Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak lebih dan tidak kurang. Di dalam berbagai kitab-kitab thabaqat yang ada di kepustakaan pribadi saya, hanya Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami saja yang menampung nama beliau. Selebihnya kosong.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menceritakan bahwa Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin menulis sebuah surat kepada beliau yang isinya adalah bahwa “sesungguhnya engkau memiliki seorang murid di lautan. Jika Allah Ta’ala menyelamatkan dia, insyaallah dia akan memberikan permata kepadamu.” Dan yang dimaksud murid itu adalah Syaikh Abu Muhammad al-Khaffaf.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menceritakan bahwa Syaikh Abu Muhammad al-Khaffaf sedang duduk-duduk bersama para sufi yang lain dari Syiraz. Terjadi pembicaraan di antara mereka tentang musyahadah atau kesaksian terhadap Allah Ta’ala. Masing-masing di antara mereka berbicara sesuai dengan kemampuan.
Syaikh Abu Muhammad al-Khaffaf diam saja. Belum muncul sepatah kata pun dari beliau. Syaikh Muammil al-Jashshash kemudian bilang kepada beliau: “Berbicaralah.” Beliau lalu berkata: “Pembicaraan yang bermutu dan bagus adalah apa yang telah dibicarakan tadi. Sangat bagus.”
Syaikh Muammil al-Jashshash mendesak lagi kepada Syaikh Abu Muhammad al-Khaffaf untuk berbicara tentang musyahadah itu. Akhirnya beliau berkata: “Apa yang kalian bicarakan itu sesuai dengan standar keilmuan. Dan sama sekali bukanlah merupakan hakikat musyahadah. Yang merupakan substansi musyahadah adalah hijab tersingkap dan Allah Ta’ala begitu nyata terlihat.”
Mereka semua bertanya kepada beliau: “Dari mana pembicaraanmu ini? Dari siapa engkau belajar?” Beliau menjawab dengan sigap bahwa pada waktu itu beliau berada di lembah Tabuk. Ada rasa butuh yang sangat kuat di dalam hati. Ada sesuatu yang sangat sulit dihadapi. Beliau berdoa. Hijab lalu tersingkap.
Beliau ‘menyaksikan’ Allah Ta’ala di atas ‘Arsy. Beliau bersujud dan berkata: “Wahai Tuhanku, ini bukanlah kedudukan dan posisiku di hadapanMu.” Semua sufi yang mendengarkan kata-kata beliau ini kemudian diam. Sembari menarik tangan beliau, Syaikh Muammil al-Jashshash lalu berkata: “Berdiri, ayo kita ziarah kepada seorang Syaikh.”
Keduanya menuju ke rumah Syaikh Ibn Sa’dan yang ahli di bidang hadis. Setelah mengucap salam dan dijawab oleh tuan rumah, keduanya dihormati dan diagungkan. Syaikh Muammil al-Jashshash berkata: “Syaikh, kami mohon engkau menyampaikan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw.”
Si ahli hadis itu mengatakan bahwa telah meriwayatkan kepadaku fulan bin fulan dari fulan bin fulan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sesungguhnya setan memiliki istana di antara langit dan bumi. Kalau Allah Ta’ala berkehendak untuk menciptakan kegaduhan pada seorang hamba, maka disingkaplah istana itu.”
Setelah menyimak hadis tersebut, Syaikh Abu Muhammad al-Khaffaf dengan tegas mengatakan: “Akan kuulangi.” Beliau bangkit sembari menangis. Selama beberapa hari tidak kelihatan. Tak seorang pun berjumpa dengan beliau. Setelah beberapa lama, beliau kelihatan lagi. “Ke mana kau selama ini?”
“Kuulangi shalat yang telah kulaksanakan di hari-hari itu. Karena pada hari-hari itu aku menyembah setan. Tidak boleh tidak aku harus kembali ke tempat itu untuk melaknat setan.” Lalu lenyap. Lalu senyap. Tidak ada seorang pun yang berjumpa kembali atau mendengar kabar tentang beliau. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024