DALAM, SAMPAI TERISAP DALAM

Saya seorang tua. Usia saya sudah 72, meski begitu saya masih saja ketiban musibah. Beberapa waktu lalu, motor saya ditilang karena mati STNK dan SIM. Saya mohon-mohon kepada polisi agar tidak membawa motor saya ke polres. Tetapi dia bilang tidak bisa, saya mesti bayar denda ke bank guna menebusnya.

“Kalau begitu,” balas saya, “dendanya dibayar sekarang saja, bagaimana?”

Agak lama dia baru menjawab, “Katanya masyarakat ingin polisi jujur, tak bisa disuap. Gimana sih, Bapak?”

“Oh, bukan,” kata saya, “ini bukan suap, hanya denda titipan.”

Dia terkekeh dan terus saja mengendarai motor saya menuju polres. Saat kembali, dia memberikan surat tilang lengkap dengan pasal yang saya langgar.

Saya tidak dapat segera mengurusnya. Selama dua minggu berikutnya, saya pergi ke kota untuk mengunjungi anak saya yang sudah lama tak pulang. Sepulangnya itu, baru saya menjemput motor. Tetapi terkejutlah saya melihat bahwa motor matik saya yang mendekam di polres berminggu-minggu itu telah kehilangan sebuah kaca spion.

Alangkah terkagetnya saya lagi saat hendak menstarter motor. Saya malah tidak mendapat respons apa pun. Dan ketika saya cek, aki motornya telah ikut hilang pula.

Marah besar saya di polres itu. Bagaimana bisa instansi yang tugasnya menangkap maling malah kemalingan? Namun, tak seorang pun yang kemudian memberi saya jawaban berarti. Semua bilang tidak tahu.

            Lantas belum selesai saya meredam emosi karena kehilangan aki dan kaca spion motor, sesampainya di rumah, saya harus kembali menemukan bahwa ayam yang saya pelihara di halaman belakang ternyata juga hilang. Apes benar.

Saya pikir, ayam-ayam saya ditangkap musang. Celah-celah kayu kandang cukup lebar untuk dimasuki musang. Maka, setelah membeli tiga ayam baru di pasar, saya mulai memasang jaring.

Tiga ayam itu bertahan cukup lama. Berminggu-minggu saya selalu dibangunkan oleh suara ayam jago yang seekor itu. Begitu pun setiap sore, suaranya menjadi teman saya minum kopi dan merokok sambil menatap pohon munggur yang teduh.

Hanya saja momen seperti itu tak bertahan selamanya. Suatu pagi saya terlambat bangun. Saat terjaga, terkaget-kaget saya melihat matahari tegak lurus di langit. Saya heran, bagaimana bisa seekor ayam terlambat berkokok? Saya periksa halaman belakang, dan benar saja, ayam jago itu telah menghilang.

Saya kesal. Saya mendesak dua ayam yang lain untuk menjawab pertanyaan saya ke mana ayam jago itu pergi. Namun, ayam-ayam itu hanya menjerit berlompatan. Setelah ayam jago itu menghilang, mulailah saya kehilangan ayam yang lain satu per satu. Hingga suatu hari saya tak lagi memiliki apa-apa.

Sudah tua begini, masih saja mengumpan sial.

Bagaimana cara mencari dan mengejar musang yang telah memusnahkan seluruh ayam saya itu? Saya tak sanggup berlari, dan seorang muda dengan tongkat barangkali lebih kencang larinya dibanding saya. Bahkan bila diajak berlomba dengan bayangan, tentu bayangan saya lebih cepat sampai ke rumah.

Saya duduk di beranda halaman belakang, memandang hampa kandang yang kosong. Yang tersisa hanyalah kotoran dan baunya yang menyengat. Burung-burung pipit beterbangan di udara dan turun lalu berjejal di tanah mematuk-matuk sisa pakan yang ada di pekarangan.

Samar-samar saya mendengar seekor burung itu mencemooh. Dengan kepala miring dan mata yang menatap kepada saya, ia berkata kepada kawannya, “Lihat orang tua itu, dia mesti tak bisa berbuat apa-apa.”

Sialan memang ketuaan ini. Sudahlah tidak bisa berbuat terlalu banyak, harus juga merasa kesepian sepanjang hari.

Semenjak istri saya meninggal, anak-anak jarang pulang. Laki-laki tampaknya memang lebih akrab kepada ibunya. Walaupun memang saya yang meminta ketiga anak saya untuk merantau, sekolah biar pintar, dan rajin bekerja biar kaya. Saya tak mau suatu hari mereka menyusahkan orang lain. Mereka harus berdiri di atas kakinya sendiri. Dan pastinya agar tidak mencuri kepunyaan orang lain, seperti musang dan maling di polres itu.

Saya paling benci pencuri. Saya selalu menceramahi anak saya agar tidak mencuri. “Dalam figur apa pun, entah miskin kau nanti, apalagi polisi atau presiden, jangan sekali-kali mengambil yang bukan hakmu!” begitu saya ingatkan mereka.

Saya berjalan mendekati pohon munggur di samping kandang. Saya lihat pohonnya telah memekarkan bunga-bunga merah muda. Satu dua berguguran ke rambut saya. Di sana kemudian saya menunduk dan merenung.

Mengapa aki motor saya dapat hilang di kantor polisi? Saya kesal. Saya lebih dapat mengerti perkara spion, gampang tinggal dicabut saja. Tetapi aki motor, duh, pasti ini pekerjaan orang niat. Seseorang mesti membongkar bodi motor saya bila hendak mengambil akinya.

Memang di parkiran motor-motor yang ditilang di polres itu ada seorang tukang parkir. Mula-mula saya mencurigai dialah pelakunya. Tetapi melihat bagaimana bisa ratusan polisi di polres itu tidak menyadari bahwa ada maling di sana membuat saya curiga, jangan-jangan maling telah ikut bersekongkol dengan polisi? Atau polisi ialah maling itu sendiri?

Saya geleng-geleng. Jika memang polisi yang mengambil aki saya, sayang betul nasib bangsa ini.

            Kemudian tiba-tiba saya menangkap sesuatu yang ganjil di sudut tanah pekarangan belakang itu. Saya mendekat lalu menengok dengan agak membungkuk. Seketika saya terhenyak, ternyata ada sobekan yang besar di jaring itu. Dan di benang jaring yang terkoyak, terdapat lelehan seperti habis dibakar ujung rokok atau korek api. Saya tak melihatnya selama ini karena jaring itu berlebih dan saling terbelit di tanah sehingga tak kelihatan sama sekali.

            Saya kembangkan jaring itu dan besar sekali lubangnya hingga dapat memuat seluruh tubuh saya keluar-masuk.

            “Pencuri!”

            Cepat naik udara di dada saya. Paru-paru saya kembang-kempis tak keruan hingga saya mesti berpegangan pada kayu pancang. Mata saya berkunang-kunang di tengah kelam yang timbul-hilang. Rasanya sesak dan tungkai saya melemah dan saya nyaris terjatuh.

            Selama ini saya mengira musanglah pelakunya, ternyata manusia.

            Sore itu juga saya katakan, “Tuhan, jangan cabut nyawa saya dulu. Tunggu saya menemukan siapa pencuri ayam itu!”

Angin seketika bertiup-tiup membelai muka dan rambut. Bunga-bunga merah muda pohon munggur berhujan-hujan jatuh menimpa badan saya. Saya tak main-main.

            Keesokan harinya, saya membeli lima ekor ayam lagi dan memanggil tukang untuk memasang CCTV di sudut kiri loteng belakang yang mengarah ke kandang ayam. Dan saya menunggu ayam saya dicuri. Saya sungguh berharap ayam saya dicuri. Saya berdoa kepada Tuhan, seseorang curilah ayam saya.

Lalu detik terus saja berlalu menjadi hari. Hari-hari kemudian menyatu dalam minggu dan bulan tanpa pencurian ayam. Bunga merah muda pohon munggur telah sempurna berguguran. Musim-musim tak segan berganti. Halaman belakang sekali waktu kering lalu becek oleh hujan berkepanjangan. Anak-anak saya pulang membawa hadiah-hadiah bagus dan pergi merantau lagi. Ayam yang semula lima, kini telah beregenerasi sekian kali tanpa sekalipun dicuri. Dan demikian pula saya bertambah tua.

Pagi-pagi saya pandangi wajah di cermin. Kulit-kulit saya telah amat mengendur. Bintik-bintik hitam merebak di sekujur pipi dan mata. Hari ini adalah ulang tahun saya yang ke seratus. Tadi seorang suster mengucapkan selamat. Saya diam saja. Terlalu lelah rasanya. Sungguh segala-galanya telah begitu melelahkan. Badan saya ringkih tak bisa bergerak sesuka hati. Saya mesti memerintah seseorang untuk menggerakkan badan saya ke mana-mana saya mau dengan kursi roda.

Ini semua perkara pencuri ayam. Saya banyak kehilangan dalam hidup. Dalam masa-masa penantian itu, anak saya yang pertama telah menjabat posisi strategis di pemerintahan, anak kedua akuntan, dan anak ketiga seorang bankir. Mereka semua telah sukses tanpa sekali pun saya ingat momen-momen kepulangan mereka. Lagi pula, kalau ada pun semuanya telah telanjur dilahap ingatan saya yang berkarat.

Sementara pencuri itu sama sekali tak mendapat balasan apa-apa. Saya pikir, sepertinya dia telah pensiun menjadi pencuri. Gairah saya hidup sepenuh-penuhnya hilang dibuatnya.

Siang ini, anak-anak merencanakan makan siang bersama di rumah saya. Mereka datang bersama anak dan istrinya. Cucu-cucu saya cepat mengelilingi saya dan hendak mendengarkan cerita-cerita seperti biasa saat mereka berkunjung. Namun saya telah kehabisan cerita. Saya banyak diam.

Saya ingin semua berakhir. Saya ingin hari berlalu semakin cepat hingga suatu hari tak perlu lagi menyambut pagi. Namun, perkataan saya waktu itu manjur tampaknya. Saya mesti menemukan pencuri itu. Pikiran saya jarang terlepas darinya. Sebab itu, ketika makan-makan, saya hanya sekali bicara, yaitu menyayangkan kenapa anak pertama saya tak bisa ikut makan siang bersama. Dan dua anak saya beserta istrinya sekadar menunduk dan menengok satu sama lain.

Seusai makan-makan itu saya duduk di ruang tamu bersama mereka. Anak-anak kecil berlarian kejar-kejaran, berlompatan di sofa di tengah TV menyala. Tetapi saya menengok keluar jendela, memandangi pohon munggur yang setiap beberapa bulan sekali harus ditebang batangnya. Bunga-bunga merah mudanya telah tumbuh lagi.

Setiap kali ada yang berbicara kepada saya, saya hanya diam. Saya memandangi pohon munggur itu bersama bunga-bunganya yang cantik sambil sesekali memikirkan, mengapa pencuri itu tak kunjung datang-datang lagi dan mencuri ayam saya? Padahal saya telah menyiapkan segala-galanya buat dia.

Hingga tahu-tahu, televisi sekonyong-konyong menyebutkan nama anak pertama saya. “Anak saya masuk TV?” batin saya. Namun, dengan cepat TV itu lantas dimatikan oleh anak kedua.

“Nyalakanlah lagi,” kata saya. Tetapi dia tak mau. Dia malah mengalihkan perhatian ke yang lain-lain, termasuk membicarakan ayam-ayam di halaman belakang.

“Nyalakan lagi!” tegas saya.

Berulang kali saya meminta dan barulah TV-nya dinyalakan kembali setelah dia melihat wajah saya yang memerah. Namun, sebentar saja saya menonton berita. Setelahnya saya merasa puas, amat puas; anak saya gagah pakai rompi oranye di hadapan wartawan.

Saya meminta suster mendorong kursi roda ke beranda halaman belakang. Saya ingin melihat lebih jelas bunga pohon munggur yang berwarna merah muda itu, yang kecil-kecil, yang tampak seperti penari balet saat ditiup angin.

Kemudian saya menengok ke kiri lalu sedikit mendongak. Sejenak tersenyum, CCTV itu selama ini dipasang di tempat yang salah. Saya ingin tertawa keras-keras, tetapi tidak mampu. Saya hanya menatapnya dalam-dalam. Dalam sekali sampai terisap ke dalamnya.[]

2024

Nuzul Ilmiawan
Latest posts by Nuzul Ilmiawan (see all)

Comments

  1. Rie Arshaka Reply

    Menarik

  2. Dokumentasi_kata Reply

    Lalu, harusnya dipasang di mana? :”)

  3. By Reply

    Selalu harus untuk dibaca,

  4. orang baik Reply

    mantap zull

  5. Dini Reply

    Epik

  6. sukanda Reply

    luar biasa ,dengan bahasa yang sederhana pengarang mampu mengajak pembaca untuk terus membaca cerpen tanpa terasa.Saya benar benar ini bukan seperti cerpen namun seperti kenyataan dalam sehari hari,Saya salut selamat ya,

  7. Yoga162 Reply

    kelass

  8. Ignasius Reply

    Plot twist banget endingnya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!