Telur Kepala

“Pada suatu hari,” kataku kepada istriku.

“Ada seekor naga jahat yang bisa menyemburkan api dari mulutnya,” ia memotong.

“Ada seorang lelaki yang menderita insomnia berat,” kataku. “Ia tidak pernah bisa tidur sebelum pukul empat dini hari. Dan suatu pagi, sesudah terbangun dari tidur singkat pada pukul tujuh, ia menemukan kepalanya telah berubah menjadi sebutir telur.”

Istriku menggeleng-gelengkan kepala. “Kumohon,” katanya, “seekor naga akan menetas dari telur itu. Aku menyukai semua cerita tentang naga.”

Aku mengangkat bahu. “Sayangnya tidak,” kataku, “seorang perempuan yang menetas dari telur tersebut.”

***

Lelaki itu, kataku setelah meminta agar istriku tidak menyela cerita, kemudian meminta si perempuan untuk menghubungi dokter langganannya. Si lelaki, meski kini tidak lagi punya kepala, nyatanya masih bisa melihat dan berbicara menggunakan rongga kecil di pangkal tenggorokannya. Hanya saja suaranya memang menjadi serak. Ia sesungguhnya bisa menghubungi dokter langganannya sendiri, tetapi lantaran kaget dan panik dengan apa yang terjadi, yang muncul pertama kali dari lubang tenggorokannya adalah permohonan agar si perempuan yang menghubungi si dokter.

“Dengan senang hati,” perempuan itu berkata dengan sopan. “Apa pun yang kauminta, Sayangku.”

Lelaki itu senang mendengar si perempuan menggunakan kata “Sayangku” untuk menyebutnya. Ia selalu berharap seseorang akan menyebutnya dengan kata itu. Namun, hingga usianya menginjak tiga puluh satu, ia tidak pernah menemukan satu pun perempuan yang mau menyebutnya demikian. Oleh karena itu, ia berusaha tersenyum. Sayangnya, senyum itu tidak kelihatan lantaran ia tidak lagi memiliki kepala, apalagi mulut.

Dokter tiba empat puluh dua menit kemudian. Si dokter terlihat sangat panik sehingga nyaris terjungkal ketika melepas sepatu di depan pintu.

“Aku tidak percaya apa yang aku lihat,” kata si dokter.

“Apakah ini buruk?” si lelaki bertanya.

“Seharusnya ini lebih dari buruk,” jawab si dokter. “Seseorang dengan kepala yang meletus.” 

“Bukan meletus,” si perempuan memotong, “kepala yang menetas.”

“Ya,” si dokter menyeka kening. “Kepala yang menetas. Dan kau masih tampak seperti orang hidup.”

“Aku memang hidup,” si lelaki menyahut kesal.

Si dokter kemudian melakukan beberapa tes untuk memeriksa sehidup apa si lelaki. Si dokter meminta si lelaki makan dan si perempuan menggoreng telur di dapur lantas si lelaki memakan telur goreng itu dengan cara memasukkannya begitu saja ke dalam lubang kerongkongan. Si dokter menyuruh si lelaki minum dan si perempuan mengambilkan segelas air minum dan si lelaki menuangkannya begitu saja ke dalam liang kerongkongan. Si dokter meletakkan sebuah buku di depan si lelaki dan meminta si lelaki membaca dan si lelaki membaca sebagaimana biasa seakan-akan ia mempunyai sepasang mata ajaib yang tak terlihat. Begitulah si dokter terus melakukan tes-tes sederhana.

“Ini benar-benar tidak masuk akal,” kata si dokter. “Tapi harus kukatakan, kau baik-baik saja. Sangat baik untuk ukuran orang dengan kepala yang menetas.”

Waktu itulah si lelaki mulai bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi. “Kupikir,” kata si lelaki. “Ini jauh dari baik-baik belaka. Aku memang sangat baik. Dan lebih dari itu, aku punya seorang kawan hidup sekarang. Ini menakjubkan.”

Perempuan itu tersenyum mendengar apa yang dikatakan si lelaki.

“Aku bukan hanya kawan hidupmu,” kata si perempuan. “Aku belahan jiwamu.”

Dan mereka berpelukan, sedangkan si dokter tersenyum tersipu menyaksikan adegan tersebut. Kenyataannya, hidup memang berjalan luar biasa setelah itu. Pada masa-masa awal penyesuaian diri lantaran ketiadaan kepala bagi si lelaki, si perempuan menunjukkan perhatian yang besar. Ia membantu si lelaki membereskan rumah, memandikan si lelaki, memasak, dan segala hal lain. Si lelaki berulang berkata bahwa ia bisa melakukan segala hal itu sendiri, tetapi si perempuan mengatakan bahwa sudah menjadi tugas si perempuan untuk mengerjakan itu semua.

Si lelaki tidak pernah merasa dicintai sebesar itu. Mereka bahkan bercinta dengan malu-malu pada hari ketiga dan terus mengulanginya pada hari-hari selanjutnya dan itu membuat si lelaki seperti berada dalam surga.

“Kau adalah bidadari,” kata si lelaki pada suatu ketika.

Dan si perempuan tersenyum. “Aku belahan jiwamu,” kata si perempuan.

 Masalah pada akhirnya muncul juga. Peristiwa berubahnya kepala si lelaki menjadi sebutir telur yang kemudian menetas terjadi ketika si lelaki sedang mengambil cuti kerja panjang untuk menyembuhkan insomnianya. Dan kini, masa cutinya berakhir juga. Si lelaki sempat membolos pada hari pertama ia seharusnya masuk kerja. Bosnya menelepon dan si lelaki mengatakan ia sepertinya membutuhkan waktu cuti lebih lama.

Namun, bosnya marah.

“Tidak bisa,” katanya. “Kau harus segera masuk.”

Mengingat kondisinya, si lelaki ragu. Namun, si perempuan menguatkannya. “Semua akan baik-baik saja,” kata si perempuan. “Kau bisa melakukan apa pun. Termasuk bekerja.”

Dan begitulah. Keesokan harinya, si lelaki pergi bekerja. Si perempuan mengecup batang lehernya sebelum si lelaki berangkat.

Tidak semua hal berjalan seperti yang diharapkan.

“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata si bos ketika melihat si lelaki di tempat kerja. “Namun, aku tidak bisa mempekerjakan seseorang yang tidak punya kepala.”

“Tapi aku masih bisa mengerjakan semua pekerjaan sebagaimana biasa,” ucap si lelaki berusaha membela diri.

Dan si bos tetap menggeleng. “Keahlian dan kemampuan memang penting,” kata si bos. “Namun, kepala rasanya jauh lebih penting dari itu semua. Kau tidak bisa bekerja di sini lagi. Kau harus mencari pekerjaan lain.”

Si lelaki pulang dengan murung. Teman-teman kantornya memandang kasihan kepadanya, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa pun selain menepuk pundak si lelaki dan mendoakan semoga ia segera mendapatkan pekerjaan lain.

Si lelaki mengucapkan terima kasih.

 Si lelaki segera memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Namun, itu susah setengah mati. Ia mengirim banyak sekali surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Beberapa kali ia mendapat panggilan wawancara. Namun, setiap kali ia memenuhi panggilan itu, setiap kali itu pula ia segera disuruh pulang dengan alasan ia tidak akan bisa bekerja tanpa kepala.

Hal itu membuat si lelaki sedih.

“Aku tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan,” katanya kepada si perempuan.

Dan si perempuan merangkul pundaknya. “Jangan sedih,” kata si perempuan. “Aku akan mencoba mencari kerja. Dengan begitu, kita akan tetap mendapat pemasukan.”

Dan itulah yang kemudian terjadi. Si perempuan mendapatkan pekerjaan seminggu kemudian sebagai admin sebuah toko daring yang menjual hampir semua barang yang bisa dijual melalui TikTok dan Instagram. Si perempuan bekerja dari pukul sembilan hingga pukul lima sore dari Senin hingga Sabtu.

Pada saat-saat itu, semua masih baik-baik saja selain kenyataan bahwa si perempuan sekarang mudah capek sehingga ia tidak bisa lagi mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci dan menyapu lantai. Namun, si perempuan masih bisa menyempatkan diri memasak untuk si lelaki. Dan pada malam-malam tertentu, mereka akan bercinta dengan hangat.

“Tidak apa,” kata si lelaki. “Aku yang akan menyapu dan mencuci.”

“Maafkan aku, Sayang,” kata si perempuan.

“Aku yang minta maaf,” sahut si lelaki. “Aku yang minta maaf.”

***

Bulan-bulan berlalu dengan cepat. Si perempuan sekarang sering pulang telat karena lembur ini itu.

“Pekerjaan tak habis-habisnya,” keluh si perempuan. “Barang yang dijual semakin banyak dan kini aku harus pula ikut tampil di depan kamera membikin konten. Coba bayangkan, kini kami juga berjualan karet gelang dan tisu eceran. Seandainya air kencing bisa dijual, pasti kami akan menjualnya.”

Dan dengan begitu, ia tak sempat lagi untuk memasak untuk si lelaki.

“Tak apa,” kata si lelaki. “Aku yang akan memasak.”

Beberapa kali, si perempuan pulang setelah lewat jam sepuluh malam. Dan ketika si lelaki meminta bercinta, si perempuan menepis tangannya. “Maafkan aku,” kata si perempuan. “Tapi aku benar-benar capek.”

Pada akhirnya, mereka tak pernah lagi bercinta.

“Tak apa,” kata si lelaki. “Aku tahu kau memang kecapekan. Itu saja.”

Bulan-bulan berlalu lagi setelah itu. Dan suatu hari, si perempuan mengatakan ia ada tugas ke luar kota untuk beberapa hari.

Si lelaki berusaha melarangnya. Namun, si perempuan mengatakan bagaimana pun ia harus berangkat. “Ini kesempatan untuk meningkatkan karierku. Kami akan membikin konten-konten yang bagus di luar kota,” kata si perempuan. “Selain itu, aku menyadari jika aku belum pernah melihat isi dunia selain beberapa bagian kota ini saja. Aku ingin mengetahuinya.”

Dan si lelaki tak bisa berkata apa-apa.

Itu adalah perjalanan luar kota pertama yang segera diikuti oleh perjalanan-perjalanan luar kota selanjutnya. Awalnya hanya dua hari, lantas berkembang menjadi seminggu dan dua minggu. Pada akhirnya, si perempuan mengatakan ia mesti ke luar negeri.

“Kesempatan emas,” kata si perempuan. “Membikin konten di luar negeri akan meningkatkan penjualan. Dan karierku juga, tentu saja. Lagi pula, seperti yang pernah aku bilang, aku ingin melihat seluruh dunia. Ini kesempatan emas yang tidak akan datang dua kali.”

Dan sekali lagi, si lelaki tak bisa mengatakan apa-apa.

Itulah pertemuan terakhir si lelaki dengan si perempuan. Si perempuan tidak pernah kembali. Si lelaki berusaha menghubungi nomor ponsel si perempuan. Namun, nomor ponsel si perempuan tak aktif. Si lelaki mencoba menelepon kantor si perempuan, dan ia mendapat jawaban bahwa si perempuan sudah lama tidak lagi bekerja di situ. Si lelaki mencoba mencari tahu apakah kantor tersebut mengetahui tempat kerja baru si perempuan. Dan pihak kantor mengatakan tidak tahu apa-apa, dan bahwa itu bukan urusan mereka.

Dan begitulah cerita itu berakhir: dengan sebuah adegan di mana si lelaki tanpa kepala duduk di ambang pintu yang terbuka, menunggu si perempuan, dan mengingat-ingat bagaimana si perempuan menetas dari kepalanya dan bagaimana si perempuan selalu mengatakan bahwa si perempuan adalah belahan jiwanya.

***

“Cerita yang aneh,” kata istriku. “Kau bahkan tidak menjelaskan kenapa si lelaki insomnia dan kenapa kepalanya berubah menjadi telur setelah itu, dan seorang perempuan menetas dari sana, dan tidak ada petunjuk sama sekali kenapa si perempuan tidak pernah kembali.”

“Memang begitulah yang terjadi,” kataku. “Memang begitulah. Tak ada penjelasan yang lain. Nah, sekarang mari kita tidur. Ini sudah sangat larut malam.”

Istriku tidur sepuluh menit kemudian. Ia harus bangun pagi-pagi benar untuk tugas luar kota pertamanya. Aku berusaha memejamkan mata. Namun, tak bisa. Sudah beberapa hari ini aku menderita insomnia. Dan aku benar-benar khawatir kepalaku bakal meledak karenanya.

Dadang Ari Murtono
Latest posts by Dadang Ari Murtono (see all)

Comments

  1. iwan Reply

    Cuma bisa bilang: WOW! Keren Banget!

  2. Bernard Reply

    Mantap !!! Karya yang memaksaku untuk berimajinasi liar….

    dan ketika laki laki itu memiliki kembali kepalanya, entah dikasih atau dibelinya sendiri di etalase etalase dalam ruko hasil ngonten istrinya, ia tersadar kalau kepalanya sejatinya tak pernah berubah jadi telur

  3. Rick Reply

    Jadi penasaran tentang bagaimana nasib lelaki itu dan update kehidupan istrinya, apakah bahagia ataupun sebaliknya

  4. DD Reply

    Cara bercerita yang sangat keren

  5. Vidi Reply

    Cerita yang sesuai dengan kehidupan saat ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!