“Badjingan!” umpat Kifler. Demi memperlihatkan rasa kesal yang tidak hanya muncul di ujung lidah, fonem /d/ dia selipkan di tengah kata bajingan.
“Kamu kenapa?” tanyaku basa-basi.
“Janet…” katanya lirih.
Uh, lagi-lagi wanita itu. Aku bosan sekali mendengarnya. Sudah enam bulan dua puluh tiga hari sejak mereka putus. Sudah enam bulan dua puluh tiga hari, dia tak henti-henti membahasnya. Sudah enam bulan dua puluh tiga hari, telingaku panas mendengar cerita yang itu-itu saja. Aku sampai hafal di luar kepala penyebab mereka putus saking seringnya dipaksa menjadi tempat pembuangan sampah untuk kisah mereka. Aku tidak menanggapi dan berharap dia tidak melanjutkan ceritanya. Tapi, tentu saja itu tidak mungkin terjadi.
“Janet lagi-lagi menceramahiku soal agama,” kata Kifler.
Sebenarnya aku malas menanyakan ini, tetapi entah mengapa mulut bodoh ini malah melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang kuinginkan, “Apa lagi kali ini?”
Kifler lantas bercerita bahwa dia baru saja berkomentar pada unggahan Janet yang mengabarkan seorang teman baru saja meninggal. Kifler mengucapkan semoga khusnul khatimah, tetapi Janet bukannya berterima kasih, malah menyalahkan apa yang ditulisnya.
“Loh di mana salahnya?” tanyaku polos.
“Salah penulisannya. Harusnya husnul khatimah pakai h bukan kh,” kata Kifler dengan penuh penekanan seperti sedang mengumpulkan dahak. Kemudian, dia melanjutkan lagi. “Kalau husnul khatimah berarti akhir yang baik, sedangkan khusnul khatimah berarti akhir yang hina. Janet bahkan memberikan tautan artikel untuk aku baca, ‘supaya aku tidak salah lagi di kemudian hari,’ begitu katanya. Menyebalkan bukan?”
Aku tertawa. “Wah ini persis seperti kemarin waktu kamu menuliskan Insya Allah, dan dia membalas yang benar itu Insha Allah.”
“Persis. Bajingan betul. Transliterasi kok dipermasalahkan.”
“Transliterasi?”
“Iya, itu kan perkara transliterasi saja.”
“Wah apaan tuh?”
Aku selalu tertarik setiap Kifler menyebut istilah yang belum pernah kudengar. Anak ini sebenarnya pintar. Wawasannya luas. Sayang, dia terlalu emosional, dan itu membuat orang malas berurusan dengannya. Persis seperti yang dikatakannya setelah ini.
“Transliterasi saja kamu tidak tahu? Padahal kamu anak Bahasa. Pantas saja IPK-mu di bawah tiga.”
Bangsat! Hampir saja aku mengumpat. Tapi karena aku sangat mengenal Kifler, aku menelan lagi umpatan yang sudah muncul di ujung lidah. Aku tahu betul kalau aku mengumpat, dia akan balas mengumpat, dan kami akan berkelahi. Dia sedang emosi sekarang. Setiap dia emosi, orang lain tidak boleh ikut emosi, karena itu aku menahan diri.
Melihat aku diam saja, dia menjelaskan bahwa transliterasi adalah pengalihan aksara dari dua bahasa yang memiliki aksara dan bahasa berbeda. Pengalihan ini hanya mengalihkan aksara saja, tetapi tidak lambang bunyi, dan itu menyebabkan seringkali terjadi kesalahpahaman terkait penulisannya, karena sesuatu yang lisan, ketika dituliskan sering kali menghasilkan kekeliruan.
“Padahal itu bukan masalah. Yang penting kan maksudnya tersampaikan,” tegas Kifler.
Kifler berhenti bicara lalu menyulut rokok. Rokok itu kemudian diisapnya dalam-dalam sampai pipinya kempot sebelum diembuskan dengan kasar ke arahku. Aku sampai memakinya karena itu. Dia tertawa. Lalu ketika aku berpikir dia telah selesai membahas Janet, dia malah melanjutkan. Aku tahu ini bakal panjang.
“Aku nggak habis pikir dengan orang-orang yang mempermasalahkan hal yang terlalu teknikal seperti itu. Memangnya Allah nggak ngerti maksudnya?”
“Gitu-gitu dia mantanmu,” kataku mengejek.
Kifler mengumpat lagi sambil menatapku garang. Sebenarnya, meski aku sering mengejeknya, aku hampir selalu sepakat dengan apa yang dikatakannya.
“Tapi memang begitu orang-orang yang hijrah itu, baru juga belajar agama sedikit langsung sok pintar. Dikit-dikit ngatain orang salah. Ini bid’ah, itu bid’ah. Lagaknya kayak baru diangkat jadi Nabi!” kata Kifler berapi-api.
Aku menangguk-angguk. “Tapi sepertinya bukan orang-orang yang baru hijrah saja yang begitu.”
“Maksudmu?”
“Kamu tahu Jawwad sepupuku?”
“Yang lagaknya sok ustaz itu?”
Aku mengangguk.
“Kenapa dengan dia?”
Aku kemudian menjelaskan tentang sepupuku yang belum lama ini belajar tentang investasi. Dia begitu berapi-api bercerita tentang bagaimana sebaiknya mengelola keuangan. Dia ingin aku mengikuti jejaknya agar terbebas dari masalah finansial. Dia menjelaskan segalanya mulai dari apa itu investasi sampai ke mana sebaiknya aku melarikan uangku. Sialnya, banyak dari yang dia bicarakan itu terlalu teknis dan bertele-tele. Itu membuatku malas mendengarnya. Selain karena informasi itu tidak penting untukku, informasi itu juga membuatku merasa bodoh.
“Aku sudah tahu itu semua, aku juga punya saham di pasar modal,” kataku berbohong agar Jawwad berhenti bicara. Mendengarku mengatakan itu, bukannya berhenti, Jawwad malah menantangku. Dia meminta aku menjelaskan apa yang kutahu. Aku sadar betul dia memintaku berbicara bukan karena ingin mendengarkan aku berbicara, melainkan untuk memperlihatkan betapa dangkalnya pemahamanku jika dibandingkan dengan pemahamannya terkait pasar modal. Lalu dia terkejut begitu tahu bahwa aku ternyata tahu banyak. Apalagi saat aku cerita tentang berlembar-lembar saham yang kusimpan di pasar modal. Dia mengangguk-angguk mendengarkan. Dia benar-benar percaya semua yang aku katakan. Padahal hampir semua yang aku katakan adalah kebohongan. Aku tidak punya selembar pun saham di pasar modal. Bukan karena aku tidak percaya pasar modal, tetapi karena aku tidak punya uang! Gajiku sebagai pekerja outsourcing tidak seberapa dan selalu habis di tengah bulan. Bagaimana bisa aku menanam uang di pasar modal? Untuk menyambung hidup dari bulan ke bulan saja tidak cukup, apalagi sampai disisihkan buat investasi. Meski begitu, aku tahu banyak soal dunia investasi karena aku sering ikut seminar pasar modal. Aku ikut bukan untuk cari ilmu, melainkan untuk dapat makan siang gratis!
Setelah dia terkesima mendengarkan aku bicara, aku berharap dia berhenti mengajakku bicara soal investasi. Rupanya aku salah. Dia malah semakin bersemangat.
Jawwad lalu menunjukkan sebuah grafik di telepon pintarnya tentang platform investasi yang sangat potensial, dikelola seorang ulama yang kerap berdakwah tentang pentingnya sedekah. Dia menceritakan keuntungan-keuntungan yang akan aku dapatkan jika aku berinvestasi di perusahaan milik ulama itu. Keuntungan yang pertama, tentu saja masuk surga. Bagaimanapun juga, ini adalah investasi syariah!
Begitu kata syariah terucap, aku memintanya berhenti. “Aku tahu yang kamu maksud,” kataku. Tapi dia tidak berhenti dan malah tambah semangat menggedor-gedor telingaku dengan kata rayuan. Dia terus berbicara panjang lebar. Aku tidak lagi memotongnya. Aku berharap dia cepat selesai, tetapi dia tak henti-hentinya berbicara. Dia berbicara seolah dirinya adalah juru selamat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan hidupku, menyelamatkan masa depanku. Padahal dia bisa saja melakukan itu dengan berhenti bicara karena saat itu aku sudah terlambat bekerja. Jika aku terlambat lagi, atasanku bisa memecatku. Namun, mulutnya seperti air bah yang terus saja memuntahkan limbah.
Kifler menghentikan ceritaku, “Apa hubungannya ceritamu dengan ceritaku?”
“Kamu tidak paham, ya?” tanyaku.
Kifler menggeleng.
“Percuma IPK-mu di atas tiga!”
Kifler memakiku. Aku tertawa. Lalu dia kembali tenggelam dalam telepon pintarnya. Aku sebenarnya ingin mengatakan ke Kifler bahwa ceritaku tentang Jawwad sangat berhubungan dengan ceritanya tentang Janet. Bukan karena Jawwad dan Janet sama-sama suka berbicara hal yang teknis dan melupakan apa yang esensial, bukan pula karena nama mereka sama-sama diawali huruf J, melainkan karena hubungan keduanya. Aku ingin bercerita ke Kifler tentang mereka, tetapi aku tidak tahu bagaimana melakukan itu tanpa melukai perasaannya.
“Dia mau nikah,” ujar Kifler lirih. Nada bicaranya tiba-tiba melunak seperti nasi yang baru tanak.
“Siapa?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Janet akan menikah. Guru ngajinya memperkenalkan dia dengan seseorang,” katanya lemah.
Kifler terdengar seperti sedang menyangkal apa yang baru saja dikatakannya. Aku diam, tak berani berkomentar. Aku takut salah bicara.
***
Di suatu pesta yang cukup meriah, aku mencari-cari wajah Kifler. Mataku memandang sekeliling, mencari-cari wajah sedih di antara wajah-wajah bahagia. Menurutku itu cara paling mudah mencarinya di antara ratusan tamu undangan.
Aku kecewa. Tak kulihat bayangan Kifler.
Tujuh bulan empat belas hari yang lalu, Janet memutuskan hubungan dengan Kifler. Janet berkata, dia telah lelah berbuat dosa dan ingin kembali fitrah. Janet yakin, putus adalah satu-satunya jalan. Kifler berkata, dia bisa berubah jika Janet mau. Akan tetapi Janet tidak mau. “Aku tidak bisa berubah jika masih bersamamu,” balas Janet. Kifler marah bukan main. Dia marah karena mengingat dirinya yang dulu lugu, diperkenalkan dengan cinta-cintaan orang dewasa oleh Janet.
Tidak ada yang menarik dan perlu diceritakan dari pesta pernikahan Janet. Benar-benar tidak ada yang menarik dan perlu diceritakan dari pesta pernikahan itu tanpa kehadiran Kifler. Ia tidak ada bedanya dengan pesta-pesta pernikahan di mana pun: sebuah euforia sekejap mata yang ditebus oleh kredit seumur hidup bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan. Namun, demi rayuan manis bernama perayaan sekali seumur hidup—yang seringnya tidak hanya terjadi sekali—orang-orang rela menghabiskan uang, bila perlu sampai berutang. Dan aku tahu benar bahwa orang tua kedua mempelai ini berutang kepada keluarga mereka demi memeriahkan acara pernikahan ini. Aku tahu karena calon suami Janet adalah sepupuku, Jawwad. Ternyata itu juga alasan dia serius berinvestasi di sebuah platform investasi syariah milik guru ngajinya. Dia ingin masa depannya cerah. Semoga!
Ketika aku sudah berniat pulang karena bosan, Kifler datang. Dia tampak kikuk. Aku mengajaknya mengambil hidangan, tetapi dia menolak. Dia berkata sudah kenyang dengan kebohongan. Kemudian, dia berkata bahwa dia hanya sebentar, hanya ingin mengucapkan selamat dan memberi salam perpisahan kepada kedua mempelai sebelum pamit. Aku mengekor di belakangnya.
Begitu sampai di depan kedua mempelai, mendadak Kifler menegakkan cara berdirinya dan mengubah gaya berjalannya. Itu membuat dia terlihat lebih gagah daripada hari-hari biasa. Dengan penuh percaya diri, dia menyalami mempelai wanita. Namun, Janet menolaknya dengan halus. Dia menaruh tangan di depan dada mengisyaratkan bahwa mereka bukan muhrim. “Mashaallah tabrakallah,” ujar Kifler meniru apa yang kerap dikatakan Janet setiap melihat sesuatu yang baik dan patut dipuji. Setelah mengatakan itu, dia tersenyum sinis. Aku bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Aku tahu segala hal gila yang pernah dilakukannya. Karena itu, aku menyenggolnya agar dia membatalkan pikiran gila yang mungkin sedang hinggap di kepalanya.
Kifler lantas beralih ke mempelai pria yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum. Saat hendak menyalami mempelai pria, Kifler merangkulnya. Dia mencium pipi kiri dan kanan Jawwad seolah sedang menyalami saudara seperjuangan. Namun, dia tidak berhenti di sana. Dia kemudian membisikkan sesuatu di telinga Jawwad. Aku memasang telinga karena penasaran apa yang akan dikatakannya kepada sepupuku, tetapi aku tidak bisa mendengarnya. Lalu ekspresi wajah Jawwad berubah seratus delapan puluh derajat, dari yang tadinya tidak berhenti tersenyum menjadi seperti kera gila. Matanya melotot seperti akan copot. Wajahnya berubah merah seperti dipaksa menahan napas melewati batas. Dia terlihat ingin sekali mencekik Kifler, namun lelaki itu malah berlalu dengan santainya. Aku langsung merasa tak enak hati dengan Jawwad. Aku berlari mengejar Kifler.
“Apa yang kamu katakan ke Jawwad?” tanyaku kesal. “Kenapa dia sampai marah begitu?”
“Bukan apa-apa.”
“Bukan apa-apa apanya?”
“Benaran bukan apa-apa, kok. Cuma kado pernikahan. Aku lupa bawa kado, jadi tadi itu kado pernikahan dariku.”
Aku menyedot air mineral di tanganku sambil memikirkan apa yang kira-kira dibisikkan Kifler kepada Jawwad hingga lelaki itu muntap. (*)
Blencong, 2022-2024
- Atin Bercita-cita Menjadi Kepala Sekolah di Luar Angkasa - 13 December 2024
- Apa yang Dibisikkan Kifler ke Telinga Jawwad? - 2 August 2024
- Kursus Mengumpat - 1 December 2023
Ķini
Wah ceritanya di luar dugaan, menarik untuk dibaca ⭐⭐⭐⭐⭐
OCI
Isi ucapannya apa?
oppa-oppa trenggalek
boleh juga. ringan, menghibur, dan agak nyebelin. wkwk
ayaadna
Kereenn ceritanya, tapi penasaran sama apa yang di bisikin ke Jawwad😭
Nurr
Katanya, “investasi syariahmu itu ternyata haram.”
Hapitz
Bikin penasaran aja
Al
Hahaha gue tau bgt nih apa yang dia bisikin
indri lesmana
seru banget bacanyaa
natashahia
bisikkannya apa? (╥﹏╥)