Syaikh Abu Al-Harits Al-Ulasi

Nama beliau adalah Faydh bin al-Khadhir. Salah satu dari santri Syaikh Ibrahim bin Sa’d al-‘Alawi. Sebagian dari pembahasan tentang beliau juga tertera di pembahasan tentang gurunya itu.

Tentang kemuliaan dan keagungan gurunya itu, beliau pernah bertutur: “Pada suatu hari, aku pernah berada di sebuah benteng bernama Ulas yang tertancap kukuh di suatu pantai di Syiria. Ingin sekali aku keluar dari benteng itu. Setelah sejenak keluar, aku menyaksikan seseorang yang sedang shalat di antara pepohonan. Menyaksikan wibawa dan keagungannya, aku betul-betul merasakan kegentaran menjalar di dalam hatiku.

Setelah kudekati, ternyata orang yang shalat tadi adalah guruku sendiri, Syaikh Ibrahim bin Sa’d al-‘Alawi. Beliau mempercepat shalatnya, lalu mengucap salam kepadaku.

Sesaat kemudian, beliau mendekat ke tubir pantai. Menggerak-gerakkan kedua bibirnya. Ikan-ikan tiba-tiba berbaris. Menghadap kepada beliau, seakan menawarkan diri untuk ditangkap.

Seketika tebersit di dalam hatiku: ‘Ke mana saja para pemburu ikan, kok tidak ke sini sekarang.’ Serta-merta ikan-ikan itu kabur. Syaikh Ibrahim bin Sa’d al-‘Alawi, guruku itu, lalu menimpali: ‘Kau belum bisa, wahai Abu al-Harits, sepenuhnya menyelami telaga rohani. Bebaskan hatimu terlebih dahulu dari cengkeraman makhluk. Merasalah cukup terhadap materi yang sedikit saja hingga kau dijemput kematian.’

Lalu, seketika beliau hilang dari hadapanku. Dan setelah itu aku tak pernah melihat beliau lagi. Untuk selamanya.”

Kita sebagai makhluk yang lemah, yang lahir dan dibesarkan di dunia yang fana dan semakin tidak keruan ini, betapa tidak mudah memerdekakan diri dari cengkeraman dan rayuan makhluk. Betapa sulit, untuk tidak mengatakan nyaris mustahil, menuntaskan hidup hanya untuk Allah Ta’ala semata.

Tapi betapa pun tidak mudahnya untuk mencapai dan menikmati hadiratNya itu, sungguh hal tersebut sama sekali bukanlah alasan bagi kita untuk menghentikan proses perjalanan spiritual agar bisa mencapai martabat rohani yang sempurna.

Sudah banyak orang yang sampai pada kedudukan-kedudukan terpuji itu. Kita mesti mengikuti napak tilas mereka. Sesuai dengan kesanggupan kita. Dengan penuh ketulusan dan kesungguhan. Sembari bersenandung agar tidak terlalu letih di sepanjang perjalanan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!