang “corak” spiritualitas beliau, kisah berikut ini bisa kita jadikan pintu masuk untuk mendapatkan gambarannya sebagaimana didedahkan oleh beliau sendiri: “Setelah mendengarkan wejangan-wejangan Syaikh Abu Bakar asy-Syibli secara tidak langsung, saya ingin sekali untuk sowan kepada beliau.
Setelah ayahku wafat, saya pergi ke Baghdad. Langsung saya menuju ke rumah Syaikh asy-Syibli. Di sana, saya melihat orang-orang yang baru saja sowan kepada beliau. Mereka mengenali saya. ‘Untuk apa kau datang ke sini?’ tanya mereka. ‘Untuk sowan kepada Syaikh asy-Syibli, boleh saya langsung masuk?’ jawab saya. ‘Masuk saja. Tapi ingat, tinggalkan pengakuanmu tentang pencapaian di bidang spiritualitas,’ jawab mereka. ‘Oke,’ kata saya.
Saya memasuki rumah Syaikh asy-Syibli. Hari itu adalah hari Jum’at. Hari di mana beliau mengalami serangan, keagungan, dan kekuatan Allah Ta’ala. Kuucapkan salam: ‘Assalamu’alaikum.’ Beliau langsung merespons: ‘Wa’alaikassalam. Apakah Allah telah menghancurkanmu?’
Syaikh asy-Syibli memang terbiasa menyampaikan kalimat terakhir di atas itu. Saya jawab: ‘Saya adalah titik yang berada di bawah ba’ basmalah.’ Beliau bilang: ‘Kenalilah kedudukan rohanimu. Di mana engkau?’ Di kedalaman hati, saya berbisik: ‘Kalau saya merespons dengan jawaban lain, kemungkinan beliau tidak akan menerimanya.’
Maka, saya menjauh dari beliau. Saya berharap bisa memuaskan pandanganku dengan melihatnya. Saya memilih tempat di mana beliau tidak melihat saya. Tapi saya melihat beliau. Seorang sufi lain kemudian datang, mengucap salam kepada beliau: ‘Salamun ‘alaik.’ Syaikh asy-Syibli menjawab: ‘Wa’alaikassalam. Apakah Allah telah menghancurkanmu?’ jawab sang tamu sufi: ‘Muhal.’ ‘Dari sesuatu apakah engkau?’ kejar Syaikh asy-Syibli. ‘Dalam kondisi rohani,’ jawabnya.
Nah, jawaban terakhir yang seakan tidak nyambung dari sang tamu sufi itu betul-betul membuat takjub Syaikh asy-Syibli. Beliau tertawa mendengar jawaban itu. Dan saya, pulang dengan membawa faidah dari adanya dialog tersebut.”
Banyak pelajaran spiritual yang bisa kita ambil dari adanya kisah di atas. Pertama, keinginan yang kuat untuk sowan kepada orang suci. Ini menunjukkan adanya heroisme rohani dalam diri seseorang. Ketertarikan spiritual kepada orang suci mengindikasikan bahwa hati seseorang itu merupakan ladang subur yang bisa menumbuhkan aneka keindahan bunga-bunga rohani yang harumnya bisa mencapai Sidratul Muntaha.
Kedekatan kita secara substansial dengan orang-orang suci sejatinya merupakan wujud konkret dari kedekatan kita dengan Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin tidak, secara esensial mereka sebenarnya tak lain adalah magnet-magnet Ilahi. Sebab jelas bahwa mereka tidak merepresentasikan apa pun selain akhlak dan sifat-sifat hadiratNya belaka.
Kedua, betapa sangat pentingnya meninggalkan berbagai macam pengakuan tentang pencapaian-pencapaian rohani. Karena selama seseorang bangga dengan kemampuannya di dalam menggapai pengalaman demi pengalaman rohani, selama itu pula sesungguhnya dia sedang mengidap penyakit hati yang berupa kesombongan.
Ketiga, betapa sangat berkualitasnya nikmat rohani yang berupa serangan, keagungan, dan kekuatan Allah Ta’ala itu. Dengan nikmat tersebut, seseorang akan tercerabut dari kekelaman egonya yang dekil dan kerdil, digantikan oleh percikan dari kemahasucian hadiratNya. Hilang dirinya sebagai seonggok “najis” yang tengil, menjelma sebagai teofaniNya.
Itulah sebabnya kenapa Syaikh asy-Syibli sering menyapa setiap orang yang dijumpainya dengan kalimat yang terkesan sangat mengerikan, “Apakah Allah telah menghancurkanmu?” Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025