Jagoan Super

Ovi bilang kepadaku bahwa ia kenal seorang jagoan super. “Tapi pada mulanya,” kata Ovi, “ia cuma lelaki yang lelah hidup. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah mati.”

“Mati?” aku bertanya.

“Mati,” jawab Ovi mantap.

Lelaki itu, kata Ovi, lahir dengan kondisi yang mengerikan. Wajahnya mencong, mata kirinya juling, rambutnya petal-petal, bibirnya sumbing, gigi-giginya tidak rata, kakinya pengkor, dan tangan kanannya menggelantung hingga dengkul mirip tangan seekor monyet.

“Ia lebih buruk dari apa yang bisa dijangkau oleh imajinasimu,” kata Ovi. “Benar-benar lelaki yang malang.”

“Apakah orang-orang takut kepadanya?” aku bertanya.

Ovi menggeleng. “Sayangnya tidak,” jawab Ovi. “Orang-orang merundungnya.”

Namun, lelaki itu hidup. Bagaimanapun, lelaki itu hidup. Ia tumbuh besar dengan menyaksikan dari kejauhan anak-anak sepantarannya bermain bersama. Ia tumbuh besar dengan melihat anak-anak sepantarannya jatuh cinta, pacaran, menghabiskan malam minggu, dan lain sebagainya, sementara ia duduk dalam kegelapan seorang diri.

“Ia seharusnya terus mencoba bermain bersama mereka,” kataku, “anak-anak sepantarannya itu, maksudku. Dan pada akhirnya, mereka pasti akan menerimanya.”

Ovi menggeleng. “Kau tidak akan melakukannya jika kau selalu dipukuli, diludahi, dikencingi, dan lain sebagainya setiap kali kau mendekati gerombolan anak-anak itu.”

“Oh,” aku mendesis pendek.

Akan tetapi, kata Ovi, suatu kali, lelaki itu menyerah juga. Ia melihat seekor anjing liar lapar waktu itu, dan ia bermaksud memberi si anjing makanan.

Ia mendekati si anjing. Dan si anjing menatapnya dengan moncong hidung kembang kempis serta ekor yang ditekuk ke sela kaki-kaki belakang. Anjing itu mundur perlahan, lantas lari.

Pada waktu itulah ia berpikir bahwa ia benar-benar sudah lelah. Bahkan, seekor anjing pun membencinya.

Dan ia mulai berpikir untuk mati.

“Semua anjing liar melakukan itu,” kataku. “Maksudku, mereka makhluk paling baik. Apa yang dilakukan anjing liar itu hanyalah insting bertahan hidup jika mereka bertemu orang yang belum mereka kenal.”

Ovi kembali menggeleng. “Kau tidak akan berpikir seperti itu jika kau adalah lelaki buruk rupa yang selalu dirundung.”

Hal pertama yang dikerjakan si lelaki untuk mati adalah melompat dari jembatan setinggi sepuluh meter.

“Itu adalah jembatan tertinggi di kota kami,” kata Ovi. “Sayangnya, itu tidak cukup membunuh si lelaki. Ia selamat, namun dengan badan bertambah remuk. Kini, akibat percobaan bunuh diri itu, tulang punggungnya melengkung dan tubuhnya penuh bekas-bekas baret.”

“Lelaki yang malang,” aku berkata.

“Lantas,” kata Ovi, “ia minum sebotol racun serangga. Namun, seperti yang kau duga, ia tidak mati. Ia hanya muntah-muntah seharian, lantas kembali segar. Kemudian ia mengiris nadi lengan kirinya. Darah memancar, dan ia gemetaran sehingga pisau yang ia gunakan terjatuh sebelum tuntas memotong nadinya. Ia selamat. Bagaimana pun, ia selamat. Tak lama kemudian, ia mencoba menggantung dirinya sendiri. Sayangnya, tambang yang ia pakai untuk menjerat lehernya putus sebelum ia benar-benar mati.”

“Lelaki yang dirundung keberuntungan,” kataku.

Ovi menggeleng. “Ia agaknya tidak berpikir seperti itu. Barangkali, ia mengira bahkan maut pun membencinya. Benar-benar lelaki yang menderita,” kata Ovi.

Namun, lelaki itu belum putus asa. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa tahu apa yang harus ia lakukan, yakni mati. Dan ia berjuang keras untuk mewujudkan hal itu.

Gagal membunuh dirinya sendiri, ia mulai memancing orang untuk membunuhnya.

Awalnya, ia mendatangi orang-orang yang dulu selalu merundungnya. Ia balik mengolok-olok mereka, balik meludahi mereka, balik mengencingi mereka, balik menendang mereka.

Tak ada satu pun dari para perundung itu yang percaya dengan apa yang terjadi. Alih-alih menyerang si lelaki, mereka malah memandang heran dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan si lelaki sehingga ia berubah sedemikian rupa.

“Apa kau sakit?” mereka bertanya.

“Sakiti aku!” si lelaki berteriak. “Bunuh aku!” si lelaki berteriak makin keras.

Namun, orang-orang hanya menggeleng, lantas meninggalkannya seorang diri.

“Ia butuh istirahat,” kata mereka.

“Atau menemui psikiater,” tambah yang lain, “ia perlu bantuan profesional.”

“Ah,” seseorang yang lain menyela, “ia sepertinya hanya harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang ingin bunuh diri pasti jauh dari ajaran agama.”

Semua yang terjadi, kata Ovi, membuat si lelaki semakin bertambah sedih. Ia tak mengerti mengapa begitu sulit untuk mati.

Lantas pada suatu hari, sewaktu ia merenungi nasibnya di depan ruko terbengkalai, ia mendengar ribut-ribut. Sekelompok warga sedang mengejar seorang penjambret yang berlari lurus ke arah si lelaki.

“Inilah saatnya,” pikir si lelaki.

Ia menghadang si penjambret, berharap si penjambret akan menusuknya atau hal yang semacam itu.

Ia sudah siap.

Si penjambret berusaha berkelit untuk menghindarinya, tetapi lelaki itu dengan sigap melompat persis di depan si penjambret, dan begitulah si penjambret menabraknya, lantas mereka terguling bersama. Si penjambret berusaha bangkit dan kembali berlari. Namun, si lelaki memegang kaki si penjambret, menarik si penjambret.

“Bunuh aku,” si lelaki berteriak.

Si penjambret menendang-nendang.

Dan pada waktu itulah para warga yang mengejar si penjambret sampai di tempat itu.

Si lelaki tidak mati. Namun, peristiwa itu memberinya sebuah ilham.

Sejak itu, si lelaki berkeliling kota sepanjang waktu untuk mencari kejahatan. Ia mencegat segerombolan perampok yang menggasak sebuah toko emas. Ia berkelahi dengan begal motor di sebatang jalan yang sepi. Ia melindungi seorang bocah yang hampir tertabrak truk dengan cara menghadang truk tersebut dengan punggungnya, dan lain sebagainya, dan seterusnya.

“Dan ia tetap tidak mati?” aku bertanya.

Ovi menggeleng. “Dia belum juga mati.”

Aku mengangguk. “Aku paham,” kataku, “dan begitulah ia menjadi jagoan super untuk kotamu.”

“Demikianlah ia menjadi jagoan super untuk kotaku,” kata Ovi.

“Orang-orang pasti tidak merundungnya lagi,” aku menebak. “Orang-orang menyukainya. Orang-orang mengaguminya.”

“Lebih dari itu,” sahut Ovi sambil sedikit tersenyum, “orang-orang memujanya. Memujanya seperti memuja seorang suci. Ada memang beberapa orang yang kemudian mengusulkan agar lelaki itu diangkat menjadi Kapolres. Tapi tentu saja usulan itu sulit terwujud. Lelaki itu, bagaimanapun, tidak pernah belajar di Akpol atau SPN. Dan yang lebih penting, tentu saja, dengan banyak sekali alasan, polisi tidak bisa dimasukkan dalam golongan orang suci atau jagoan super, kan? Sebagian dari mereka bahkan hanya bersantai sepanjang waktu, tak peduli kejahatan terjadi tepat di depan batang hidung mereka. Kita sama-sama tahulah.”

Untuk menunjukkan rasa hormat dan pemujaan kepada si lelaki, alih-alih bersikeras menjadikan si lelaki sebagai Kapolres atau pejabat apa pun di kepolisian, warga kota malah bermaksud membangun sebuah patung si lelaki dan memasangnya di alun-alun kota. Dan itu membuat si lelaki terharu.

Orang-orang kini selalu menantikan kehadiran dan aksi si lelaki. Tak sedikit dari mereka yang bahkan mendatangi rumah si lelaki dan mengeluhkan ini itu masalah yang mereka hadapi, termasuk persoalan remeh-temeh semacam permintaan tolong untuk menagih utang yang macet. Tak lupa, mereka juga minta tanda tangan dan foto bersama. Si lelaki meladeni mereka semua dengan senyum mengembang dan tangan terbuka. Dan sebisa mungkin, ia berusaha mendengarkan serta memenuhi permintaan orang-orang.

Segala macam yang terjadi itu membuat si lelaki merasa bahagia, dan karena itu ia kemudian memutuskan untuk hidup. Ia tak lagi ingin mati.

“Keinginannya untuk terus hidup,” kata Ovi, “sepertinya membuat si lelaki merenungkan hal-hal berbahaya yang banyak ia lakukan belakangan ini. Ia ingat bagaimana pisau si begal menusuk perutnya. Ia ingat alangkah panasnya sewaktu peluru dari senjata rakitan para perampok menembus kakinya. Dan ia ingat rasa tulang belulangnya hampir hancur dihantam truk. Si lelaki bergidik ngeri. Ia berpikir bagaimana dirinya bisa sebodoh itu.”

“Bagaimana kau tahu ia berpikir seperti itu?” aku bertanya kepada Ovi.

Ovi tersenyum. “Aku hanya menebak,” katanya.

Dan aku manggut-manggut.

“Untuk membuat cerita ini masuk akal,” Ovi menambahkan. “Tapi bagaimana pun, aku yakin itu yang ia pikirkan.”

“Keinginannya untuk terus hidup membuat si lelaki menjadi jauh lebih hati-hati. Awalnya, ia mulai selektif dalam beraksi. Ia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan terburuk apa yang bakal terjadi jika ia melakukan satu aksi dan aksi yang lain. Dan pada akhirnya, ia mengurangi aktivitas berkeliling kota. Ia menjauh sewaktu ia mendengar kabar kebakaran tak jauh dari rumahnya. Ia juga memutuskan berlalu begitu saja sewaktu seorang nenek meminta tolong agar ia menurunkan kucing si nenek yang terjebak di ujung tiang listrik.

’Aku tidak mau menempuh segala macam risiko lagi,’ pikirnya. Naik ke puncak tiang listrik tanpa alat pengaman hanya demi seekor kucing? Ah, orang paling tolol pun tak akan melakukannya. Para petugas Damkar pasti akan menyelamatkan kucing itu. Lantas pada suatu waktu, ia memutuskan untuk diam di rumah saja,” cerita Ovi panjang lebar.

“Dan begitulah ia mati,” lanjut Ovi, “lelaki itu. Dalam rumahnya yang nyaman dan hangat. Persis pada hari ketika patungnya diresmikan.”

“Apa yang terjadi?” aku bertanya.

“Ia berjalan ke dapur mengambil air minum,” kata Ovi. “Lalu kesandung keset. Ia tersungkur dan kepalanya membentur lantai. Begitu saja.”

“Begitu saja?” aku nyaris tak percaya. “Setelah semua yang ia alami?”

Ovi mengangguk. “Setelah ia memilih hidup yang aman, setelah ia tak mau lagi mengambil risiko, setelah ia takut menghadapi mati, ia benar-benar mati.”

“Oh,” aku mendesis. “Benar-benar cara hidup yang aneh.”

“Ya,” kata Ovi. “Begitulah memang hidup. Kau tak akan bisa hidup jika kau tak berani menghadapi kematian. Memang aneh.”

Aku mengangguk.

Dadang Ari Murtono
Latest posts by Dadang Ari Murtono (see all)

Comments

  1. kiki Reply

    mantap. kereennn

  2. Maly Reply

    bagus semua cerita dari penulis ini, puisinya juga bagus. Cerita menarik, tema relevan, semua kata-katanya bagus.

  3. Hotma D.L. Tobing Reply

    Mantap juga

  4. Tofan Reply

    Cerpennya indah sekali, terima kasih sudah menuliskannya.

  5. Andika Chandra Reply

    Bukan cerpen biasa sih ini. Mind blowing. Keren.

  6. Panda Kecil Reply

    Keren banget, amanatnya nyampe ke Aku

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!