Syaikh Abubakar al-Mawazini

Inilah seorang sufi yang sangat eksentrik, Syaikh Abubakar al-Mawazini yang hidup di Mesir entah pada abad ke berapa. Karena referensi-referensi yang saya miliki tidak ada yang menjelaskan tentang beliau selain sebagaimana yang tertera di dalam esai singkat ini.

Beliau adalah seorang murid dari Syaikh as-Sirwani. Memiliki murid seperti beliau, Syaikh as-Sirwani seolah memiliki Himalaya dari emas dua puluh empat karat. Bagaimana mungkin tidak, Syaikh Abubakar al-Mawazini adalah permata zamannya, dunia keilahian bersemayam di dalam dirinya.

Syaikh Ibn al-Khabbaz pernah menceritakan bahwa pada hari raya Qurban, ‘Id al-Adha, beliau berada di dekat tempat melempar jumroh, di Makkah sana. Beliau menyaksikan seseorang yang fakir yang sedang berdiri. Beliau adalah Syaikh Abubakar al-Mawazini. Di tangannya terpegang sebuah kendi.

Dengan segenap keyakinan yang sama sekali tidak terbantahkan, Syaikh Abubakar al-Mawazini menyatakan: “Tuanku, orang-orang mendekat kepadaMu dengan sembelihan-sembelihan mereka, dengan qurban-qurban mereka. Aku tidak memiliki apa pun selain diriku.”

Setelah itu, beliau terdengar meringkik sebagaimana kuda. Setelah itu, beliau langsung wafat. Meninggalkan alam semesta yang fana ini, menuju alam keabadian dalam kebersamaan dengan hadiratNya. Sebuah kematian yang sangat indah. Sebuah kematian yang ditunggu oleh kebanyakan para salik yang dirundung kerinduan.

Bagi Syaikh Abubakar al-Mawazini, orang-orang yang “punya” dan orang-orang yang tidak “punya” sesungguhnya mempunyai kesempatan yang sama di dalam mempersembahkan ibadah-ibadah kepada Allah Ta’ala. Hanya perkara “cara” yang membedakan di antara dua kelompok itu.

Yang satu beribadah dengan adanya kemampuan yang ada pada diri mereka, sedang satunya yang lain beribadah dengan keteguhan hati yang nyaris tidak mungkin untuk dikerjakan oleh mereka yang punya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh mereka yang berkurban dengan binatang-binatang sembelihan pada hari raya ‘Idul al-Adha.

Yang pertama menyembelih binatang-binatang Qurban, sementara yang kedua mempersembahkan hidupnya secara langsung kepada hadiratNya. Walaupun berangkat dengan cara yang berbeda, tapi jelas bahwa tujuan keduanya itu tidak lain adalah satu. Yaitu, awal dan akhir dari segalanya yang tidak lain adalah Allah Ta’ala.

Seorang sufi sebagaimana Syaikh Abubakar al-Mawazini adalah dia yang mutlak hidup dengan persembahan demi persembahan amal yang hanya tertuju kepada Tuhan semesta alam, dengan penghayatan demi penghayatan terhadap segenap kemahaan hadiratNya, dengan tanpa ungkapan-ungkapan, tanpa kata-kata.

Di tepi-tepi kehidupan ini, kadang Allah Ta’ala mengutus para sufi yang bijak-bestari dan suci dengan ungkapan-ungkapan yang sangat cemerlang dan penuh kebijaksanaan. Kadang pula hadiratNya mengutus seorang sufi yang tidak menyuarakan ungkapan apa pun, tapi seluruh perilakunya mutlak untuk Dia semata. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!