Solilokui Pulau Kecil

ilustrasi cerpen Solilokui Pulau Kecil - Badrul Munir Chair
Sumber gambar staticflickr.com

Setelah berlari mengelilingi pulau, Darman baru menyadari bahwa pulau ini sudah terlalu sempit untuk tetap ia tinggali. Ia berpikir barangkali luas dunia beribu-ribu kali luas pulau ini. Ia merasa sangat bodoh dan bertanya-tanya sendiri, kenapa selama ini ia bisa betah tinggal di pulau yang rasanya semakin hari semakin asing dan tidak ia kenali?

Pulau ini tiba-tiba saja terasa asing. Rasanya dulu pulau ini masih sangat lengang dan tenang. Tapi kini penuh sesak dengan manusia-manusia yang terus beranak pinak. Akhir-akhir ini ia merasa dihantui suara tangis bayi dan suara percakapan para penghuni pulau yang terus mendenging sepanjang hari seperti kicauan sekawanan camar yang membawa pesan kematian. Telinga tuanya masih bisa menangkap dengan jelas suara deru mesin setiap ada perahu yang berlabuh, suara percakapan tetangga, juga teriakan-teriakan anak-anak kecil yang bermain bola di atas pasir pantai yang masih basah karena air laut belum lama surut. Pulau ini tak lagi menyisakan petak kosong untuk dijadikan lapangan. Satu-satunya tanah kosong yang masih tersisa adalah lahan pemakaman yang sengaja dipersiapkan untuk pembaringan terakhir orang-orang pulau.

Suara-suara itu terus menghantui telinga tuanya. Ia memang sudah begitu renta, tak lama lagi memasuki usia delapan satu. Tapi pendengarannya masih sangat awas. Ia tak perlu mendekatkan telinganya ke lawan bicaranya agar bisa mendengar dengan jelas. Pendengarannya yang masih jernih itu sering kali merepotkannya ketika malam. Ia merasa dihantui suara angin dan ombak yang menghempas pulau, dan tak jarang ia juga mendengar suara erangan dan desahan orang yang sedang bercinta di rumah tetangga.

Ia merindukan hari tua yang hening.

Darman kembali berlari mengelilingi pulau yang kedua kalinya pagi ini untuk meyakinkan diri bahwa pulau ini memang sudah tak pantas untuk ia tinggali. Tubuh tuanya masih mampu berlari-lari kecil di tepian pantai walaupun napasnya dirasakannya semakin terpatah-patah. Ia mencoba menghitung jumlah rumah di sepanjang tepian pantai, lalu mengira-ngira berapa jumlah penghuni di setiap rumah. Walaupun ia mengenali semua orang-orang tua dan pemuda penghuni pulau, ia tak tahu berapa jumlah anak-anak mereka dengan pasti. Rasanya setiap waktu selalu ada kelahiran baru, dan ia tak sempat merekam nama-nama bayi penghuni baru pulau kecil ini dalam ingatannya.

Memang tak ada lagi lahan kosong yang tersisa, pikirnya. Para penghuni pulau ini sepertinya tak bosan-bosan beranak pinak. Bercinta mungkin satu-satunya hiburan, juga satu-satunya cara merengkuh kehangatan di tengah amukan angin laut yang menusuk pori-pori para penghuni pulau setiap malam.

Darman memutuskan berhenti berlari. Ia mengarahkan pandangannya ke laut jauh. Di suatu tempat di selatan itu, ia tahu, banyak pulau besar yang mungkin lebih nyaman untuk ditinggali, hidup tenang menghabiskan masa tuanya. Ia memikirkan untuk meninggalkan pulau kecil ini, setelah delapan puluh satu tahun yang panjang.

“Aku ingin pergi dari pulau ini,” ucap Darman pada anak tertuanya, ketika telinganya hampir menyerah oleh suara-suara berisik yang membuat ia berpikir mungkin lebih baik ia tuli di hari tuanya daripada mendengarkan suara-suara yang menyebabkan ia tidak bisa beristirahat dengan tenang.

“Bapak sudah tua, tak usah ke mana-mana. Istirahat saja di rumah.”

“Bagaimana bisa istirahat dengan tenang? Orang-orang tak pernah berhenti berteriak, anak-anak kecil tak henti-hentinya menangis. Pulau ini sudah terlalu penuh dan cerewet. Aku ingin pindah.”

“Mau pindah ke mana? Semua tempat sama saja, tak ada tempat sepi di dunia ini, sekalipun di dalam hutan.”

“Tidak semua tempat dihuni penduduk cerewet seperti orang-orang sini!”

“Bapak ini aneh. Banyak orang tua yang takut kesepian. Orang tua seperti Bapak seharusnya suka dengan keramaian. Bukannya Bapak takut kalau sampai mati kesepian? Kalau Bapak tinggal di tempat sepi lalu Bapak mati, Bapak mau menggali kubur sendiri?”

“Di sini terlalu berisik dan ramai, nyatanya aku tetap saja merasa kesepian. Aku mau pindah!”

Kemudian Darman beranjak ke dalam kamar, meninggalkan anak tertuanya yang terus mengoceh tak henti-henti. Ia kini merasa sedang tinggal di dalam penjara. Ah, sudah berapa lama ia merasa terpenjara di kamar yang dulu pernah membuatnya merasa damai dan bahagia? Kamar tempat menghabiskan malam penuh kehangatan bersama istrinya yang kini telah pergi selamanya, istri yang memberikan untuknya dua anak perempuan—yang kini mulai pandai melawan.

Wajar saja jika Darman merasa kesepian. Istrinya telah meninggal, dan dua anak perempuannya yang kini tinggal serumah dengannya tak lagi memperlakukannya sebagai ayah, melainkan sebagai pasien yang sering kali membuat mereka repot dan menahan kesal: makanan yang tak dihabiskan, obat berbagai penyakit tua yang tak pernah disentuh, dan sifat Darman yang semakin mudah marah.

Sering kali Darman merasa terasing di rumahnya sendiri. Ia kerap tak tahan mendengar ocehan dua anak perempuannya, mengeluhkan suami-suami mereka yang sering pulang dengan sedikit sekali ikan tangkapan dan tak jarang pulang dengan tangan hampa, mengeluhkan cuaca yang kerap tak bersahabat, mengomentari hal-hal kecil yang bagi Darman tidak begitu penting dengan ketus dan emosi.

* * *

Dan keterasingan itu juga yang meneguhkan hati Darman untuk segera pergi dari pulau kecil yang dirasakannya sudah teramat bising ini.

“Besok malam, aku ikut berlayar bersama kalian,” bisik Darman pada dua orang menantunya. “Tapi jangan bilang pada istri kalian, mereka tak akan pernah mengizinkanku untuk pergi,” tegas Darman sebelum menantunya itu sempat memberikan jawaban.

“Bapak yakin?”

Darman mengangguk, kemudian terdiam. Sejenak ia ragu akan keinginannya yang sempat menggebu.

“Yakin kuat berlayar, tidak akan muntah darah?” Darman hanya terdiam.

Mereka tahu, semenjak Darman muntah darah kemudian semaput dan sekarat di atas perahunya empat tahun silam, Darman tak pernah lagi mendekati perahu, apalagi berlayar jauh meninggalkan pulau. Darman seakan menjaga jarak dengan perahunya. Dan selama empat tahun ke belakang, Darman lebih sering menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan mengelilingi pulau, dan sesekali membuat tikar dari janur kering jika ada orang yang meminta bantuan. Selebihnya, Darman lebih banyak mengurung diri di dalam kamar—entah apa yang dilakukannya dalam kesendirian.

Maka ketika Darman terus meyakinkan mereka untuk ikut berlayar, mereka tak mungkin menolak, namun mereka juga ragu untuk mengiyakan.

“Aku sudah sehat, segar bugar, tak serapuh yang kalian bayangkan.”

“Tapi….”

“Ah, sudahlah, tak usah lagi mencari-cari alasan. Bawa saja aku pergi dari pulau ini, barangkali di tengah laut nanti ada kapal yang menuju ke selatan, selanjutnya aku akan ikut kapal itu.”

Mereka tak bisa berkata-kata lagi.

“Besok malam, kita berangkat setelah istri kalian terlelap,” ucap Darman memberi penegasan.

* * *

Sore terakhir menjelang perjalanan yang direncanakannya, Darman merasakan pulau kecil ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Ia lihat ombak di sekeliling pulau teramat tenang. Di kejauhan laut, matahari yang bersiap tenggelam membiaskan warna jingga kemerahan. Darman mengelilingi pulau. Ia menyapa setiap orang yang bercengkerama di beranda rumah-rumah yang menghadap laut. Di matanya, mereka tampak bahagia, tapi tidak dengannya.

Kenapa mereka bahagia tinggal di pulau bising ini sementara dirinya merasa sangat tersiksa?

Darman tak hendak mencari jawaban dari pertanyaannya itu. Ia terus berjalan berkeliling pulau. Memberikan senyum paling manis pada setiap orang yang menyapanya—semacam senyum perpisahan. Namun Darman tak mempunyai niatan untuk berpamitan pada mereka. Biarlah esok atau lusa mereka menyadari sendiri bahwa dirinya sudah pergi dari pulau ini, menyadari bahwa lelaki tua tak berguna ini sudah tak ada lagi. Kecuali pada dua orang menantunya, ia tak ingin rencana kepergiannya diketahui banyak orang, apalagi diketahui anak-anak perempuannya, sebab niatnya untuk pergi dari pulau ini—lalu tinggal di suatu pulau lain untuk ketenangan diri demi hari tua yang lebih bahagia—tentu akan mereka cegah dan mereka gagalkan.

Darman terus berjalan mengelilingi pulau, hingga tak terasa ia sudah sampai di depan rumahnya sendiri, rumah yang selama delapan puluh satu tahun ia tinggali, dan kini hanya berkarib dengan sepi.

* * *

Ketika mesin perahu mulai dinyalakan dan perlahan-lahan mereka menjauh dari pulau, Darman masih merasa seperti bermimpi.

“Bapak akan kembali lagi?” tanya seorang menantunya.

Darman tak menjawab. Sepasang matanya kini menatap hening pulau yang baru saja ia tinggalkan. Sementara yang bertanya seakan tak terlalu membutuhkan jawaban Darman. Mereka mengerti, perjalanan kali ini adalah perjalanan terberat bagi Darman. Usianya tak lagi muda, dan kekebalan tubuhnya sudah lama sekali tak pernah diuji ombak dan cuaca, apalagi di pelayaran terakhir Darman empat tahun silam, Darman harus bergelut dengan kematian setelah tiba-tiba ia memuntahkan darah, tubuhnya kejang, lalu semaput seakan dijemput maut. Sejak kejadian itu, Darman tak mau lagi berlayar, apalagi kedua anak perempuannya tak pernah lagi merelakan Darman kembali ke tengah lautan.

Namun keinginan kuat Darman untuk mencari ketenangan di sisa usianya itu mampu mengalahkan ketakutan akan kejadian empat tahun silam, peristiwa yang hampir merenggut nyawanya.

“Sebenarnya, Bapak mau pergi ke mana?”

“Mungkin aku akan menemukan tempat tujuan itu di tengah perjalanan,” jawab Darman. Setelah jawaban itu, mereka bergelut dengan pikiran masing-masing.

Mereka memutuskan mematikan mesin setelah perahu mereka sudah sangat jauh dari pulau yang mereka tinggali. Mereka tahu, di sinilah jalur melintasnya kapal-kapal besar. Jika mereka melihat kapal di kejauhan, mereka akan menyalakan obor, cahayanya akan memberi tanda pada kapal yang melintas untuk memperlambat lajunya. Mereka sering melakukan hal itu, menunggu kapal yang melintas untuk membeli bahan-bahan makanan yang dibawa kapal-kapal itu—yang tak mungkin mereka dapatkan di pulau mereka yang terpencil.

Sembari menunggu, mereka melempar jaring ke tengah lautan untuk menangkap ikan-ikan. Sementara Darman berbaring di atas geladak, udara dingin dirasakannya begitu menusuk tulangnya, dan guncangan ombak pada perahu lebih keras dari sebelumnya.

“Cuacanya lebih dingin dari biasanya,” bisik Darman.

“Bapak kuat?”

Darman tak menjawab, ia menenggelamkan kepala ke dalam sarung yang sedari tadi disandangnya. Tak lama kemudian Darman mulai terbatuk-batuk, ia merasakan cuaca seakan sedang mengamuk.

Tiba-tiba dari arah yang tak terduga, angin kencang datang menghempas perahu mereka. Ombak besar kemudian menyusul datang, membuat limbung perahu. Air laut menerpa badan perahu seperti hujan yang datang dari berbagai penjuru. Darman semakin mengencangkan dekapannya sendiri, sementara kedua menantunya berusaha mempertahankan posisi perahu agar tidak oleng, mengencangkan tali temali pada tiang. Batuk Darman semakin menjadi-jadi, ia kini mencari perlindungan di bawah tumpukan jaring yang tak diturunkan. Namun gigil terus membaluri menusuk tulang, apalagi percikan air kini hampir membasahi sekujur tubuhnya.

“Bapak masih kuat?” Terdengar sebuah teriakan dari arah buritan, tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, di sela-sela batuknya Darman berusaha menjawab sekenanya. “Kalau aku sudah tak kuat, aku akan melompat. Aku ikhlas jika memang harus mati di tengah laut.”

Darman terus berlindung di bawah tumpukan jaring. Ia merasakan hempasan ombak seribu kali lebih ganas dari bentakan anak-anak perempuannya, dan suara-suara di kegelapan malam dirasakannya lebih sengit dari tangisan-tangisan bayi yang biasa ia dengar setiap hari. Tiba-tiba tebersit niatannya untuk pulang. Sebelum kemudian ia mendengar sebuah benturan keras meluluhlantakkan perahu. Benturan yang membuatnya tak lagi mengingat apa pun.

Tak berjarak dengan laut, tak berjarak dengan maut. Darman mendapati dirinya terombang-ambing di atas papan kayu, terbujur lemas dan kaku. Di tengah kesadaran yang belum pulih, ia melihat bayangan sebuah pulau.

Ia membiarkan tubuhnya mengalir mengikuti arus air. Entah berapa lama ia terombang-ambing, sampai ia mendapati dirinya sudah menggapai tanah. Di sisa kesadarannya, Darman dapat merasakan sebuah kemenangan, kemenangan seperti yang pernah ia bayangkan.

Namun tiba-tiba, dari balik rimbun pohonan, Darman mendengar auman segerombolan serigala memecah kesenyapan. Suara auman itu semakin mendekat, mengaum semakin buas. Ketika suara auman terdengar semakin keras—seakan tak berjarak dengan telinganya, di saat itulah Darman mendapatkan keheningan yang selama ini ia cari.

Badrul Munir Chair
Follow Me
Latest posts by Badrul Munir Chair (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!