Syaikh Abu al-Husin as-Sarki

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, tak lebih dan tak kurang. Sangat sedikit referensi yang berbicara tentang beliau. Kata “as-Sarki” yang dinisbatkan kepada nama beliau adalah sebuah desa dari desa-desa di Thus, Iran. Tapi beliau tidak diketahui lahir pada tahun berapa, pun tak diketahui wafat pada tahun berapa.

Beliau pernah tinggal di Mekkah beserta para sufi yang lain seperti Syaikh as-Sirwani, Syaikh Abu al-‘Abbas as-Suhrawardi, Syaikh Abu Usamah, Syaikh Abu al-Khair al-Habsyi, Syaikh Abu Sa’id asy-Syarazi, Syaikh Muhammad as-Sakhiri. Mereka semua bersahabat. Mereka semua takzim kepada beliau.

Menurut Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam bahwa Syaikh Abu al-Husin as-Sarki pernah berada di gurun pasir bersama para sufi seperti Syaikh Abu Sa’id asy-Syarazi, Syaikh Abu Usamah al-Harawi, Syaikh Muhammad as-Sakhiri dan lain sebagainya.

Angin yang berhembus tiba-tiba sangat panas. Syaikh Abu al-Husin kemudian mengatakan: “Janganlah kalian merasa khawatir, sama sekali jangan. Semua akan menjadi tanggunganku. Aku akan bertanggung jawab kepada kalian dengan rohku. Kalian semua insyaallah akan selamat.”

Betapa sangat bertanggung jawab Syaikh Abu al-Husin as-Sarki itu. Demi keselamatan kawan-kawannya, beliau berani mempertaruhkan nyawanya sendiri. Demi apa? Tidak lain semata demi mereka. Karena apa? Pastilah karena Allah Ta’ala, bukan karena apa atau siapa pun yang lain. Apa atau siapa pun yang lain terlampau ringkih untuk dijadikan alasan.

Apa yang dikatakan oleh beliau menjadi kenyataan. Kemudian setelah hal itu terjadi, turunlah hujan, deras sekali. Sampai tercipta banjir yang sangat besar. Dan beliau, dengan terpaksa, menyerahkan diri kepada banjir yang sangat besar itu. Beliau menemukan wafatnya di tengah banjir bandang itu.

Betapa sangat terhormat beliau. Demi keselamatan kawan-kawannya, demi keselamatan orang-orang lain, beliau menyerahkan diri kepada hadiratNya. Mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai beliau. Semua tindakan beliau adalah mu’amalah yang sangat nyata dan paling pungkasan di hadapan hadiratNya.

Menurut Syaikh al-Islam, pada suatu hari, Syaikh Abu al-Husin as-Sarki berada di Masjid al-Haram Mekkah. Terjadi pembicaraan di antara para sufi. Masing-masing mereka mengatakan bahwa “aku adalah seorang sufi, aku adalah seorang sufi.” Padahal sufi yang sebenarnya adalah dia yang ketika namanya ditulis di tembok, tidak seorang pun yang bisa melewatinya.

Kenapa tidak bisa melewatinya? Tak lain karena keagungannya. Sehingga siapa pun dia, biarpun seorang raja, tidak akan pernah bisa melewatinya kalau tidak dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Kenapa demikian? Tak lain karena seorang sufi senantiasa bersama dengan hadiratNya semata.

Betapa beruntung menjadi seorang sufi. Minimal beruntung secara spiritual. Terutama ketika beliau fokus kepada Allah Ta’ala. Tidak ada siapa pun di hadapannya kecuali hadiratNya. Punya uang atau tidak punya uang sudah tidak dihitung lagi oleh beliau. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!