
Beliau adalah sebagaimana judul di atas, persis, tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak mengetahui nama tambahannya. Setidaknya saya tidak mengetahui tentang data yang mencatat tentang nama kecil itu. Tapi saya merasa yakin bahwa beliau, sebagaimana para sufi yang lain, memiliki nama yang “lengkap.”
Beliau sebenarnya berasal dari Qashr bin Habirah, sebuah nama yang dinisbatkan kepada Abu al-Mutsanna ‘Umar bin Habirah Amir al-‘Iraq untuk Dinasti Bani Umayyah. Tapi beliau jelas tidak tinggal di tempat itu, namun menetap di Syiraz, Iran. Sebuah tempat yang dipandang baginya lebih nyaman.
Beliau sedemikian intim memasuki dunia hakikat, dunia keilahian, dunia yang tidak saja di permukaan sebagaimana yang dialami dan dirasakan oleh kebanyakan manusia, tapi dunia yang lebih banyak menawarkan segmen ketuhanan yang tidak bertepi. Sehingga mudah bagi beliau untuk menyaksikan “penduduk” dunia yang gaib.
Pada suatu hari, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif pernah menyatakan bahwa dia pernah diajak oleh Syaikh Abubakar al-Qashri: “Ayo kita berangkat menuju padang pasir.” Mereka berdua lalu berangkat menuju hamparan pasir yang luasnya tidak terkira-kira itu.
Di sana, di padang pasir yang begitu luas itu, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif menyaksikan orang-orang yang sedang bermain di bubungan sebuah rumah di pasar. Dia melihat Syaikh Abubakar al-Qashri menghampiri mereka dan sibuk bermain juga bersama mereka.
Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif betul-betul merasa malu karena perbuatan Syaikh Abubakar al-Qashri itu. Bagaimana mungkin tidak, wong orang-orang yang ada di sana pada melihatnya. Sufi agung itu rasanya tidak mungkin untuk tidak mengetahuinya. Karena itu, beliau kemudian turun dari bubungan rumah.
Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan sebentar. Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif lalu melihat orang-orang bermain catur. Syaikh Abubakar al-Qashri mendekat kepada mereka, mengambil bidang catur dan merusaknya. Mereka menodongkan pisau-pisau kepadanya. “Sini pisau-pisau itu, akan kumakan,” kata sufi agung itu kepada mereka.
Mereka semua takut dan pasrah. Dengan perasaan takjub, Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Khafif bertanya kepada Syaikh Abubakar al-Qashri: “Pemandangan yang buruk tadi itu apa?” Yang ditanya, sufi agung itu, menjawab: “Itulah apa yang aku gapai dengan pandangan ladunni.” Yaitu, pandangan yang melampaui keterbatasan seluruh pandangan manusia, pandangan yang menghablur langsung dari Allah Ta’ala.
Apa yang bisa kita petik dari kisah-kisah tersebut? Di balik kehidupan nyata sebagaimana yang kita alami ada model kehidupan yang lain lagi yang tidak bisa kita gapai. Pandangan kita adalah keterbatasan yang sangat ringkih yang jelas sama sekali tidak bisa diandalkan. Sebuah pandangan yang menunjukkan kepada kita kelas rohani diri kita masing-masing.
Betapa kehidupan ini sesungguhnya sangat dalam, jauh lebih dalam dibandingkan samudra mana pun di dunia ini. Sedalam-dalam samudra itu masih ada batasnya, ada dasarnya. Tapi kehidupan ini di manakah batasnya? Ketika kehidupan ini dikonotasikan pada hidup para wali yang khariq al-‘adah, yang tidak bisa sepenuhnya kita pahami, oh betapa sangat dalamnya kehidupan ini. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Salibah bin Ibrahim - 14 February 2025
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025