Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula

Beliau semula berada di Hirat di zaman Syaikh Abu Sa’id ad-Duni az-Zahid. Pada suatu hari, Syaikh Abu ‘Abdillah masuk terlebih dahulu ke dalam masjid sebelum masuknya Syaikh Abu Sa’id ad-Duni. Beliau kemudian memulai pembicaraan di masjid itu bahwa tauhid yang murni adalah apa yang beliau bicarakan kepada setiap orang yang mendengarkannya.

Artinya adalah bahwa tauhid secara dzati tak lain ialah mengakui Allah Ta’ala sebagai satu-satunya wujud yang wajib ada. Sementara segala sesuatu yang lain termasuk sesuatu yang boleh ada, boleh juga tidak ada. Tergantung kepada Allah Ta’ala yang mewujudkannya. Itu saja konsepnya.

Jadi, dengan demikian, yang ada di dunia ini adalah Allah Ta’ala dan segala sesuatu yang dikehendakiNya. Dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh hadiratNya itu mutlak bergantung kepada Allah Ta’ala. Karena itu, tidak bisa hal itu dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya lain.

Atau dengan kalimat lain ialah bahwa hanya Allah Ta’ala yang ada dan segala sesuatu yang merupakan bukti keagungan hadiratNya. Selebihnya tidak ada. Mutlak tidak ada. Betapa ringkasnya teologi dalam Islam itu. Segala sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak ada wajib bergantung kepada yang mutlak ada.

Bergantung kepada sesuatu yang mutlak itu merupakan hal yang wajib ada. Apakah itu dikatakan atau tidak. Rata-rata kebanyakan makhluk merasa bahwa mereka tidak wajib bergantung kepada Allah Ta’ala. Salah. Mereka tidak bisa eksis tanpa bergantung kepada hadiratNya.

Akan tetapi kalau mereka membutuhkan dalil yang mendukung pernyataan ini atau itu, itu berarti mereka membutuhkan Syaikh Abu Sa’id ad-Duni az-Zahid. Tidak boleh tidak harus ada beliau. Keberadaan beliau akan membuat persoalan tersingkap seterang-terangnya.

Di sini sekarang ada dua tokoh. Yang satu berbicara dengan segamblang-gamblangnya dengan didukung oleh dalil dan bukti. Yang satunya lagi cuma berbicara seperlunya, sangat minimalis. Tapi jelas bahwa dia mengalami apa yang dia bicarakan. Pembicaraan itu bersumber dari pengalamannya.

Orang yang seperti itu harus ada. Bahkan keduanya itu harus ada. Orang yang seperti Syaikh Abu Sa’id ad-Duni az-Zahid menjadi contoh bagi banyak orang bahwa segala sesuatu itu bisa dijelaskan dengan gamblang. Orang yang seperti Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula juga harus ada, betapa untuk sampai kepada Allah Ta’ala sangat nyata.

Menurut Syaikh al-Islam, perkataan para sufi itu hakikatnya satu. Yang satu berbicara dengan tertib dan mengikuti berbagai ketentuan. Sementara yang satunya lagi tidak bisa tertib dan tidak mematuhi aturan, lalu Allah Ta’ala mengambilnya dan menjadikannya sebagai kekasihNya.

Sebagaimana Nabi Harun yang lebih lancar dan lebih fasih ketika berbicara. Tapi kenabiannya atas dasar permintaan Nabi Musa kepada Allah Ta’ala. HadiratNya mengijabahi permintaan itu. Sehingga dua nabi itu menjadi satu kesatuan di dalam mengajak umat kepada hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!