Beliau adalah Husain bin ‘Ali bin Yazdaniyar Abubakar al-Urmawi. Seorang sufi yang memiliki model tarekat tersendiri di dalam dunia tasawuf. Bahkan beliau mengingkari sebagian para sufi di zamannya. Pun, beliau diingkari oleh sebagian mereka juga. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang alim di bidang ilmu fiqih, mu’amalah, dan makrifat.
Di dalam dunia rohani, beliau termasuk salah seorang sufi yang agung. Sedemikian sempurna beliau menyelam di kedalaman samudra ilmu batin. Sehingga munajat beliau kepada Allah Ta’ala terasa begitu kuat, terasa begitu khusyuk, terasa begitu syahdu, terasa begitu indah.
Dalam salah satu ungkapannya, beliau menyatakan bahwa roh merupakan tempat bercocok tanam kebaikan karena ia merupakan tambang rahmat Tuhan. Jasad merupakan tempat bercocok tanam keburukan karena ia adalah tambang hasrat kepada selain hadiratNya.
Roh dicetak untuk agenda-agenda kebaikan. Nafsu ammarah dicetak untuk kehendak-kehendak keburukan. Hawa nafsu adalah pengatur jasad. Akal merupakan pengatur roh. Ilmu muncul di “ruang” yang ada di antara akal dan hawa nafsu. Makrifat bersemayam di dalam hati.
Akal dan hawa nafsu senantiasa berada di dalam pertikaian dan peperangan. Hawa nafsu adalah pengendali tentara-tentara keburukan. Akal merupakan pengendali tentara-tentara hati. Petunjuk Allah Ta’ala adalah beking akal. Kehinaan merupakan beking hawa nafsu. Keberuntungan diberikan kepada orang yang dikehendaki selamat dan bahagia oleh hadiratNya.
Barang siapa mohon ampun kepada Allah Ta’ala sembari tetap menekuni dosa-dosa, maka sesungguhnya dia terhijab dari taubatnya sendiri. Makrifat adalah ilmu yang benar tentang hadiratNya. Keyakinan adalah pandangan dengan mata hati terhadap janji-janji Allah Ta’ala.
Pengetahuan dan kesadaran spiritual kita tentang apa yang dituturkan sang sufi itu sungguh sangat penting bagi kita yang sedang menempuh perjalanan rohani kepada hadiratNya. Bagaimana mungkin tidak, wong apa yang telah dipaparkan oleh beliau itu tidak lain merupakan rute-rute rohani yang bisa mengantarkan siapa saja yang berminat untuk menempuhnya.
Apa yang seharusnya kita terapkan adalah senantiasa bercocok tanam kebaikan demi kebaikan di dalam mengisi hamparan umur kita. Dan pada saat yang bersamaan, kita babat habis kemungkinan munculnya benih-benih keburukan dan segala hal yang sia-sia yang tidak memberikan kontribusi spiritual apa pun terhadap hidup kita.
Konsekuensinya akan membuahkan kemuliaan yang melimpah dan berlipat-lipat. Yaitu, semakin suburnya ladang-ladang kebaikan dan kemuliaan di satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, apa yang semula merupakan sumber dan tambang keburukan, akan berubah menjelma potensi-potensi kebaikan dan keterpujian.
Sehingga tidak ada “peluang” bagi siapa pun yang telah mengalami hal tersebut untuk bermain mata, apalagi sampai bersentuhan, dengan berbagai macam keburukan. Hidupnya akan menjelma sebagai taman indah keabadian, sebagai pohon rindang yang senantiasa memberikan naungan terhadap sesama, sebagai musim semi yang selalu menebarkan sejuk dan kedamaian. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024