Nama beliau adalah sebagaimana judul di atas. Baik di dalam kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurahman al-Jami maupun di dalam kitab Hilyah al-Awliya karya Syaikh Abu Nu’aim al-Ashfihani tidak saya temukan keterangan tentang kapan dan di mana beliau lahir dan wafat.
Tapi baiklah, hal itu tidak mengurangi ungensitas beliau untuk diulas secara singkat di dalam esai pendek ini. Beliau yang telah bertekad memutuskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah Ta’ala dan senantiasa menyuarakan hakikat kebenaran, tetaplah menjadi tokoh yang sangat penting untuk dikenang sekaligus diteladani.
Tentang kekukuhan spiritualitas beliau, Syaikh al-Murta’isy mengungkapkan kesaksiannya melalui tanya-jawab dengan beliau sebagaimana rekaman berikut ini. Syaikh al-Murta’isy bertanya kepada beliau tentang masalah tasawuf. Dan karena beliau sudah dua puluh tahun tidak berbicara dengan seorang pun, beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan langsung menukil sebuah ayat: “Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah,” (QS. al-Ahzab: 23).
Syaikh al-Murta’isy melanjutkan pertanyaannya kepada beliau tentang sifat mereka. Beliau menjawab dengan mengutip sebuah ayat: “Mata mereka tidak berkedip dan hati mereka kosong,” (QS. Ibrahim: 43).
Syaikh al-Murta’isy bertanya lagi kepada beliau tentang posisi mereka di dalam dunia rohani. Beliau menjawab dengan mengutip sebuah ayat lagi: “Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa,” (QS. al-Qamar: 55).
Untuk yang terakhir kalinya Syaikh al-Murta’isy memohon kepada beliau untuk mendapatkan tambahan wejangan, beliau malah membacakan ayat berikut ini: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawaban,” (QS. al-Isra’: 36).
Idiom “rijal” pada ayat 23 surat al-Ahzab itu secara harfiah bermakna para lelaki. Itulah para lelaki rohani yang kepada mereka dianugerahkan kemenangan setiap bertarung melawan nafsu amarah mereka sendiri. Dan ketika mereka senantiasa memperoleh kemenangan demi kemenangan, maka tugas mereka jelas tidak hanya menyelamatkan diri mereka sendiri, tapi juga dengan perkenan hadiratNya, menggiring orang-orang lain untuk menjauh dari murka Allah Ta’ala.
Itulah hakikat para sufi. Mereka adalah teofani-teofani hadiratNya. Melalui perantara mereka Allah Ta’ala menyebarkan cinta dan kasih sayang, melabuhkan gelombang-gelombang cahaya petunjuk ke lubuk-lubuk hati manusia.
Dalam konteks pemahaman dan tafsir sufistik, ayat 43 surat Ibrahim itu menunjuk kepada orang-orang yang senantiasa tertegun kepada Allah Ta’ala, baik siang maupun malam, dalam kondisi berdiri, duduk dan berbaring. Sementara hati mereka kosong dari apa pun selain hadiratNya. Sedangkan ayat 55 surat al-Qamar, dalam konteks pemahaman tafsir Ibn ‘Arabi (1165-1240), menunjuk kepada sebuah kedudukan rohani seseorang yang telah mengalami dan merasakan wihdatul wujud. Yakni, seseorang itu telah merasakan secara haqqul yaqin bahwa wujud itu hanyalah satu yang tak lain adalah wujud Allah Ta’ala semata. Selebihnya cuma merupakan bayang-bayang dari wujud hadiratNya. Tak lebih dari itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024