Beliau adalah sebagaimana judul di atas. Tidak saya temukan data yang mencatat tentang waktu kelahiran dan wafatnya. Pun, tidak saya dapatkan data yang menyebut tentang lahir dan wafat di mana. Tapi jelas bahwa Syaikh Junaid al-Baghdadi yang hidup di sekitar paruh terakhir dari abad kesembilan Masehi sampai paruh pertama dari abad kesepuluh masih menyaksikan sekaligus pernah berjumpa dengan beliau.
Tentang kesuntukan dan reputasi rohani yang disandang oleh sang sufi, Syaikh Junaid al-Baghdadi secara tidak langsung memberikan testimoni sebagaimana berikut ini: “Aku pernah pergi bersama rombongan untuk sowan kepada Syaikh Abu Ya’qub az-Zayyat. Sampai di sana, aku ketuk pintu rumahnya.
Keluar dari rumahnya, beliau langsung menegur kami, ‘Tidakkah kalian memiliki kesibukan dengan Allah Ta’ala yang menjadikan kalian tidak menggangguku?’ Aku jawab, ‘Kedatangan kami di sisimu tidak lain merupakan bagian dari kesibukan kami dengan Allah Ta’ala. Maka hendaknya engkau tidak memutus kebenaran ini.'”
Sangat menarik adanya istilah “sibuk dengan Allah Ta’ala” sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Abu Ya’qub az-Zayyat ketika pintu rumahnya diketuk oleh Syaikh Junaid al-Baghdadi. Istilah tersebut menunjuk kepada adanya aneka ragam relasi spiritual antara seseorang dengan hadiratNya.
Berbagai relasi spiritual itu dinyalakan semua agar tidak ada satu lubang pun yang merupakan jatah bagi adanya relasi dengan segala sesuatu “selain” Allah Ta’ala. Idiom “selain” sengaja saya letakkan di antara dua tanda kutip. Argumentasinya jelas bahwa tidak ada satu partikel pun yang betul-betul selain Allah Ta’ala, yang benar-benar merdeka dari hadiratNya.
Maka menjadi sangat konkret secara substansial bahwa adanya relasi dengan segala sesuatu yang “lain” itu murni merupakan tindakan yang artifisial, merupakan ketersambungan yang paling permukaan. Hal itu terjadi bukan karena tidak ada kehadiran Allah Ta’ala pada segala sesuatu, tapi murni karena belum merasakan adanya relasi rohani dengan hadiratNya.
Andaikan seseorang telah dianugerahi keterhubungan rohani dengan Allah Ta’ala secara total dan utuh, maka dapat dipastikan bahwa tidaklah dia mengalami relasi dengan apa pun dari kalangan makhluk kecuali pasti secara hakikat merasa terhubung dengan hadiratNya.
Di saat itu, apa yang disebut sebagai sibuk dengan selain Allah Ta’ala mutlak tidak ada. Seluruh kesibukan seseorang di puncak rohani itu identik secara hakiki dengan kesibukan dengan hadiratNya. Tidak ada lagi istilah sibuk dengan makhluk-makhluk. Karena di saat itu, di hadapannya, segala sesuatu telah dengan gamblang memantulkan Allah Ta’ala yang merupakan sumber dan asal-usul dari seluruh yang ada.
Betullah apa yang dikatakan oleh Syaikh Junaid al-Baghdadi ketika beliau merespons ungkapan Syaikh Abu Ya’qub az-Zayyat: “Kedatangan kami di sisimu tidak lain merupakan bagian dari kesibukan kami dengan Allah Ta’ala.”
Betapa bahagia orang yang telah dianugerahi pencapaian rohani yang sangat cemerlang itu. Hari-hari yang disusurinya tidak lain adalah hari-hari kebersamaan dan bahkan peleburan di dalam hadiratNya. Moga kita juga menjadi orang-orang beruntung dengan mendapatkan karunia yang paling agung itu. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir - 22 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri #2 - 15 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri - 8 November 2024