Di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami dituturkan bahwa Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani pernah mengatakan kalau tasawuf itu sama sekali bukanlah shalat, bukanlah puasa, bukanlah menghidupkan malam. Semua itu merupakan sarana peribadatan.
Seorang sufi tidak akan pernah merasa terganggu oleh seseorang. Dan manakala hal itu sudah berhasil, sudah merasa tidak terganggu lagi oleh seorang pun, dapat dipastikan bahwa dia telah sampai kepada Allah Ta’ala. Dan sampai kepada hadiratNya sama sekali bukan secara “fisikal” sebagaimana yang disangka oleh banyak orang.
Tapi mutlak secara rohani. Ketika seseorang telah membersihkan kekotorannya secara spiritual, ketika dia telah membersihkan dosa-dosa dari dalam hatinya, ketika dia telah membersihkan pikirin-pikirannya dari segala yang jorok dan apa pun yang tidak pantas bagi dirinya, dia akan semakin menyaksikan akan kehadiran Allah Ta’ala pada segala sesuatu.
Perjalanan kepada hadiratNya sama sekali bukanlah perjalanan ke luar. Tapi mutlak ke dalam dirinya sendiri, ke hakikat pribadinya. Kenalilah hakikat diri sendiri, maka kita mengenal hakikat Allah Ta’ala. Jadi, mengenal hadiratNya itu adalah nomor dua. Yang pertama adalah mengenal diri sendiri.
Tapi tidak mudah untuk mengenal diri sendiri itu. Di samping bagian diri sendiri itu terlalu banyak, juga terdiri dari berbagai macam lapis yang harus ditembus. Dan untuk menembus lapis-lapis itu tidak mungkin berhasil kecuali seseorang dibantu oleh Allah Ta’ala. Bahkan banyak orang yang meninggal sebelum sebelum menembus lapis-lapis itu.
Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan kenal Tuhannya. Kenapa mengenal diri merupakan jalan untuk mengenal Allah? Karena dengan mengenal diri sendiri secara hakiki, pastilah kita mengenal Allah Ta’ala yang telah menciptakan diri kita dan menciptakan alam semesta.
Di antara kenal kepada diri sendiri itu adalah kenal kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Karena itu, mulailah dengan mengkaji diri sendiri. Orang yang dikasih keberuntungan oleh Allah Ta’ala adalah orang yang diberi kesanggupan untuk mengkaji dirinya sendiri. Sehingga tampak jelas baginya berbagai macam kekurangan yang dimilikinya.
Karena itu, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda bahwa beruntung seseorang yang sibuk dengan aib-aibnya sendiri ketimbang repot mengurusi kekurangan orang lain. Sebab, dengan mengurusi kekurangannya sendiri dia akan sampai pada pengkajian tentang hakikat dirinya. Dan dengan mengkaji hakikat dirinya dia akan sampai pada Tuhannya.
Pada suatu hari, Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani bermaksud untuk ziarah kepada Syaikh Ruzbihan al-Baqli. Putra beliau, Syaikh Shadruddin Ruzbihan, berdiri di atas kuburan bapaknya. Setelah Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani berdiri sejajar dengan kuburan Syaikh Ruzbihan al-Baqli, Syaikh Shadruddin Ruzbihan memberikan penghormatan kepadanya.
Lama sekali Syaikh Shadruddin Ruzbihan berdiri. Kemudian duduk. Lalu berdiri lagi. Lama sekali berdiri. Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani tidak menoleh kepadanya. Setelah selesai ziarah, Syaikh Shadruddin Ruzbihan bilang: “Wahai Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani, tadi aku lama sekali berdiri, kau tak menoleh kepadaku.” Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani: “Aku dikasih buah delima sama Syaikh Ruzbihan al-Baqli, dan aku sibuk dengan memakan buah itu.” Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024