Beliau adalah Abu ‘Abdillah ash-Shufi. Termasuk sufi agung di Baghdad. Memiliki banyak karamah. Wafat pada tahun 279 Hijriah.
Tentang gambaran mengenai keagungan spiritualitas beliau, ada sebuah kisah yang dituturkan oleh Syaikh Ibn al-Qashshab ar-Razi sebagaimana berikut ini: “Bapakku punya toko di pasar Baghdad. Waktu itu, aku duduk di pintu toko. Lalu, lewatlah seseorang. Aku kira dia salah seorang fakir di Baghdad.
Waktu itu aku belum mencapai usia baligh. Aku gandrung kepadanya. Aku berdiri dan menguluk salam kepadanya. Dinar yang kumiliki, kuberikan kepadanya. Dia menerimanya dan terus berjalan tanpa menoleh kepadaku. Aku berpikir dan aku katakan, ‘Aku telah membuang sia-sia satu dinar.’
Aku ikuti orang itu hingga akhirnya sampai di masjid Syuniziyyah. Di dalam masjid terdapat tiga orang fakir yang sedang duduk-duduk. Orang yang kuikuti memberikan dinar pemberianku kepada salah seorang di antara mereka bertiga. Sementara dia sendiri langsung menunaikan shalat.
Orang yang menerima dinar tadi keluar masjid. Kuikuti dari belakang. Dia membeli makanan dan dibawa ke teman-temannya di masjid. Mereka makan bersama kecuali orang yang shalat tadi. Selesai mereka makan, orang yang tadi shalat itu menoleh ke arah mereka dan berkata, ‘Kalian tahu orang yang mencegahku makan bersama kalian?’ Jawab mereka, ‘Tidak, wahai guru kami.’
‘Dia adalah anak muda yang telah memberikan dinar kepadaku. Aku telah mendoakannya agar Allah Ta’ala memerdekakan dia dari belenggu dunia. Kini Allah Ta’ala telah membebaskannya dari belenggu dunia’.”
Pelajaran spiritual apakah yang bisa kita ambil dari kisah tersebut? Pertama, orang yang hatinya telah suci dari berbagai macam keinginan kepada selain Allah Ta’ala, akan dengan sangat mudah digandrungi oleh seseorang yang memiliki kemungkinan untuk dekat dengan hadiratNya.
Kedua, orang yang telah sanggup menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya kiblat bagi keseluruhan dari rangkaian hidup dan matinya, akan menerima karunia tanpa sedikit pun tertegun terhadap karunia tersebut karena perhatiannya sudah murni tertuju kepada hadiratNya belaka.
Ketiga, mendoakan orang lain bukan terutama agar orang yang didoakan itu mendapatkan berbagai macam karunia materi, akan tetapi agar orang tersebut terbebaskan dari aneka ragam belenggu yang mencegahnya untuk sampai kepada Allah Ta’ala.
Keempat, dalam kondisi sangat membutuhkan terhadap kebutuhan pokok yang berupa makanan, tetap saja sang sufi mendahulukan keberpihakan terhadap lapar orang lain. Hidupnya sangat altruistik. Deritanya sendiri tak terlalu dipikirkan. Yang terutama dipikirkan adalah bagaimana orang-orang yang fakir itu bisa makan.
Semua perilaku terpuji itu tidak lain merupakan cerminan dari jalan kesufian. Andaikan di dalam hidup ini kita sanggup menghiasi diri dengan perilaku-perilaku tersebut, sungguh kita berarti telah dianugerahi karunia rohani yang sangat agung dan mulia. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024