Tempat berjemur para pemburu imunitas tubuh itu memanjang hampir sepanjang tiga ratus empat puluh sembilan meter. Di barat jalan dari kampung menuju pasar kuno yang setelah gempa bumi hebat dibangun menjadi pasar baru dengan pedagang yang terdiri dari manusia kuno lengkap dengan sayuran kuno, penganan kun, penjual buah kuno, penjual nasi rames kuno, penjual gudeg kuno, penjual dawet kuno, penjual busana anak-anak kuno, penjual gerabah kuno, penjual soto kuno, penjual makanan ikan hias dan makanan unggas kuno dan penjual empon-empon kuno, yang sayangnya pasar ini sudah tidak lagi ditanami pohon-pohon kuno seperti pohon waru, pohon talok dan pohon asam Jawa.
Bagi orang-orang yang berjejer ke samping kanan dan kiri di barat jalan untuk berjemur selama sekitar satu jam lebih di pagi hari itu yang penting adalah berjemur dan munculnya matahari, mereka berpikir tentang bagaimana menghangatkan tubuh di pagi hari, di dekat pasar dan ini bukan berarti mereka harus memikirkan pasar kuno yang dibangun dengan beton dengan genting soka, bukan dibangun dengan bangunan bambu dan genting murahan seperti sebelum gempa bumi yang merobohkan bangsal kencana dan bangsal trajumas di kompleks kraton itu.
Malah kalau diperhatikan dari banyak cerita yang diceritakan secara bergantian oleh penggemar jemur badan di pagi hari itu, dapat dipastikan kalau mereka telah melupakan gempa bumi dahsyat itu sebagaimana mereka melupakan bencana meletusnya Gunung Merapi atau Gunung Kelud yang hujan abunya sampai membuat genteng, jalan kampung bahkan wajah kota menjadi kelabu dan udara bercampur serbuk abu gunung berapi yang setiap meletus selalu membawa partikel yang berganti-ganti. Kadang berupa partikel logam mulia, kadang berupa partikel kaca dan kadang berupa partikel belerang atau benih titanium bahkan lithium sebagaimana ditemukan pada jejak letusan gunung berapi yang sampai ke pesisir selatan sana.
Tanpa ada penjadwalan ketat, tanpa ada yang menyuruh, jadi berlangsung spontan penuh improvisasi tanpa rekayasa naskah atau skenario, orang yang bercerita sambil berjemur ini berganti-ganti. Tiap pagi setelah sepuluh menit mereka memulai berjemur pasti ada seseorang berdiri, membalikkan badan lalu bercerita dengan suara lantang. Cara bertuturnya selalu menarik dan jelas. Kadang atau malahan sering diramaikan suara tertawa sehat yang konon bisa melejitkan imunitas tubuh mereka yang berjemur, diawali adegan memanggang punggung itu.
Tanpa ada TOR dari panitia, karena gerakan berjemur tubuh ini tidak ada panitia. Tanpa SOP karena gerakan berjemur tubuh ini tidak mengundang atau tidak dipimpin oleh fasilitator, motivator atau organisator. Semua berlangsung murni spontanitas. Tidak ada yang mengatur, tidak ada yang mengarahkan, dan tidak ada yang menertibkan, gerakan jemur tubuh ini sudah teratur, sudah tertib dengan sendirinya. Mereka yang pada detik tertentu merasa terpanggil untuk bercerita, langsung berdiri, mengenalkan diri dan mulai bercerita.
Selama berhari-hari mendekati berbulan-bulan kegiatan ini berlangsung sepertinya tukang cerita dan pendengarnya sudah sepakat untuk tidak membawa-bawa masalah virus, vaksin, booster, masalah pandemi, masalah orang atau anak-anak terpapar, masalah orang sembuh karena obat atau jamu herbal apa, masalah korban yang sakit meninggal karena secara teknis kesulitan bernapas atau lemas. Masalah yang bersangkut paut denga virus dan pandemi adalah tabu diceritakan dalam forum tidak resmi para penggemar jemur tubuh ini. Misalnya pagi itu ada peserta gerakan jemur tubuh yang berdiri justru bercerita tentang pengalaman dia awur-awuran melawan sakit gigi. Sakit gigi bukan karena virus, tetapi karena ulat yang bekerja sama dengan angin jahat di gusi dan rongga gigi menggoda saraf pengendali rasa sakit.
“Saya menciptakan resep alternatif untuk mengusir sakit gigi.”
“Apa mas? Dengan injet adonan kapur?”
“Bukan.”
“Dengan berkumur air garam hangat?”
“Bukan.”
“Dengan berkumur air daun sirih?”
“Bukan.”
“Lha, dengan apa Mas, kok dari tadi bilang bukan terus.”
Si tukang cerita itu tertawa lalu mengambil sesuatu dari saku celana. Ia perlihatkan benda itu kepada orang-orang yang tengah mendengarkan ceritanya.
“O, obat anti angin?”
“Serbuk atau yang berbentuk cairan, Mas?”
“Cairan. Saya pakai untuk berkumur. Pedas sekali rasanya. Juga sakit. Tapi ajaib, sakit gigi saya sembuh. Mungkin ulat dan angin jahat di dalam rongga gigi saya kaget, ketakutan dan pergi.”
“Wah, menarik ini.”
“Tapi ini bukan resep dokter lho. Resep orang awam seperti saya.”
“Tapi logis kok, Mas.”
“Ya saya memang menggunakan logika. Karena penyebab sakit gigi adalah angin jahat, maka angin jahat itu yang saya serang dengan cairan ini. Angin pergi dan mengajak pergi ulat yang semula menghuni rongga gigi saya.”
Orang-orang bertepuk tangan. Setelah tepuk tangan mereda, orang itu tetap berdiri. Dia berkata, “Apa boleh saya memulai lagi cerita yang baru?”
“Boleh. Boleh.”
“Tidak ada yang melarang.”
“Ya, di forum ini dilarang melarang.”
“Dilarang melakukan pelarangan. Apa pun bentuknya.”
Orang itu lalu bercerita bagaimana tubuhnya demam dan ia teringat masa kecil. Ia pun ingin seperti anak kecil yang dimanja. Kalau demam justru diberi sesuatu yang enak, bukan sesuatu yang pahit atau menakutkan. Ia pun berhasil mengusir demam itu.
“Apa resepmu sebagai orang awam?”
Orang itu mengeluarkan dua benda. Satu dia ambil dari saku celana yang kanan. Satunya lagi dia ambil dari saku celana yang sebelah kiri. Benda itu ia perlihatkan dengan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Apa ini?” Tanya dia sambil menggoyangkan benda yang dia pegang dengan tangan kanan.
Orang-orang memelototi benda itu.
“Hei, itu makanan kelinci,” teriak seseorang.
“Apa?”
“Wortel.”
“Paman Gembul juga suka wortel”
“Ya. Wortel. Benda seperti itu harus wortel, bukan yang lain.”
Lelaki itu dengan gaya jenaka menggigit benda itu. Ia mengunyah. Lalu tertawa.
“Rasanya memang wortel, segar, jadi ini wortel, sungguh. Tidak salah.”
“Persis kelinci!”
Yang lain tertawa. Senang bukan main. Kesedihan yang dia bawa dari rumah hilang.
“Kalau yang ini, apa?”
Orang itu memperlihatkan sesuatu di tangan kiri. Bendanya ada di dalam bungkus plastik. Dua macam. Satu berwarna putih, satu berwarna cokelat.
“Ada yang bisa menebak?”
“Singkong rebus.”
“Ya. Singkong rebus dengan tempe bacem.”
“Benar separo salah separo.”
“Itu pasti buatan Mbah Carik.”
“Apa?”
“Jadah tempe.”
“Betul. Dan ini hadiahnya untuk Sampeyan. Silakan maju.”
Orang yang betul tebakannya mendapat hadiah satu plastik jadah tempe bacem.
“Ini memang obat demam. Demam rindu pada kekasih. Sebab setiap saya melihat jadah tempe saya selalu teringat Kaliurang. Dan Kaliurang yang dingin selalu memanggil-manggil saya. Katanya dia rindu pada saya, padahal saya yang lebih rindu pada dia.”
Orang-orang bertepuk tangan. Ada yang berkomentar lucu-lucu.
“Kau pasti rindu pada tempe bacemnya, kan?”
“Dan jadahmu itu yang sebenarnya rindu pada tempe bacem itu.”
Orang-orang bersorak. Tertawa. Menertawakan diri sendiri karena semua sama-sama mengakui pernah mendapat pengalaman yang sama ketika rindu jadah ketemu rindu tempe bacem.
Tiba-tiba orang yang tadi membawa jadah dan tempe berteriak, “Stop! Jangan diperpanjang dengan hal-hal yang saru. Saya tadi berbicara tentang jadah yang jadah dan tempe bacem yang tempe bacem. Jangan ditafsirkan macam-macam.”
Orang-orang diam sebentar, tapi satu dua orang mengomel lirih.
“Katanya kita di sini dilarang melarang larang. Kok situ melarang kami menafsirkan jadah dan tempe bacem dengan tasfir yang popular dan asyik itu?”
“Ya, Mas, betul, kami jangan dilarang untuk membuat tafsir.”
“Membuat tafsir hukumnya boleh-boleh saja, yak kan? Ya kan?”
“Ya.”
“Ya.”
“Ya.”
Tukang cerita yang tadi mengeluarkan wortel dan jadah tempe masygul. Ia undur diri. Minta maaf lalu ngeloyor pergi menuju tempat parkir sepeda. Ia pakai topi lalu ia kayuh sepeda menuju arah luar kota. Tidak dia gubris komentar-komentar yang bermunculan.
“Waduh jangan mutung Mas.”
“Jangan patah hati.”
“Kita kan sama-sama asyik di sini.”
“Wah, kalau ada yang mutung gimana nih?”
“Kita bubar?”
“Atau ganti juru cerita?”
“Ganti juru cerita wae. Sebab kota ini memerlukan banyak juru cerita. Siapa yang siap?”
Muncul seorang lelaki mengenakan kaos longgar, celana training bertulisan Sing Uwis ya Uwis. Sampai di depan orang-orang yang gemar berjemur pagi hari itu dia langsung mencopot sepatunya. Sepatu tua, sudah jebol di sana-sini.
Dia angkat sepatu tua itu ambil bertanya, “Kenapa sepatu saya ini bisa jebol?”
“Karena sepatu itu sudah tua, sudah saatnya jebol,” teriak seseorang di sudut kiri.
“Karena sepatu murah harganya maka mudah jebol.”
“Karena sepatu tua memang nasibnya jebol.”
“Sepatu jebol, biasa. Apa istimewanya?”
Banyak muncul celotehan macam-macam. Ada yang bermutu ada yang tidak. Orang yang membawa sepatu tua itu diam, malah tersenyum-senyum saja. Ia menikmati celotehan orang. Dalam hati dia justru merasa bahagia karena berhasil memancing warga kota untuk berbicara. Ini momentum penting. Setelah dua tahun selama pandemi orang tidak boleh bertemu orang lain, tidak boleh kumpul-kumpul, ngobrol dan jajan bareng di warung, mereka sepertinya perlu diajak ngobrol agar mau berbicara lepas dan bebas seperti masa sebelumnya. Ternyata hanya dengan sepatu jebol mereka bisa dipancing untuk mau berbicara bebas, spontan dan menggembirakan. Ini yang penting. Orang mau berbicara bebas dan yang mendengar bisa gembira. Perkara apa yang dibicarakan itu tidak penting.
Setelah semua diam tidak ada yang berkomentar, lelaki itu mengenakan kembali sepasang sepatu jebol dan mau melangkah ke tempat dia duduk. Tetapi cepat-cepat dihentikan orang.
“Ee, Mas, tetap di situ Mas.”
“Jangan mutung, Mas.”
“Mas harus bertanggung jawab.”
“Bertanggung jawab?”
“Ya, jelas dong. Sampeyan kan tadi memancing kami berkomentar dengan cara mencopot sepatu butut itu. Itu harus dipertangungjawabkan. Caranya, ya dengan menjelaskan apa maksud sampeyan mempertontonkan sepatu tua jebol itu. Kedua, sampeyan juga harus mau menceritakan kisah atau riwayat sepatu sampeyan.”
“Sejarah sepatu saya ini?”
“Ya sejarah sepatu itu harus sampeyan ungkap berdasar fakta-fakta yang ada.”
“Berdasar rangkaian fakta menyangkut sepatu ini juga menyangkut saya sebagai pemilik sepatu ini?”
“Betul sekali. Wah sampeyan ternyata cerdas juga.”
“Saya jelas cerdas sejak dulu kala. Kalau tidak cerdas tidak mungkin saya bisa memiliki sepatu ini.”
“Cerdas dalam mencari uang dan cerdas menabung uang lalu cerdas dalam membelanjakan uang ya Mas?”
“Bukan. Bukan itu semua yang menyebabkan saya bisa memiliki sepatu ini.”
“Lantas cerdas dalam hal apa dan cerdas yang bagaimana sehingga sepatu itu bisa hinggap di kaki sampeyan. Sepertinya sampeyan mencintai sepatu ini ya? Sampai sudah jebol saja tetap sampeyan pakai.”
Orang itu tersenyum. Ia copot lagi sepatu itu dan dia angkat tinggi-tinggi.
“Ini sepatu adalah lambang kecerdasan saya,” teriaknya.
“Lh hiya, tapi cerdas dalam hal apa dan cerdas yang bagaimana?”
“Sepatu ini, wahai saudara-saudaraku, merupakan lambang kecerdasanku dalam mencari dan memilih seorang wanita cantik menjadi istriku.”
“Lho, apa hubungannya antara sepasang sepatu dengan seorang istri?”
“Wah, pertanyaan saudara kurang menunjukkan kecerdasan saudara.”
“Jadi saya mempertanyakan hubungan sepatu dan istri sampeyan anggap tidak cerdas?”
“Ya, kalau saudara punya sedikit kecerdasan saja, pasti tidak menanyakan hal itu. Bisa menerima kenyataan bahwa sepasang sepatu ada hubungannya dengan istri cantik.”
“Itulah yang saya tidak dhong.”
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Dia lalu memanggil istrinya dengan mesra.
“Dik, sini Dik, Kangmasmu ini tolong dibantu menjelaskan hubungan sepatu dengan seorang istri.”
Seorang perempuan tua, tapi masih tampak cantik bangkit, berjalan ke arah lelaki itu. Perempuan itu membawa botol air mineral. Begitu sampai di depan suami, dia buka tutup botok air mineral dan mempersilakan suami minum sepuasnya.
“Kangmas pasti sudah haus. Tolong minum air ini untuk menyegarkan jiwa,” kata perempuan itu lembut.
Lelaki itu minum air mineral dengan penuh perasaan. Setelah itu wajahnya tampak makin segar dan bertambah muda.
Orang-orang bertepuk tangan menyaksikan drama romantik di depan mereka. Ada yang iri dan bersuit-suit, tetapi justru makin menambah suasana mesra dan romantis yang dibangun oleh sepasang suami istri itu.
Setelah adegan itu dirasa cukup dan sebelum muncul komentar yang mungkin tidak terduga lelaki itu berkata sambil mengangkat sepasang sepatu butut itu, “Harap saudara-saudara tahu. Sepatu ini adalah hadiah ulang tahun saya sepuluh tahun lalu. Dan perlu saudara ketahui, sepuluh tahun lalu sepatu ini masih baru, saya masih lumayan muda dan tampan sedang istri saya juga masih tempak muda dan menawan. Sekian testimoni saya.”
Orang-orang bertepuk tangan, bersorak-sorak dengan suara gemuruh.
Setelah diklarifikasi oleh seorang hadirin, perempuan yang menjadi istri pemilik sepatu itu membenarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan kemudian dia berkata dengan nada sungguh-sungguh,” Waktu itu saya menabung uang selama berbulan-bulan hanya agar bisa membeli sepatu untuk Kangmas saya tercinta ini.”
“Mengapa Ibu punya niat untuk membelikan sepatu mahal itu, dengan berjuang menabung uang segala?”
“Pertanyaan bagus. Mirip jurnalis infotainment,” komentar perempuan itu menyebabkan banyak orang tertawa.
“Lha hiya, mengapa ibu mau-maunya Ibu menabung hanya untuk membelikan sepatu sang suami ini?”
Dengan gerak lamban, halus dan indah, mirip gerak aktris teater di zaman klasik dulu, perempuan itu melepas topinya lalu mengangkat topinya tinggi-tinggi,” Karena, karena aku sekian tahun sebelumnya mendapat hadiah ulang tahun dari Kangmasku tercinta ini. Berupa topi yang selalu saya pakai kalau kami bepergian, ke mana saja. Ke tempat wisata, ketika bersepeda bersama menyusuri jalan desa dan kota. Terima kasih ya Kangmas.”
“Sama-sama ya Dik, saya juga berterima kasih karena Diajeng membelikan sepatu mahal ini sebagai hadiah ulang tahunku,” balas suami.
Dengan gerak cepat, tanpa diduga siapa pun perempuan itu mendaratkan sebuah ciuman ke pipi suami. Dan suami membalas mencium kening istri.
“Wah ini lebih dari Romeo Yuliet.”
“Lebih indah dari kisah Rangga dan Tiara!”
Kembali orang-orang yang punya hobi menjemur tubuh di pagi hari itu dengan suara gemuruh bertepuk tangan dan bersorak-soak. Hampir semua orang memotret adegan itu dengan handphone masing-masing. Lalu tanpa ada yang mengomando semua bertepuk tangan sambil meneriakkan yel-yel, “Hidup Rangga Hidup Tiara, Hidup Rangga. Hidup Tiara, Hidup cinta!”
“Hidup Romeo Yuliet yang selamat dengan cintanya!”
Mereka tertawa meledakkan kegembiraannya.
Sepasang suami itu menemukan suasana pagi itu suasana bahagia yang puncak. Dengan spontan, sang suami memasang topi ke kepala istrinya dan sang istri membalasnya dengan memasang sepasang sepatu ke kaki suami. Orang-prang kembali meneriakkan yel-yel itu. Orang-orang yang lewat di jalan itu berhenti semua, menonton pertunjukan aneh di depan mereka. Terjadi kemacetan di jalan itu memanjang sampai persimpangan-persimpangan di dekatnya.
Tiba-iba terdengar suara sirine menjerit-jerit. Mendekat. Orang-orang yang mengendarai kendaraan menyibak. Sebuah mobil patroli polisi berhenti di depan para penghobi menjemur tubuh di pagi hari itu. Komandan Polisi meniup peluit lalu bersama anggotanya berteriak-teriak keras membubarkan kerumunan di pinggir jalan itu.
“Bubar! Bubar!”
“Belum waktunya kampanye!”
“Kumpul-kumpul tanpa izin melanggar peraturan!”
“Saudara semua mengganggu ketertiban.”
“Hayo siapa yang bertanggung jawab?”
Semua orang yang berkumpul menjemur tubuh itu mengangkat tangan.
“Jadi semua bertanggung jawab ini?”
“Ya, Pak. Kami semua bertanggung jawab atas kegaduhan tadi.”
“Tapi Pak, kami bukan sedang kampanye.”
“Kami sedang menghangatkan tubuh, dhedhe, sambil mencari hiburan.”
“Kami hanya ingin bergembira Pak.”
“Kami juga ingin sedikit bahagia Pak.”
“Apa bergembira dan berbahagia di negeri ini tidak boleh Pak?”
Komandan polisi memejamkan mata. Menggelengkan kepala.
Pusing juga menghadapi orang-prang di depannya.
Seorang lelaki amat tua menepuk pundak Komandan. Ketika Komandan membuka, lelaki tua itu tersenyum lebar, ramah, mendatangkan rasa damai, mirip senyuman lebar Bobby McFerrin maestro musik mulut itu.
“Ada apa Pak?”
“Nak Komandan ikut merasa gembira dan bahagia kan?”
“Ya, Pak. Ya, Pak.”
“Kalau begitu Nak Komandan boleh pilih, ikut kami bergembira dan bahagia di acara selanjutnya, atau melanjutkan menjalankan tugas dengan berpatroli keliling kota untuk memastikan kota kita ini aman dan damai?”
“O, kalau begitu saya pilih melanjutkan tugas Pak.”
“Silakan silakan, Nak Komandan.”
Komandan polisi itu menyalami lelaki tua. Saat itu lelaki tua sempat berbisik, “Nak Komandan, saya ini juga polisi. Pensiunan polisi. Dulu pernah juga jadi Komandan di kota ini.”
“O, begitu. Maaf, Pak. Maaf, saya tidak tahu.”
“Nggak apa-apa. Waktu saya jadi komandan polisi mengamankan kota ini, Nak Komandan masih kecil atau belum lahir.”
“Ya, Pak, Ya Pak. Anu ayah saya dulu juga polisi kok, Pak.”
“Tugas di kota ini?”
“Ya, pernah bertugas di kota ini.”
“Siapa namanya?”
Komandan itu menyebut nama ayahnya. Mendadak lelaki itu bersikap sempurna seolah tengah menghormat pada orang berpangkat lebih tinggi sambil berkata, “Siap.”
“Beliau komandan saya, kalau begitu. Salam saya ya untuk beliau ayahmu itu ya.”
“Ayah saya sudah meninggal, Pak.”
“Ya, nggak apa-apa, orang meninggal biasa, apalagi kalau sudah tua. Kalau begitu, tolong sampaikan doa saya untuk beliau.”
“Ya, Pak. Besuk kalau saya berziarah akan saya sampaikan doa Panjenengan ke Bapak saya.”
“Terima kasih. Wah jebulane ketemu jape methe ini.”
“Ya, Pak, saya kan anaknya jape methe itu.”
Kembali, orang-orang bertepuk tangan sambil meneriakkan, “Hidup polisi! Hidup polisi!”
Pak Komandan mengangkat ibu jari lalu memerintahkan anak buah naik ke mobil patroli.
Mobil menjauh tanpa menjeritkan suara sirine. Pak Komandan melambaikan tangan dari jendela mobil. Orang-orang membalas dengan lambaian tangan serupa.
Setelah mobil menjauh, suasana di tempat itu menjadi sepi.
Ada seorang wanita gemuk berkata iseng, “Hei Simbah yang hebat, sekarang ganti giliranmu bercerita untuk kami.”
Yang lain berteriak setuju.
Terpaksa lelaki tua itu berdiri di tengah teman-teman jamaah pemburu sinar matahari untuk ditimpakan ke punggung itu.
“Apa yang harus saya ceritakan, Saudara-saudara?”
“Tentang pengalaman menjadi polisi di zaman dahulu.”
Lelaki tua itu tersenyum dengan senyum gaya Bobby Mc Ferrin lagi.
Ia berkata mantap dan lantang, “Polisi zaman dahulu, baik-baik saja. Terima kasih. Cerita selesai.”
“Wooo.”
“Pak Tua curang.”
“Tambah dong dikit ceritanya.”
“Polisi zaman dahulu baik-baik saja itu apa maksudnya, Pak Tua?”
“Baik-baik saja ya baik-naik saja. Bukan buruk-buruk saja.”
“Hanya itu, Pak Tua?”
“Hanya itu. Itu justru yang paling penting bagi saya dan bagi saudara-saudara semua. Terima kasih.”
Meski yang hadir tidak puas dengan cerita yang amat singkat dari Pak Tua, mereka tidak mungkin memaksa. Mereka merasa kalau Pak Tua telah berkata jujur. Dan kalimat jujur biasanya memang pendek, tidak panjang-panjang, apalagi berbusa-busa.
Yogyakarta, 10 Agustus 2022
- Orang-Orang Gembira - 9 September 2022
- Jamu Ambung - 11 March 2022
- Sajak-Sajak Mustofa W Hasyim - 26 October 2021
tedd mint
Ikut merasa gembira membaca Orang-Orang Gembira. Terima kasih untuk cerpennya yang asyik, Pak Mus.